Renyah dan gurih rengginang terasa saat digigit. Sisa dalam kaleng Khong Guan bulat berwarna merah itu hanya tinggal beberapa saja.Â
Kawan yang duduk di sebelah saya, malu-malu bertanya,"Masih ada? Mau lagi. Enak rengginangnya," Â Satu buah rengginang kembali diambilnya dan langsung dikunyah dalam mulut. Tidak berapa lama, diedarkan satu kaleng biskuit Khong Guan lainnya. Kali ini isinya bukan rengginang.Â
Benar-benar berisi biskuit aneka rasa. Ada wafer, ada biskuit dengan gula di dalamnya, ada biskuit polos, dan biskuit lainnya. Semua biskuit serba manis dan bisa dikunyah gratis oleh yang hadir.Â
Mengunyah sambil menikmati diskusi dalam peluncuran buku kumpulan puisi berjudul Perjamuan Khong Guan yang ditulis Joko Pinurbo alias Jokpin, di Cofi Si Juki Gramedia Matraman, 26 Januari 2020. Â Â
Penyair kondang Sapardi Djoko Darmono duduk di samping Jokpin. Selama ini, pujangga terkemuka yang terkenal dengan Hujan Bulan Juni ini, termasuk dekat dan sering disebut oleh Jokpin. Pun dalam salah satu puisi di buku Perjamuan Khong Guan terbitan Gramedia Pustaka Utama.
Tanpa gambar ayah. Eh, ternyata gambar ayah ada di buku ini tapi dalam bentuk lipatan ke dalam buku sehingga tak terlihat biskuit Khong Guan dengan kalengnya yang warnanya selalu merah dan gambarnya yang  tak pernah berubah selama puluhan tahun, telah menjadi inspirasi.Â
Biskuit itu memang sudah jadi legenda di negara ini sejak didirikan di Singapura tahun 1947. Melihat kaleng dan gambar, biasanya banyak yang langsung bisa menebaknya.
Setiap kali hari raya, khususnya lebaran, biskuit ini umumnya sering disajikan di meja atau sebagai oleh-oleh saat bertamu, sebagai pembuka salam-salaman.
Tidak hanya ketika hari raya atau keperluan bertamu, Â biskuit aneka rasa ini sering jadi teman minum teh atau minum kopi. Tidak jarang yang senang mencelupkannya pada minuman yang disajikan sebelum disantap.