Bagaimana lagi harus kukatakan jika aku tidak ingin bertemu dengan lelaki itu. Pun, atas permintaan istrinya sekalipun. Entah sudah berapa tahun lebaran, aku tidak  pernah berjumpa dengannya. Aku bahkan nyaris lupa seperti apa wajahnya. Tepatnya, tak tahu saat ini seperti apa. Semua yang terkait dengannya sudah kusingkirkan sejak jauh-jauh hari. Sungguh jika dapat, aku ingin menguburkan semua kenangan dengannya. Pertemuan terakhir bersamanya mengandaskan semua mimpi dan kebahagiaan yang kupunya Â
Namun kuakui sejujurnya dalam hati, jika seumur hidup  aku tidak akan pernah bisa melupakan semua hal tentangnya. Sesungguhnya terekam sejumlah memori manis yang terkadang menyembul dari lapisan terdalam pikiran. Di sisi lain, aku ingin menangis sekencangnya dan tidak habis-habisnya menyesali  jadi bagian dirinya. Pertemuan terakhir bersamanya sungguh-sungguh menyakitkan. Itu pula yang membuat hatiku memutuskan untuk menutup pintu hati rapat-rapat.Â
Aku terdiam saat perempuan yang mengaku istrinya, kembali datang. Aku merasa terganggu. Aku sekarang  perempuan muda,yang kini tengah sedang sukses-suksesnya dengan jabatan cukup tinggi. Bukan sombong, selain tak hanya cerdas, aku masuk dalam jajaran perempuan yang berparas ayu. Semuanya seakan sempurna dan indah, hingga...Â
"Tolonglah, mbak Fitri bisa datang, ya? Beliau sangat ingin bertemu," ucap perempuan yang masih terlihat sangat cantik di saat usianya sekarang.
Aku terdiam. Hatiku beku. Akhirnya perempuan itu berani datang juga, setelah puluhan pesan singkat dan puluhan telepon yang tidak pernah kujawab. Entah bagaimana bisa dia  tahu nomor telepon dan alamat kantor tempatku bekerja. Lantas mencegatku di pelataran kantor. Jujur, aku sangat membenci perempuan itu. Perempuan yang sebenarnya telah merobek-robek hatiku, akibat perbuatan lelaki itu.Â
Kehadiran perempuan itu dalam hidupku telah membuat persepsiku, mengenai sosok laki-laki baik yang ramah dan cinta keluarga pudar. Hatiku seakan ditusuk-tusuk dan rasanya tak akan pernah sembuh. Dia perempuan cantik. Tubuhnya yang semampai dan indah, siapa juga laki-laki yang tidak terpikat. Belum lagi, ternyata dia juga perempuan yang sangat kaya.Â
Perempuan itu, Â bisa mendapatkan lelaki itu saat itu. Lelaki yang semula selalu kubangga-banggakan dalam hidupku. Lelaki idola yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Lelaki yang kuanggap sangat cinta keluarga, awalnya. Perempuan itu telah mencuri laki-laki itu, membawanya pergi . Meninggalkan aku merasa terhina, dihempaskan, dan membuat aku tiba-tiba benci dengan mahluk bernama laki-laki.Â
Peristiwa menyakitkan itu  akhirnya membuatku fokus hanya untuk bekerja dan bekerja. Aku bisa menjadi perempuan cantik, perempuan dengan banyak talenta, perempuan yang punya segudang prestasi, sehingga karirku meningkat pesat. Sangat pesat sehingga banyak yang kagum, sekaligus memendam iri padaku. Aku tahu itu. Tapi, tujuanku hanya satu. Biar perempuan perebut lelaki itu tahu aku bukan perempuan sembarangan, yang jauh lebih hebat dari dirinya.Â
"Jadi, mbak Fitri bisa datang, Â ya mbak. Kapan? Sudah ditunggu," ucapnya bergetar.
***Â
Segelas teh manis hangat baru saja kuteguk. Segar rasanya. Cukup meredakan penatku sejak pagi bekerja. Banyak makanan berbuka puasa yang disediakan, tapi aku tetap tak meninggalkan kebiasaanku yang serupa dengan ibu. Selalu minum teh manis hangat saat berbuka. Alhamdulillah, lega rasanya saat air mengalir lewat tenggorokan. Sekarang sudah memasuki minggu ketiga bulan ramadan. Begitu cepat berlalu. Tidak terasa sebentar lagi lebaran. Hari raya kemenangan bagi yang menjalankan ibadah selama bulan ramadan.
Smartphone yang kuletakkan di meja tiba-tiba bergetar. Mataku terkesiap melihat nomor telepon yang mulai kuhapal karena begitu seringnya telepon dari perempuan itu, meski tak pernah kuangkat. Namun kali ini, aku ingin mengangkatnya. Aku ingin mengatakan jika dia tak perlu lagi mengangguku lagi. "Mbak Fitri, kedatanganmu sangat ditunggu. Waktu yang tersisa tidak banyak, mbak," terdengar suara perempuan itu.Â
***
Lelaki itu tergeletak sangat lemah di ranjang rumah sakit. Sejumlah selang terpasang di tubuhnya. Lelaki yang dulu sangat kubangga-banggakan. Lelaki yang sesungguhnya teramat sangat kucintai. Aku terdiam. Terpaku. Ada tiga perempuan dan satu laki-laki mengelilingi ranjangnya. Salah seorang perempuan, ya perempuan cantik itu datang menyambutku. Perempuan yang mendatangiku dan mengajakku datang menemuinya.Â
"Kesini mbak Fitri. Beliau sudah lama menunggumu." Dengan tubuh kaku, aku menyeret langkahku menuju ranjang. Tubuh lelaki itu sangat kurus. Padahal sebelumnya, aku tahu jika dulu tubuhnya sangat gagah, tinggi, dan besar. Wajahnya bersinar saat melihatku. Matanya yang semula redup terlihat berbinar. Dengan lemah, tangannya mencoba untuk meraih tanganku.Â
"Fitri,akhirnya kamu datang. Maafkan ayah, Fitri. Maafkan seluruh kesalahan ayah," terbata-bata laki-laki itu mengucapkannya. Air matanya berlinang. Lelaki itu menangis untukku. Melihatnya dalam keadaan tak berdaya, aku merasa terhempas ke masa lalu. Masa yang indah saat bersama lelaki itu. Saat bapak dan ibu masih bersatu dalam nama keluarga.Â
Ya, lelaki itu adalah ayahku. Darahnya mengalir pada darahku. Â Namun, hatiku mengeras saat tahu dia pergi meninggalkan ibuku. Perempuan sederhana, yang jelas-jelas kalah mempesona dibandingkan dia. Perempuan cantik yang kini menjadi istrinya dan menghadirkan tiga adik baru untukku. Sejak kepergian ayah ke pelukan perempuan itu, kebanggaanku padanya runtuh. Aku tak pernah lagi mau bertemu dengannya. Entahlah, mungkin juga sudah lebih dari sepuluh lebaran tidak pernah bertemu dengannya.Â
Tangannya semakin keras memegang tanganku. Aku tak mengerti. Tiba-tiba mataku basah. Tiba-tiba hatiku merasa sakit. Perasaan menyesal  perlahan muncul melihat tubuh renta laki-laki itu. "Fitri mau  memaafkan kesalahan ayah?" air matanya mengalir turun. Tidak tahan, akupun memeluk laki-laki itu. "Aku memafkan ayah."Â
***Â
"Kamu tahu kenapa kamu diberi nama Fitri?" Kamu lahir tepat di hari raya Idul Fitri.  Kamu lahir di saat gema takbir yang menyatakan kemenangan untuk umat Islam  setelah sebulan menjalankan ibadah puasa. Ayah mengharapkanmu  menjadi  perempuan yang memiliki perasaan lurus. Perempuan yang berhati bersih,"  kalimat-kalimat yang diucapkan ayah, saat aku masih duduk di sekolah dasar kembali teringat.Â
Semalam, ibu menghampiriku. Perempuan luar biasa yang pernah tersakiti itu, mengingatkan jika walau bagaimanapun, beliau adalah ayahku. Seorang anak tetap harus berbakti dalam keadaan apapun. Memang, sejak semalam kelebatan keindahan saat bersama ayah saat kecil seakan kembali muncul bagai slide film. Betapa aku bahagia memilikinya dan betapa bangganya aku dulu.Â
Air mataku tak henti-hentinya mengalir. Tangannya masih kugenggam erat saat tubuhnya mulai melemah. Ucapan syahadat pun terdengar. "Beliau memang hanya tinggal menunggumu, Fitri." Tangisku pun tumpah di hari yang fitri. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H