Ini adalah kisahku selama delapan bulan hidup di perbatasan. Setelah menyelesaikan pendidikan di sebuah perguruan negeri di Bandung pada 2015, kuputuskan melamar di Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia. Tahun itu, DFW Indonesia membuka program pendampingan sarana dan prasarana di Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) yang bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
Indonesia memiliki 92 pulau kecil terluar, tapi yang berpenduduk sebanyak 31 pulau. Aku ditempatkan di Pulau Enggano Kabupaten Bengkulu Utara yang berbatasan dengan India, meski yang kuharapkan di Pulau Brass atau Pulau Alor.
Mei 2015, dari Bandung aku pun menuju Soekarno Hatta International Airport (SHIA) dan selanjutnya ke Bengkulu. Dari Land of Rafflesia tersebut, Pulau Enggano dapat dicapai via laut dan udara. Harusnya aku ke pulau tujuan melalui udara, tapi karena miskomunikasi dengan Kak Tono, sehingga harus mengarungi Samudera Hindia dan bertemu dengan dewa-dewa laut dengan kapal ferry Pulo Tello. Kak Tono, panggilan untuk seniorku di kampus Unhas, Tono Nobunaga yang bekerja di DFW.
Di kapal ferry, sebenarnya mendapatkan kamar. Hal ini berkat bantuan seorang anggota TNI AL, tetapi tidak kutempati. Aku lebih memilih duduk di depan cafeteria. Kenapa aku memilih lokasi ini? Aku butuh sedikit keramaian di cafeteria, hingga pasti akan ada yang akan duduk di dekatku. Saat itulah, aku akan menggunakan ilmu “sosped” untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang Pulau Enggano. “Sosped” adalah sebutan untuk bersosialisasi dengan orang yang kenal dengan sebuah lokasi tertentu di pedesaan. Cara bergaul efektif ini diturunkan dari ilmu ‘Sosiologi Pedesaan’.
Pulau Enggano merupakan salah satu pulau kecil yang memiliki begitu banyak keterbatasan, terutama berkomunikasi dengan dunia luar. Hanya ada satu BTS milik Telkomsel yang bagus. Sinyal ponsel hanya ada di Desa Malakoni, Apoho, dan Meok. Tiga desa lainnya yakni Kahyapu, Kaana, dan Banjarsari, signal hanya di tempat-tempat tertentu saja, kalau beruntung. Jaringan internet itu hanya impian, karena sedemikian sulitnya melihat batang signal yang penuh.
Sarana kesehatan merupakan keterbatasan berikutnya karena hanya masing-masing ada satu Puskesmas bergerak dan rumah sakit bergerak. Untuk ibu-ibu yang akan melahirkan, tak ada cara lain yang lebih cepat yakni menggunakan bantuan dukun.
Di Pulau Enggano tidak ada angkutan, bahkan ojek pun jarang dan biayanya mahal mencapai Rp.100.000,-. Jalanan di pulau Enggano masih berupa pengerasan, kecuali antara Desa Meok dan Desa Banjarsari, sudah beraspal sepanjang 3 kilometer. Sarana pendidikan juga tak sesuai dengan jumlah mereka yang akan belajar.
Bahan makanan harus didatangkan dari Kota Bengkulu. Jika badai tiba, tentu saja kapal tidak beroperasi, sehingga persediaan bahan makanan tak bertambah. Badai seperti itu pernah kulihat langsung. Kala itu bahan makanan tidak bisa didatangkan. di Pulau Enggano untuk pisang, jengkol, emping dan kelapa berlimpah.
Aku menikmati keterbatasan tersebut, itu bisa membahagiakanku. Di Pulau Enggano aku diajarkan tentang bagaimana sang istri menjadi stress, karena suami wafat. Sekedar untuk mengobati kehilangan tersebut dia mulai merokok. Dalam daun tembakau yang membara, ia melenyapkan duka sebisanya. Ada juga seorang ibu yang bersumpah, semoga anak perempuannya tidak berjodoh dengan orang Bugis. Ia tak berkehendak menjadikan salah satu suku pengelana laut menjadi bagian dari keluarganya. Namun bila Tuhan berkehendak, tak akan ia tolak.
Tak adanya sinyal ponsel dan kesulitan berhubungan dengan dunia luar, membuatku lebih banyak berinteraksi dengan warga di Desa Malakoni, Banjarsari, dan Kaana.
Di Banjarsari, aku belajar tentang kerelaan istri untuk dipoligami. Di desa ini pula, aku melihat bagaimana seseorang dengan gampangnya berpindah keyakinan karena ikut agama suami. Walaupun setelah mereka bercerai, si wanita kembali ke keyakinannya lamanya.