September 2017. Pukul 09.00 WIT, temanku Sari Wahyuni atau biasa yang dipanggil Nona mengantarku menuju pelabuhan Bastiong, Ternate. Dari pelabuhan Bastiong, perjalanan menuju Tidore dengan menumpang speed boat selma delapan (8) menit dengan tarif Rp. 10.000/orang. Setiba di Pelabuhan Rum, Tidore aku menumpang angkot menuju Soasio. Soasio merupakan kota terbesar di Tidore.
Tujuanku adalah ke rumah sakit umum daerah (RSUD) kota Tidore untuk bertemu Kak Zuzan, (panggilan Kak, aku gunakan sebagai panggilan akrab untuk senior di kampus Universitas Hasanuddin).  Dalam perjalanan menuju Soasio, aku melihat pemandangan gunung Tidore. Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku berjanji  semoga sebelum meninggalkan Ternate aku bisa menginjakkan kaki di Puncak Tidore. Jumlah kendaraan yang melintas sedikit, jalanan terasa lapang, artinya berkendara sangat nyaman. Udara juga segar yang disebabkan oleh banyaknya pohon di kanan-kiri jalan. Bagiku tempat ini sangat nyaman untuk lari pagi.Â
Di sebelah kanan tampaklah Pulau Maitara kemudian air biru yang dihiasi pohon palem. Sepanjang perjalanan menuju Soasio tampaklah bangunan masjid yang menjorok ke laut. Tiba di RSUD kota Tidore, Kak Zuzan mengajakku makan siang di rumah salah satu perawat. Aku ingat sekali, makan siang itu dengan menu kepiting. Ini adalah pertama kalinya aku menyantap kepiting selama  hampir empat bulan berada di Propinsi  Maluku Utara.
Malam hari adalah waktuku untuk bersilaturahmi dengan salah satu senior di Kelautan Universitas Hasanuddin (UH) yakni Kak Khalish. Setelah berbincang-bincang, akhirnya kak Khalish mengajakku menyelami keindahan bawah laut Tidore. Tidak tanggung-tanggung yakni night dive.
"Besok malam kita night dive di Tugulufa saja", Kata Kak Khalish. Ajakannya pun langsung aku terima. Mengutip Kak Khalish, kalau night dive kamu bisa melihat walking sharks. Hewan ini dikenal sebagai nocturnal. Saat itu penyelaman dilakukan di kedalaman sampai 15 meter. Dan ternyata apa yang diucapkan kak Khalish terbukti. Menyelam pertama aku melihat walking sharks. Cantik sekali. Masyarakat Tidore menyebut walking sharks ini dengan sebutan Gurango Buta-Buta yang merupakan salah satu dari Sembilan jenis hiu berjalan yang ada di dunia.
Berikutnya setiap kedatanganku ke Tidore, Kak Khalish selalu mengajakku menyelam baik itu di Tugulufa atau pelabuhan Trikora.
Benteng Tahula di buat oleh Spanyol. Pembangunan Benteng ini dimulai tahun 1610 oleh Cristobal de Azcqueta Menchacha (1610 -1612) yang merupakan Gubernur Spanyol saat itu. Benteng Tahula ini terletak di pinggir pantai. Membutuhkan upaya untuk sampai ke atas. Kira-kira ada 120-an anak tangga. Di benteng ini ada penjara juga. Benteng ini masih terawat dengan baik. Ada gazebo juga.
Salah seorang seniorku di Korpala Unhas yakni Kak Farida berpesan kepadaku jika aku ke Tidore maka sempatkanlah untuk mengunjugi desa Gurabunga. Atas ajakan sepupu Kak Isra yakni Zainuddin aku mengunjungi  sebuah desa yakni Gurabunga. Gurabunga memiliki arti desa Bunga. Mengunjungi desa ini akan nampak pemandangan susunan rumah penduduk yang tertata dengan bunga-bunga yang indah  dengan beraneka ragam warna dan bau harum dari kayu manis yang sedang dijemur. Letaknya di ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan laut (MDPL) tentu saja menjadikan desa Gurabunga memiliki udara yang sejuk. Orang-orang memberikan sebutan desa Gurabunga dengan nama "Negeri Di atas Awan".  Aku pernah baca di salah satu majalah (lupa namanya) bahwa masyarakat Tidore percaya, Desa Gurabunga dikenal sebagai tempat tinggal para sohowi atau penghubung antara pihak Kesultanan Tidore dengan roh leluhur. Dari Gurabunga perjalananku dilanjutkan menuju Lada Ake. Â