Keinginan untuk menginjakkan kaki ke Morotai, pertama kali tercetus saat aku melakukan perjalanan #40HariKelilingSumatera. Keinginan itu aku sampaikan ke Kak Rima Sylviana. Pulau Morotai merupakan salah satu pulau terluar yang dimiliki Indonesia. Pulau ini masuk ke dalam propinsi Maluku Utara. Tahun lalu, di Pulau Morotai terdapat secretariat sentra kelautan perikanan terpadu (SKPT) yang merupakan program dari Kementerian Keluatan Perikanan (KKP) aku berharap dapat diterima di program tersebut ternyata tidak.
Tahun 2017, akhirnya aku bisa menginjakkan kaki di Pulau Morotai. Kak Merlyn Neyland yang saat ini menjabat sebagai manager SKPT pulau Morotai mengajakku untuk mengunjungi Morotai, tentu saja ajakan ini tidak aku tolak. Sebelum berangkat aku memberikan list tempat-tempat yang akan aku kunjungi selama aku di morotai dan tak lupa kusampaikan bahwa aku ingin menyelam. Kak Merlyn hanya menjawab tenang ada Ahmad dan Dewa yang akan menemani perjalananmu.
Untuk mencapai Pulau Morotai dapat ditempuh via laut dan via udara. Waktu itu aku melalui via udara. Maskapai yang melayani Ternate -- Morotai adalah wings air. Keberangkatan pukul 11.55 WIT sedangkan Morotai -- Ternate pukul 13.00 WIT. Harga tiket saat itu yakni Rp. 404.000,-. Jika via laut ada kapal yang melayani dengan rute Ternate -- Sofifi -- Tobelo -- Morotai.
Berbicara tentang  Pulau Morotai, pulau yang terkenal dengan perang dunia ke II. Pulau ini juga dijadikan tempat pelaksanaan Sail Morotai pada tahun 2012. Pulau Morotai menjadi basis pertahanan militer Sekutu untuk menghadapi kekuatan pasukan Jepang yang terkonsentrasi di Halmahera.  Sekutu menggunakan pulau ini sebagai landasan untuk menyerang wilayah Filipina dan Borneo Timur.
Adapun Jepang menjadikan Pulau Morotai sebagai pertahanan pada perang dunia ke II karena memiliki lokasi yang strategis sehingga membuat pulau ini menjadi pilihan tepat untuk membuat pertahanan. Morotai berbatasan dengan samudera pasifik dan Filipina.
Hari pertama di Morotai, aku langsung mengunjungi Taman Kota Daruba sambil menikmati sunset ditemani pisang goreng mulut bebek + dabu-dabu dan tak lupa segelas air guraka.
Hari kedua, setelah mengantar Kak Merlyn ke bandara bersama dengan Ahmad dan Dewa kami mengunjungi Monumen Trikora, Danau air kaca, Tank Amphibi di desa Gotalamo, Patung Teruo Nakamura dan Army dock & Navi Base di desa Pandangan.
Mengutip ucapan kakek beliau, bahwa Mukhlis Eso tidak boleh ikut menghilangkan sejarah dengan menjual benda-benda. Alasan kakeknya, bahwa beliau pernah menjadi bagian arti sejarah perjuangan bangsa ini. Masih dari beliau, banyak warga yang menganggap benda-benda peninggalan itu sebagai barang rongsokan yang dapat diperjualbelikan. Sayangnya aku tidak sempat merasakan pengalaman untuk berburu artefak perang dunia ke II.
Aku beruntung dapat berkunjung ke rumah pak Mukhlis Eso yang berada di kampung Daruba dan satu lagi (lupa nama daerahnya). Di rumah kedua itu aku sempat mengangkat senjata SMB 12,7 mm.