Sejumlah negara termasuk Indonesia sedang melakukan berbagai kebijakan dalam memulihkan perekonomian akibat pandemi COVID-19 atau Virus Corona, salah satunya dalam sektor Blue Economy (Ekonomi Biru). Blue economy atau ekonomi biru mungkin terlalu asing di tengah telinga masyarakat Indonesia, tetapi konsep tersebut nyatanya telah menjadi salah satu tema krusial yang dicetuskan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono. Ekonomi biru digadang menjadi basis perekonomian berkelanjutan baru di Indonesia pada masa mendatang.Â
Dengan luas wilayah perairan mencapai dua pertiga dari wilayah luas negara, potensi perekonomian dari sumber daya kelautan dan perikanan diharapkan menjadi sumber baru pertumbuhan ekonomi, terutama sebagai unsur penting pemulihan ekonomi yang terdampak akibat pandemi COVID-19 dengan kebijakan ekonomi yang memaksimalkan tata kelola potensi maritim yang dimiliki.
Ekonomi biru perlu menerapkan logika ekosistem dalam mengimplementasikannya, yaitu ekosistem yang berorientasi pada tingkat efisiensi yang lebih tinggi untuk mengalirkan nutrien dan energi dengan meminimalisasikan limbah untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi semua pelaku dalam suatu ekosistem.Â
Selanjutnya, ekonomi biru ini berfokus pada inovasi dan kreativitas yang meliputi variasi produk, efisiensi sistem produksi, dan penataan sistem manajemen sumber daya. Ekonomi biru sendiri erat kaitannya dengan pengoptimalan suatu daerah pesisir atau kemaritiman.Â
Pada dasarnya, konsep dari ekonomi biru itu sejalan dengan konsep ekonomi hijau yang ramah lingkungan dan lebih berfokus pada negara-negara berkembang dengan kepemilikan wilayah perairan atau laut yang luas, atau yang biasa dikenal dengan Small Island Developing States (SIDS). Berdasar dari konsep ekonomi biru, Indonesia merupakan negara yang sangat cocok untuk menerapkan kebijakan ini. Karena sekitar kurang lebih 75 persen dari total wilayah kedaulatan Indonesia merupakan wilayah perairan yang terdiri dari laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan laut 12 mil. Wilayah laut Indonesia yang cukup luas dapat menjadi potensi yang penting dan perlu dipelihara dan meningkatkan kualitasnya. Kebijakan Blue Economy dalam hal ini ditujukan untuk dapat menjadi suatu solusi dalam mengatasi kelaparan, mengurangi kemiskinan, menciptakan kehidupan laut yang sustainable, berkurangnya risiko bencana di daerah pesisir, mitigasi, adaptasi perubahan iklim, serta sebagai upaya untuk bangkitkan ekonomi indonesia pasca terdampak pandemi covid-19.Â
Dengan demikian, ekonomi Biru atau Blue Economy dapat diartikan sebagai sebuah konsep yang memaksimalkan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya laut yang berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan manusia dan meningkatkan ekonomi. Oleh karena itu, tentunya Negara-negara kepulauan termasuk Indonesia akan memegang peran terdepan dalam implementasi konsep pembangunan ekonomi biru.
Masifnya pembangunan pesisir dan laut seperti tol laut dan pariwisata menunjukkan bahwa implementasi ekonomi biru menjadi salah satu fokus utama dalam pembangunan Indonesia.Â
Jika melihat dari sisi dimana ekonomi biru ini berorientasi untuk memanfaatkan sumber daya laut dengan memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir, tentu hal itu akan menjadi sebuah konsep yang sangat tepat untuk diimplementasikan di negara Indonesia sebagai Negara kepulauan terbesar dengan corak maritim. Namun, yang menjadi sebuah pertanyaan adalah apakah fakta dilapangan menunjukkan demikian?Â
Apakah benar kebijakan blue economy dapat menjadi  solusi pasca pandemi? Apakah blue economy menunjukkan keberpihakan kepada lingkungan ekosistem dan masyarakat pesisir? Sayangnya, beberapa contoh implementasi ekonomi biru justru terkesan sedikit kontras dengan konsep Sustainable Development Goals.Â
Seperti misalnya reklamasi pantai yang telah dilakukan besar-besaran. Seperti adanya polemik reklamasi Teluk Jakarta 2020 lalu ataupun reklamasi di Teluk Benoa Bali. Selain Bali dan Jakarta, masih banyak sekali proyek reklamasi yang sudah dikerjakan namun tidak terekspos oleh media.Â
Pro dan kontra dari masyarakat selalu mengiringi mega proyek reklamasi tersebut. Banyak pihak menolak lantaran reklamasi dianggap sebuah bentuk kerusakan yang dapat menimbulkan bencana lingkungan. Demikian juga dari segi aspek sosial ekonomi, para nelayan di kawasan pesisir juga sangat dirugikan.Â