Bekerja adalah hakikat manusia. Bekerja adalah sesuatu yang mulia dan luhur. Tapi sayangnya esensi bekerja sering terdegradasi.
Tanpa disadari kita sering diperbudak oleh pekerjaan, entah karena sistem, keadaan maupun diri sendiri.
Banyak yang menilai pekerjaan adalah segala-galanya. Dalam budaya kita seringkali nilai kita sebagai manusia - dalam hal pekerjaan - ditentukan oleh status dan apa yang telah kita lakukan (capai).
Dalam masyarakat kita profesi dokter atau insinyur lebih dihargai ketimbang profesi satpam atau guru.
Ukuran kesuksesan dalam karir sering diasosiasikan dengan nominal gaji, merk institusi/perusahaan dan jabatan.
Dengan kata lain, mengutip pendapat Hegel, pekerjaan adalah sarana untuk menemukan dan mengaktualisasikan diri.
Kita boleh saja tidak setuju tetapi prinsip “saya bekerja untuk anda (employer), maka Anda wajib memenuhi kebutuhan saya” dari abad 20 masih tertanam dalam kita. Namun, dunia terus mengalami perubahan. Kemajuan sains dan teknologi mengubah tatanan dunia, termasuk dunia kerja.
Lalu, apakah mental “saya bekerja untuk anda (employer), maka Anda wajib memenuhi kebutuhan saya” masih relevan ketika dunia mengalami disrupsi?
Revolusi industri 4.0, khususnya melalui kecerdasan buatan, telah mendisrupsi dunia kerja. Otomatisasi akan semakin dominan dalam dunia kerja.