Sampai saat ini umat manusia masih menghadapi virus yang mematikan, yaitu SARS Cov-2. Virus ini sudah membunuh banyak sekali manusia. Tetapi tahukah kita bahwa ada virus yang sejatinya juga berbahaya bagi umat manusia. "Virus" ini bukan seperti virus pada umumnya. Namun, ia sudah eksis sejak manusia pertama hingga sekarang. "Virus" tersebut adalah kebodohan.
Kebodohan bisa dikategorikan sebagai "virus". Setidaknya, ada tiga kriteria mengapa kebodohan bisa dikategorikan sebagai virus. Pertama, kebodohan bisa menginfeksi manusia. Kedua, tidak kasat mata. Dan terakhir, bisa mematikan.
Perlu kita ketahui arti atau makna kebodohan disini bukan hanya tentang ketidaktahuan tetapi juga berkaitan erat dengan kekeliruan atau kesalahan.
Sadar atau tidak, kita sebenarnya sangat mudah terinfeksi "virus" kebodohan. Tidak peduli kondisi dan latar belakang, siapapun bisa menjadi orang bodoh. Saat kita berbuat buruk padahal tahu itu salah, pada saat itu kita terjangkit "virus" kebodohan.
Kita terinfeksi "virus" kebodohan bisa melalui banyak hal. Bisa melalui tontonan, pengaruh orang lain, keadaan dan lain sebagainya. Bila kita memiliki teman yang suka berkata kotor, besar kemungkinan kita juga akan suka berkata kotor. Kalau kita sering menonton konten yang merendahkan orang lain, bisa jadi kita menjadi orang yang doyan merendahkan orang lain. Apabila kita memiliki orang tua yang suka selingkuh, kemungkinan kita juga akan melakukan hal yang sama.
Richard Feynman, Fisikawan peraih Nobel pernah mengatakan demikian: anda tidak tahu bagaimana rasanya mati, hanya orang lain yang merasakannya. Begitu juga dengan kebodohan.
"Virus" kebodohan bisa menjadi tak terlihat tanpa kita sadari. Biasanya, orang lain yang pertama- tama menyadari atau merasakan kebodohan yang kita lakukan. Contohnya, ketika seorang pemimpin suatu negara tidak becus mengurus pandemi dan malah bersyukur tidak menerapkan lockdown, padahal angka positif dan kematian terus meningkat, maka yang merasakan kebodohannya adalah rakyatnya.Â
Namun, ada juga manusia yang baru sadar telah melakukan kebodohan ketika mengalami atau merasakan efek atau dampak buruknya. Itu kalau sadar, kalau tidak "virus" kebodohan akan tumbuh dan berkembang biak dalam diri kita. Jika ini terjadi, maka kita tidak hanya berpotensi menularkannya kepada orang lain tetapi bisa menimbulkan hal yang sangat buruk.
Seseorang yang sudah terinfeksi "virus" kebodohan secara akut bisa melahirkan tindakan yang "mematikan". Orang yang selalu menonton video porno secara terus menerus akan merusak pikiran dan hatinya. Lama- kelamaan, kalau sudah tak terkendali, ia berpotensi melakukan tindakan pelecehan atau pemerkosaan.
Kebodohan yang dilakukan manusia dapat menimbulkan bencana, kejahatan hingga kematian. Misalnya bencana banjir atau kebakaran hutan adalah buah dari kebodohan manusia yang tidak merawat alam dengan baik. Kebodohan umat manusia adalah sumber masalah di dunia ini.
Meningkatkan kecerdasan intelektual tidak serta merta membuat kita kebal dari "virus" kebodohan. Banyak dari antara kita yang memiliki titel sarjana atau bahkan doktor, tapi masih saja percaya dan menyebarkan berita hoax. Kita bangga telah menyelesaikan pendidikan dengan baik tetapi mengikuti antrian saja masih sulit.
Memperbanyak doa dan rutin melakukan ritus keagamaan juga tidak menjamin kita imun dari "virus" kebodohan. Kita bisa saja rajin beribadah, tetapi disatu sisi kita membuang sampah sembarangan. Tokoh atau pemuka agama bisa terinfeksi bila ia suka menghina orang lain atau menyebar kebencian dalam khotbahnya.
"Virus" kebodohan ini bisa menginfeksi sekalipun kita orang kaya secara ekonomi dan sosial. Kemapanan bisa membuat kita terinfeksi kebodohan dalam bentuk ketidakpuasan. Tidak pernah puas dengan uang bisa membutakan kita. Alhasil, kita menjadi orang yang hedon dan tamak.
Apakah Kita Bebas Dari "Virus" Kebodohan?Â
Kita pasti pernah dan mungkin akan selalu terinfeksi "virus" kebodohan. Tetapi melindungi diri dan mengurangi efeknya yaitu dengan cara merawat "sistem imun".
"Sistem imun" kita adalah akal sehat dan hati nurani. Akal dan hati nurani berfungsi melindungi kita dengan "membunuh" benih- benih "virus" kebodohan yang masuk ke dalam diri kita. Sayangnya, dua hal ini jarang kita rawat dengan baik. Lagi pula, menjaga diri agar tetap memiliki akal sehat dan berhati nurani merupakan sebuah tantangan yang tidak mudah.
 Tantangannya adalah bagaimana caranya agar perasaan tidak membajak pikiran dan atau hati kita. Sains membuktikan manusia lebih digerakkan oleh emosi (perasaan) daripada pikiran. Perasaan sering menipu kita. Ia akan membuat kita tidak lagi rasional. Nah, kalau kita tidak lagi rasional maka yang terjadi adalah hati nurani kita menjadi tumpul. Kondisi ini adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya "benih virus" kebodohan.
Contohnya begini. Seorang laki- laki yang sudah memiliki istri tertarik dengan perempuan lain dan ingin menjalin sebuah relasi yang lebih dari sekedar teman. Nurani dan pikirannya mengatakan bahwa ia harus setia kepada istrinya. Namun, perasaannya terhadap perempuan tersebut begitu membara. Ia tidak bisa mengendalikan perasaannya. Perasaannya telah mendominasi dan membajak nurani dan pikirannya. Apa yang terjadi selanjutnya?. Tentu saja yang terjadi adalah perselingkuhan.
Agar anda tidak salah paham, yang juga harus digarisbawahi perasaan tidak selalu salah. Adalah manusiawi kita memiliki perasaan. Poin pentingnya adalah kita harus waspada dengan emosi atau perasaan kita agar akal dan hati nurani kita tidak dibajak.
"Vaksin" Kesadaran
Seperti halnya kekebalan tubuh yang rentan terhadap patogen, akal dan hati nurani juga demikian. Supaya akal dan hati nurani kita bisa terlindungi dari infeksi "virus" kebodohan, kita perlu "vaksin". Seperti virus biologis, kebodohan ada vaksinnya. Hanya saja ada perbedaan. Proses pemberian vaksin untuk "virus" kebodohan tidak dilakukan secara injeksi ataupun oral seperti vaksin pada umumnya. "Vaksin" untuk kebodohan sudah ada dalam diri kita. "Vaksin" itu adalah kesadaran.
Kesadaran, asal katanya adalah sadar. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan sadar sebagai insaf, merasa, tahu dan mengerti. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, kita sangat sulit untuk tidak terinfeksi "virus" kebodohan. Oleh karena itu, kita perlu memiliki kesadaran diri agar kita mengenali, merasakan dan memahami apa yang akan kita lakukan dan konsekuensinya.
Sayangnya, prosesnya tidak semudah yang kita bayangkan. Persoalan utamanya adalah kita kerap kehilangan kesadaran diri. Untuk itu kita perlu mengaktifkan kesadaran diri setiap saat. Untuk membangun kesadaran diri, kita perlu memberikan "asupan bergizi" yang dibutuhkan oleh akal dan hati nurani. Bagaimana caranya?. Salah satu caranya adalah membaca buku yang berkualitas dan menonton konten atau acara televisi yang bermutu.
Kesadaran diri akan merangsang akal dan hati nurani kita untuk tetap berfungsi melindungi kita dari "virus" kebodohan. Kesadaran diri juga menolong kita agar tidak mengalami kerusakan yang parah akibat terinfeksi "virus" kebodohan. Tidak hanya itu, dengan kesadaran diri kita bisa belajar untuk tidak mengulangi kebodohan yang telah kita lakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H