Mohon tunggu...
Rianto Harpendi
Rianto Harpendi Mohon Tunggu... Insinyur - Chemical Engineer

Dum spiro, spero

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memutus Rantai Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Sejak Dini

17 Oktober 2020   05:31 Diperbarui: 17 Oktober 2020   16:17 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kekerasan Seksual. Sumber:Kompas/Toto Sihono

Dari laman Kompas, tanggal 16 Oktober yang lalu, diberitakan bahwa Kapolri dan Kapolres Sikka digugat oleh keluarga korban EDJ dengan dibantu oleh 13 advokat. EDJ merupakan korban pemerkosaan yang terjadi 4 tahun silam.

Berita- berita tentang kekerasan seksual terhadap perempuan kerap menghiasi media di tanah air. Yang lebih memprihatinkan lagi, banyak penanganan kasus kekerasan seksual tidak tuntas dan korban sering mengalami ketidakadilan.

Sejarah umat manusia mencatat bahwa perempuan sering dianggap lebih rendah dibandingkan laki- laki. Perempuan kerap diperlakukan sebagai kelompok kelas dua. Perlakuan yang diskriminatif terhadap perempuan masih terus terjadi, meskipun peradaban sudah maju seperti di era digital sekarang ini. Saat ini kekerasan seksual sudah biasa terjadi melalui internet atau biasa disebut kekerasan gender berbasis online (KGBO). Dewasa ini, perempuan kerap dilecehkan di media sosial. Mereka sering menerima stigma dan ucapan yang negatif dari netizen. Contohnya seperti akun media sosial Najwa Shihab yang mendapat komentar bernada merendahkan perempuan setelah acara talkshownya Menanti Terawan.

Diskriminasi terhadap perempuan sering membuat perempuan hanya dianggap sebagai objek. Hal ini mengakibatkan perempuan tidak merdeka atas dirinya sendiri. Standar kecantikan yang semu telah menghipnotis banyak perempuan untuk tidak lagi menerima diri apa adanya. Bahkan, kapitalisme telah mendikte tubuh perempuan sebagai objek komersial. Perempuan dengan keindahannya telah dieksploitasi sedemikian rupa sebagai pemikat dan penggoda. Sistem yang menjadikan perempuan sebagai objek eksploitasi turut mendorong maraknya kekerasan seksual terhadap perempuan.

Kesalahan Perempuan?

Pada tahun 2018, Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) melaporkan, sebanyak 64% perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Jumlah kasus pelecehan seksual terhadap perempuan menunjukkan tren yang terus meningkat setiap tahunnya. Para predator seksual terus menghantui perempuan. Mereka melakukan kekerasan dan pelecehan seksual secara terbuka, bisa dimana saja dan kapan saja. Bukan hanya di ruang publik, lingkungan sekitar rumah dan dalam rumah sendiripun sudah menjadi ruang yang tidak aman bagi beberapa perempuan. Kasus pemerkosaan yang terjadi di Bintaro beberapa waktu yang lalu, menunjukkan bukti bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di rumah korban pada pagi hari. Bukan hanya itu, tidak sedikit kekerasan seksual terjadi dalam keluarga itu sendiri. Ayah yang memperkosa anak perempuannya dan saudara laki- laki yang melecehkan adik perempuannya adalah kasus yang cukup sering terjadi.

Perilaku kekerasan seksual ini sangat tidak manusiawi. Pelaku telah dikendalikan oleh hawa nafsunya. Pelaku dengan seenaknya melampiaskan nafsu seksualnya kepada orang lain dengan paksaan. Perilaku ini telah membuat korban terluka secara fisik, mental dan psikis. Trauma akibat kekerasan seksual yang dialami korban sangat mendalam dan proses pemulihannya tidaklah mudah dan cepat. Luka dan trauma yang korban dapatkan semakin bertambah dengan stigma buruk dari orang lain yang justru menyalahkan korban atas pelecehan yang dialaminya.

Perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual kerap disalahkan karena dinilai berpakaian seksi/terbuka, berpergian sendiri tanpa teman, dan "keluyuran" pada malam hari. Penilaian yang disematkan kepada korban jelas keliru dan ngawur. Ini bisa dibuktikan dengan hasil survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA). Hasil survei KRPA menunjukkan kasus pelecehan seksual banyak terjadi di siang hari (35%) dan sore hari (25%). Waktu terjadinya pelecehan seksual pada malam hari hanya sekitar 21%. 

Persentase korban yang mengenakan pakaian longgar juga hanya 14%. Selebihnya, korban justru mengenakan pakaian yang wajar, seperti rok dan celana panjang (18%), hijab (17%) dan baju lengan panjang (16%). Lokasi terjadinya pelecehan seksual juga banyak terjadi di tempat keramaian, seperti jalanan umum (33%), transportasi umum (19%) dan sekolah (15%). Artinya, pelecehan seksual yang dialami perempuan bukan disebabkan oleh perempuan itu sendiri.

Tanpa bermaksud mendikreditkan laki- laki, kita harus akui kebanyakan pelaku kekerasan seksual adalah laki- laki. Tetapi, persoalan yang lebih penting dari kekerasan seksual terhadap perempuan bukanlah siapa pelakunya. Bukan juga karena laki- laki lebih seirng memikirkan seks daripada perempuan, atau karena perempuan lebih mampu mengontrol dirinya daripada laki- laki. Bukan itu. Semua hal itu tidak bisa dijadikan pembelaan dan pembenaran atas kekerasan seksual.

Yang menjadi pertanyaan besarnya adalah mengapa kekerasan seksual terhadap perempuan sering terjadi?. Dan mengapa sulit sekali memutus rantai kekerasan seksual?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun