Mohon tunggu...
Riant Nugroho
Riant Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Spesialis Kebijakan Publik, Administrasi Negara, dan Manajemen Strategis

Ketua Institute for Policy Reform (Rumah Reformasi Kebijakan)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Indonesia Butuh Salesman Kebijakan Publik, Bukan Pemburu

21 Januari 2020   21:18 Diperbarui: 21 Januari 2020   21:36 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menjual mempunyai indikator kinerja yang sangat jelas dan sangat terukur: berapa banyak Anda sudah menjual produk barang dan/atau jasa Anda.

Penjual gerai ayam goreng Chicago Fried Chicken dinilai dari berapa potong ayam goreng yang dijualnya. Penjual salon potong rambut Johny Andrean dinilai dari berapa banyak pelanggan datang dan minta jasa gunting rambut, creambath, mengecat rambut, dan manikur-pedikur.

Pemasar mempunyai ukuran yang lebih banyak dan lebih abstrak, yaitu 4P: product, price, place, dan promotion, sehingga tidak dapat disalahkan begitu saja karena penjualan yang rendah. Kesalahan lebih banyak ditimpakan kepada "penjual yang bodoh" di bawahnya.

Bagaimana dengan kebijakan Tax Amnesty yang pencapaiannya baru sekitar 5 persen dari total target dari Presiden Jokowi? Bagaimana dengan 13 paket kebijakan ekonomi yang masih terus dijual dan belum menunjukkan prospek yang sangat memadai seperti yang diharapkan Presiden? Di mana masalahnya? Saya mengundang untuk masuk ke perspektif penjual.

Mindset Pembuat Kebijakan Publik

Setelah dibuat, kebijakan publik kemudian disosialisasikan. Bagi warga yang ikut melaksanakan tidak diapa-apakan, bagi yang tidak ikut apalagi melawan, dapat dihukum.

Itulah sebabnya kebijakan publik banyak gagal karena mindset-nya adalah mindset pemburu. Mereka membawa senapan laras panjang dengan teleskop di atasnya meneropong sana-sini mencari mangsa. Jika ketemu dengan hewan buruan, apalagi yang gemuk, tanpa ampun ditembak di tempat paling vital agar mati dengan segera. Ada juga pemburu yang ganas, yang tega membunuh induk hewan incaran yang sedang menyusui anaknya, tanpa berfikir setelah si induk mati, anaknya mati segera karena tidak mendapatkan susu dan perlindungan di alam yang terbuka dan buas.

Sementara itu, dengan sangat terbuka dan terus menerus mempromosikan diri bahwa mereka adalah pelayan publik, pelayan masyarakat. Seperti pemburu yang memakai dedaunan agar mereka tersamar dan dapat mendekati sasaran dengan efisien. Kadang mereka mengeluarkan suara-suara yang disukai hewan buruan agar mendekat dan dapat ditembak dihabisi.

Para pembuat kebijakan publik (policy makers) seringkali lupa bahwa kebijakan publik adalah kebaikan bersama, bukan kebaikan diri dan kelompoknya. Jargon "visi" dan "strategi", bukanlah pembenaran bahwa kebijakan publik tidak berbeda dengan selera kekuasaan yang identik dengan selera pemburu.

Pembuat kebijakan adalah politisi. Mereka bertarung dengan ketat untuk mendapatkan puncak kekuasaan. Proses pertarungan membuat mereka mempunyai insting pemburu dan pembunuh dari pada insting membangun, menyelamatkan, dan menghebatkan publik. Ironi politik demokrasi, terlebih demokrasi langsung, terbuka, dan liberal membuka ruang bagi pertarungan brutal yang menghasilkan policy-makers yang brutal pula.

Kebijakan-kebijakan yang dihela oleh pusat-pusat keuntungan ekonomi yaitu para suplier atau vendor driven policy ditutup dengan mantra "kebijakan visioner". Kebijakan ini bertebaran di sejumlah kementerian di Pusat dan Pemerintah-Pemerintah Daerah hingga desa-desa dan kasat mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun