Banyak yang bilang kalau alat transportasi umum di Indonesia masih dirasa kurang nyaman. Entah dari mana datanya, betul atau tidak, saya merasakan hal tersebut. Mau tidak mau, suka tidak suka, saya pun terkadang menggunakan alat transportasi umum tersebut untuk keperluan – keperluan tertentu. Mulai dari Angkutan kota (angkot), bus, kereta api, bahkan taxi sekalipun.
Sudah bukan pemandangan asing jika alat transportasi umum di Indonesia selalu di jejali oleh para penumpang, terutama di waktu dan jam – jam tertentu. Entah karena armadanya kurang atau penumpangnya yang sudah terlalu banyak, pemandangan ini seolah menjadi lumrah. Dengan kondisi demikian, otomatis setiap penumpang akan berusaha sekuat tenaga untuk berebut mendapatkan satu kursi yang diharap akan membuat mereka nyaman selama dalam perjalanan. Tanpa pandang bulu, penumpang lain dianggap sebagai saingan untuk mendapatkan tempat duduk. Padahal, sudah terpampang jelas di kaca atau di bagian sisi armada, untuk mendahulukan penumpang Lanjut usia, wanita hamil, ibu yang membawa anak kecil dan orang dengan cacat tubuh.
Dari sekian banyak pengalaman yang saya dapat pada saat menggunakan alat transportasi tersebut, ada satu hal yang menarik. Ketika ada undangan untuk meeting di kantor pusat, di daerah Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, saya biasanya menggunakan kereta karena biayanya yang tidak terlalu mahal. Kebetulan, dari Bogor ke Jakarta akses yang mudah memang menggunakan kereta. Pada saat kereta sudah melaju, saya melihat ada sekitar 5 orang berdiri berkelompok di dekat pintu kereta. Mereka mengobrol dengan asiknya, membicarakan apapun, berganti dari satu topik ke topik yang lain. Salah satu yang mereka perbincangkan adalah mengenai pemilihan Gubernur DKI Jakarta, Jokowi Vs Fauzi Bowo.
“Eh bro, ‘kalo Lu jadi warga Jakarta, Lu bakalan milih siapa nih?”, tanya pria berkemeja biru kepada salah satu rekannya.
“Hmmm, siapa ya, bingung gue. Kalau ditanya siapa yang tahu tentang Jakarta, jawabannya adalah Foke. Tapi kalau ditanya siapa yang disukai warga, jawabannya adalah Jokowi. Jadi gue masih bingung kalau disuruh memilih”.
“Ah Lu gimana sih, ngga menjawab pertanyaan”, si pria berkemeja kotak – kotak menyambar. “ Kalau gue ditanya kaya gitu, gue ga akan memilih dua – duanya”.
“Emang kenapa bro?”
“Soalnya gue ga tahu kelebihan mereka masing – masing seperti apa, yang gue tahu mereka pada sibuk untuk memperebutkan posisi dan jabatan, bahkan terkadang menghalalkan segala cara. Jadi males buat milihnya juga.
“Apalagi pada saat pemilihan anggota dewan, gue ‘ga pernah tahu visi dan misi mereka apa, tapi gue dipaksa untuk memilih. Boro – boro memikirkan nasib rakyat, yang ada mereka malah sibuk berebut Kursi di Senayan”, ungkap si pria berkemeja kotak – kotak.
“Iya bener tuh. Gue juga suka sebel sama calon – calon anggota dewan itu. Pada sikut – sikutan buat meraih satu jatah kursi. Mereka sering sekali mengatasnamakan rakyat dalam kampanyenya. Begitu terpilih, lupa sama janji – janjinya kepada rakyat”, si perempuan yang memakai blazer menambahkan.
“Yup, gue ga suka tuh sama orang – orang yang kaya gitu. Kerjaanya cuma mementingkan diri sendiri aja”, tambah si pria berkemeja kotak – kotak seolah mengamini.
Selama perjalanan saya memperhatikan perbincangan mereka. Dari penampilan dan cara bicaranya, mereka boleh dibilang para eksekutif muda yang mungkin bekerja di perusahaan – perusahaan elite di Jakarta. Dan sepertinya, dulu mereka kuliah di perguruan tinggi yang terkemuka juga. Sebelum memasuki stasiun manggarai, beberapa penumpang yang akan turun di stasiun tersebut berjalan mendekat ke arah pintu. Lalu kulihat ada dua orang penumpang yang duduk di dekat kelompok tadi beranjak dari tempat duduknya bersiap hendak turun. Sontak para penumpang di sekitarnya berlomba – lomba mengincar kursi yang hendak ditinggalkan. Hanya dalam waktu sepersekian detik, dua kursi kosong yang ditinggalkan sudah terisi kembali.
“Alhamdulillah akhirnya dapat juga”, ucap seorang pria kepada teman perempuannya sembari menarik nafas lega setelah mereka mendapatkan dua kursi kosong tadi.
Ternyata, pria yang berhasil mendapatkan tempat duduk tersebut dan teman perempuannya adalah kelompok eksekutif muda yang tadi. Luar biasa, batinku. Orang – orang yang baru saja berbincang tentang keserakahan para calon anggota dewan yang memperebutkan kursi di senayan, baru saja mempertontonkan apa yang mereka perbincangkan. Mereka mengkritik para calon anggota dewan yang berebut kursi dengan menghalalkan segala cara. Tanpa disadari, mereka pun telah melakukan hal itu. Padahal, sebelum mereka duduk di kursi penumpang tersebut ada beberapa penumpang lain yang terlihat sudah lanjut usia dan bahkan diantaranya adalah perempuan. Dan yang paling membuatku miris adalah mereka berdua sempat menabrak seorang ibu yang juga memburu kursi tersebut, hingga sang ibu tersebut hampir terjatuh. Entah sengaja atau tidak proses tabrak menabrak tersebut.
Saya yang berdiri di dekat ibu tadi merasa sedih melihat kondisi demikian. Tidak hanya satu kali saya melihat pemandangan seperti ini, tetapi beberapa kali. Orang yang mengkritik para calon anggota dewan yang berebut kursi di Senayan, ternyata mereka pun berebut kursi penumpang di kereta. Jika dipikir secara rasional, harga kursi penumpang kereta hanya Rp. 5.500,- sebuah harga yang boleh dibilang tidak terlalu mahal, diperebutkan sedemikian rupa, bahkan oleh orang – orang pengkritik tadi. Mungkin boleh dimaklumi jika para calon anggota Dewan di Senayan rela berebut kursi dengan menghalalkan segala cara. Lah wong disana kursinya katanya mahal banget, bahkan ada yang bilang miliaran. Atau mungkin saja, harga kursi anggota Dewan hanya Rp. 5.500, - seharga dengan satu kursi penumpang kereta yang diperebutkan, bahkan dengan menghalalkan segala cara pula. Absurd.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H