[caption id="attachment_222159" align="aligncenter" width="480" caption="Ilustrasi/ Admin (shutterstock)"][/caption]
Padalarang, Jumat, 26 Oktober 2012 6:22 AM
Hari ini, tepat 11 Jam usia anakku, hmmm… Sedih, haru, senang, lemes, cape, ngantuk, semuanya campur aduk jadi satu. Tapi,rasa kantuk lebih kurasakan saat ini, maklum aku baru bisa tidur jam 3:30 subuh. Selepas istriku masuk Ruang Operasi, sekitar pukul 19:00, aku merasa gelisah sepanjang malam. Pikiranku melayang kesana kemari, memikirkan semua kemungkinan – kemungkinan yang akan terjadi.
Aku bersyukur operasi sudah selesai dan berjalan lancar. Hanya istri dan anakku langsung masuk ICU untuk perawatan intensif. Sementara, Aku terpekur sendiri di dalam kamar rawat inap karena tak bisa menemani mereka. Mungkin itu salah satu yang membuat aku gelisah dan susah tidur semalam. Selain itu, Bapak dan Ibu mertuaku, serta Adik iparku Yohan baru sampai di Rumah Sakit pukul 24:00, karena terjebak macet selama 6 jam. Padahal, perjalanan dari rumah ke rumah sakit biasanya hanya ditempuh dalam waktu 30 menit.
“Di jalan rame banget orang mau mudik, ditambah banyak iring – iringan yang sedang melaksanakan takbiran Idul Adha”, terang Yohan sesampainya di Rumah Sakit Cahya Kawaluyaan Kotabaru Parahyangan.
Ucapan selamat datang dari semua orang, keluarga, sahabatku dan istriku. Aku merasakan perasaan senang dan bahagia. Ucapan selamat tersebut makin menguatkan hatiku. Horeeeee, aku jadi seorang Ayah ternyata sekarang. Alhamdulillah.
Begitu anakku lahir, aku menginformasikan kepada semuanya, termasuk salah satunya atasan tempatku bekerja. Dia pun mengucapkan selamat padaku. Seperti biasa, di kantorku setiap ada bayi baru lahir, sebagai rasa ungkapan suka cita, maka diumumkanlah kepada semua teman kantorku tentang kelahiran anakku, melalui media Broadcast Messenger. Tetapi ada satu hal yang menarik,sebelum atasanku mengumumkan berita tersebut, dia bertanya,
“Siapa nama anaknya, Rian?”, tanya atasanku.
“Hehehehehe, belum tahu, belum nyiapin”, jawabku sambil tersenyum campur bingung.
Sebetulnya, Aku memang belum menyiapkan nama untuk Anakku. Berdasarkan hasil USG, Anakku diprediksi lahir tanggal 24 Desember 2012, masih 2 bulan lagi dari waktu yang sekarang. Wajar jika nama belum sempat aku pikirkan. Yup, betul kawan, anakku terlahir premature, usia 31 minggu (7 bulan 3 minggu), dan berat badannya hanya 900 gram. Itulah alasan kenapa Anakku langsung masuk ICU begitu pula istriku karena selesai operasi tekanan darahnya masih cukup tinggi sekitar 170/120 mmHg. Selama dalam kandungan, bayiku kurang mendapat asupan makanan dan oksigen karena istriku terkena pre-eklamsia (hipertensi pada kehamilan). Kamu pernah mendengar nama penyakit itu kawan? Jujur, aku baru pertama kali mendengar nama tersebut.
Masih teringat di pikiranku kejadian seminggu yang lalu, 19 Oktober 2012. Saat itu, aku dan istri sengaja mengambil cuti untuk cek rutin kandungan. Biasanya, aku cek tiap hari sabtu, pada saat kami sama – sama berada di Bandung. Oh iya, satu informasi, saat ini aku kerja di Bogor dan istriku kerja di Cirebon, jadi hanya sabtu minggu saja kami bisa bersama, dan diantara hari itulah biasanya kami pergunakan untuk cek kandungan. Kami selalu bertemu di Bandung, karena itu adalah kota asal kami, dan keluarga kami pun memang tinggal di Bandung. Hanya saja, di minggu tersebut, kami memutuskan untuk periksa kandungan di hari Jumat, karena sudah 2 minggu terakhir istriku merasakan pusing yang amat sangat.
Seperti biasa, setelah dapat nomor antrian, para ibu – ibu hamil dipanggil satu persatu untuk di cek tekanan darah dan berat badannya. Sampai akhirnya tibalah giliran istriku yang dipanggil.
“Ibu Cindra…”, teriak salah satu perawat.
Kami pun langsung menghampiri perawat tersebut. Setelah di cek, ternyata tekanan darah istriku di angka 120/80 mmHg. Sebetulnya, ini kondisi normal, hanya bagi istriku, ini sudah cukup tinggi karena biasanya tekanan darah istriku berada di kisaran 100 – 110 mmHg untuk tekanan sistoliknya, karena istriku termasuk orang yang memiliki tekanan darah rendah. Tak ada kecurigaan pada saat itu.
Setelah bertemu sang Dokter, dokter Irnawaty Muhadji, Sp.OG namanya - salah satu dokter kandungan terbaik di kota Bandung - , istriku mengeluhkan rasa pusing yang dialaminya, termasuk kondisi kaki istriku yang bengkak luar biasa, di luar kebiasaan ibu hamil yang lain. Akhirnya kami dirujuk untuk mendatangi dokter syaraf. Tetapi, dari analisa dokter syaraf, istriku tidak mengalami masalah pada syarafnya. Kemudian, istriku di minta ke Laboratorium untuk diperiksa urinenya.
Setengah jam berlalu, hasil tes Urine sudah keluar. Segera kami konsultasikan hasil tersebut ke Dokter Irna. Dengan seksama dokter memeriksa dan menganalisa secarik kertas yang kuberikan.
“Dari hasil lab ini, hasilnya bagus”, ucap dokter Irna. Mendengar penjelasan itu perasaanku sedikit tenang.
“Akan tetapi, disini proteinnya +3 dan berat badan bayimu hanya 900gram. Dengan usia kandungan 7 bulan lebih (32 minggu), seharusnya berat badannya 1,5 kg”, lanjut Dr Irna dengan logat khasnya.
“Maksudnya, dok?”, tanyaku penasaran.
“Artinya istrimu mesti diopname sekarang juga, dia suspect Pre-eklamsia”, jawabnya tegas.
Langsung kulihat raut muka istriku yang tampak kaget dan seolah tak percaya. Selama ini dia memang merasakan pusing, hanya dia tidak berpikiran sejauh itu, Opname kawan, kata yang selama ini paling dihindari oleh istriku. Bahkan, sempat terucap permintaan dari istriku untuk menangguhkan proses opname tersebut sampai minggu depan saking takutnya. Pre-eklamsia adalah salah satu penyakit yang mesti ditangani secara khusus. Jelas, dokter tak akan mengijinkan hal itu.
Dari penjelasan dokter dan beberapa literature yang aku baca di internet, sedikit banyak aku mulai tahu dan mengerti tentang penyakit ini. Pre-eklamsia atau orang biasa menyebut Hipertensi/keracunan kehamilan adalah kondisi kenaikan tekanan darah pada ibu dengan kehamilan lebih dari 20 minggu dan adanya protein dari pemeriksaan urin. Jika tidak tertangani, komplikasi yang paling serius adalah terjadinya kejang atau koma, yang disebut Eklamsia. Kondisi ini sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kematian ibu dan janin. Di Indonesia, eklamsia termasuk penyebab kematian utama Ibu. Pantas saja Dokter Irna meminta supaya istriku di opname, karena semua keluhan – keluhan yang dialami oleh istriku mengindikasikan penyakit ini.
Masih belum diketahui penyebab pasti dari kondisi ini. Karena itu, Pre – eklamsia sering kali dikatakan petir di siang bolong. Persis, seperti yang dirasakan aku dan istriku, tanpa disangka tanpa diduga, istriku mesti opname, padahal selama hamil istriku hampir tidak pernah sakit bahkan kedatangan kami ke rumah sakit pun awalnya hanya untuk cek kandungan rutin. Istriku belum pernah diopname, bahkan jarum suntik menjadi salah satu benda yang paling dihindari. Tetapi disini, selain diinfuse, beberapa kali istriku mesti diambil sampel darahnya untuk keperluan pengecekan laboratorium. Satu lagi, selama dua hari istriku harus merasakan perih dan pegalnya suntikan penguat paru – paru untuk bayi yang dikandungnya. Sepertinya ini bukan cuma petir aja deh, tapi udah ditambah dengan hujan lebat, hehehehe lebay, tapi memang iya sih.
Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, Pre - eklamsia biasanya baru diketahui pada usia kandungan di atas 20 minggu atau trimester ketiga, meskipun ada juga yang pernah diketahui pada masa awal kehamilan. Satu pesan kawan, jaga dan cek kandungan secara rutin, karena bisa jadi Pre – eklamsia baru diketahui menjelang kelahiran meskipun dari hasil pemeriksaan tekanan darah sebelum – sebelumnya dikatakan normal, bahkan di usia 1 – 6 bulan kehamilan, tekanan darah istriku rendah. Jadi, penyebab Pre – eklamsia ini masih menjadi misteri, alias belum diketahui secara pasti. Namun, para ahli sepakat bahwa penyakit ini dimulai pada saat terjadinya plasentasi (proses pembentukan struktur dan jenis plasenta), yaitu saat di awal kehamilan, plasenta menempel ke dinding rahim. Ketika plasenta menempel ke dinding rahim, seharusnya terjadi perubahan pembuluh darah rahim dan plasenta, agar rahim ibu dapat memenuhi kebutuhan darah plasenta dan janin. Kondisi ini yang tidak dipenuhi oleh istriku, sehingga kebutuhan darah plasenta dan janin menjadi berkurang. Disamping itu, Pre – eklamsia juga menyebabkan fungsi ginjal terganggu. Sari makanan yang seharusnya di saring oleh ginjal untuk kebutuhan darah dan janin, tidak dapat disaring secara sempurna oleh ginjal, sehingga sari makanan tersebut terbuang dan akhirnya memenuhi kaki, tangan, dan wajah istriku. Itulah sebabnya, kaki istriku mengalami bengkak yang lebih besar dari biasanya. Wajah dan tangan pun mengalami hal yang sama. Tidak heran, jika anakku pada saat lahir beratnya hanya 900 gram, karena kurangnya asupan makanan bagi si janin pada saat kehamilan, padahal seharusnya beratnya sudah di angka 1,5 kg.
Sedikit berbagi tips, selain bengkak pada kaki dan tangan, protein pada urine dan tekanan darah tinggi, gejala Pre - eklamsia yang patut diwaspadai adalah :
- Berat badan yang meningkat secara drastis akibat dari penimbunan cairan dalam tubuh,
- Nyeri perut,
- Sakit kepala yang berat,
- Perubahan pada reflex, rasa kaku pada ujung jari tangan dan kaki yang disebabkan cairan yang keluar dari pembuluh darah yang pecah (akibat tekanan darah yang tinggi) masuk ke dalam jaringan dan menekan sel syaraf,
- Penurunan produksi kencing atau bahkan tidak kencing sama sekali,
- Ada darah pada air kencing,
- Penglihatan menjadi kabur bahkan terjadi kebutaan sesaat,
- Pusing,
- Mual dan muntah yang berlebihan.
Sebetulnya, beberapa wanita hamil yang normal dapat mengalami pembengkakan pada kaki dan tangan. Tetapi jika bengkak yang timbul tidak mengecil saat istirahat dan ditambah dengan gejala yang disebutkan di atas, maka sebaiknya segera ke dokter untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Begitulah kira – kira penyakit yang saat ini ada pada istriku kawan karena penyakit ini dapat membuat kehamilan menjadi beresiko tinggi, dokter biasanya akan merancang langkah – langkah untuk menanganinya, antara lain :
1.Mengatur asupan makanan rendah garam dan karbohidrat,
2.Mengontrol tekanan darah dan kadar protein dalam urin secara ketat. Jika dirawat di rumah, dianjurkan mempunyai alat monitor tekanan darah,
3.Memberikan obat penurun tekanan darah secara terkontrol,
4.Bila Pre - eklamsia berat (PEB), diupayakan mempercepat persalinan pada saat paru – paru janin sudah cukup berkembang.
Dari hasil diagnose dokter, ternyata istriku masuk ke dalam jenis Pre – eklamsia berat (PEB). Sehingga, obat satu – satunya hanyalah proses persalinan sesegera mungkin. Tetapi pada saat itu, usia kandungan istriku baru masuk 7 bulan 2 minggu, sehingga dokter belum bisa melakukan proses persalinan. Menurut analisa dokter, untuk usia 7 bulan lebih masih belum cukup kuat bagi si bayi. Meskipun dipaksakan untuk terminasi, peluang bayinyauntuk bertahan hidup sangat tipis.
“Kita tunggu 2 minggu ke depan aja ya untuk proses terminasinya, sampai usia kandungannya 8 bulan,” jelas Dokter Lutfi spesialis penyakit dalam.
“Kalau sudah 8 bulan, bayinya sudah cukup kuat,” tambahnya.
***
“Pak, istri saya harus diopname, mungkin bisa jadi 1 minggu bahkan lebih, karena dia kena Pre - eklamsia. Minta doanya ya.”
“Oke, use your time aja ya. Ntar cutinya gw urusin. Lu ga usah mikirin kerjaan, yang penting istri Lu cepet sembuh.”
Begitulah kira – kira percakapanku dengan atasanku via Blackberry Mesengger.
Setelah mendapat persetujuan cuti dari atasanku, aku sedikit lega. Tapi kawan, kelegaan itu hanya dirasakan sesaat saja. Aku baru saja mendapat informasi dari Dr Irna dan Dr Lutfi, bahwa selama 2 minggu ke depan, bisa saja sewaktu–waktu istriku terpaksa harus melahirkan, dengan cara Caesar tentunya, jika kondisi istri atau anakku berada dalam kondisi kritis atau berbahaya.
Setiap harinya, istriku mendapatkan obat untuk menurunkan tekanan darahnya yang tinggi (tekanan sistol masih berada di kisaran 130 – 160mmHg), melalui infuse dan juga obat yang diminum. Hal ini dilakukan agar tekanan darah istriku tidak berada di atas 170 mmHg, karena jika tekanan darahnya di atas itu, dia bisa mengalami ulu hati nyeri, pusing yang amat sangat, pandangan kabur, kemudian pingsan, bahkan kejang – kejang karena pembuluh darahnya sedikit demi sedikit pecah, dan itu bisa menyebabkan kematian. Jika kondisinya sudah seperti itu, mau tidak mau proses terminasi harus dilakukan, apapun resikonya, dalam hal ini usia kandungan masih belum mencapai 8 bulan, dikhawatirkan si bayi masih belum cukup kuat untuk bertahan hidup pada saat keluar. Di samping itu, setiap hari anakku selalu di cek denyut jantungnya melalui alat perekam jantung. Dalam sehari, bisa 5 kali di cek kondisi jantungnya. Bersyukur, selama dicek, denyut jantung anakku berada di kisaran normal, 130 atau 140 detak per menit (Normal : 120 – 160 detak/menit). Selama menunggu sampai 2 minggu ke depan itulah, aku harus selalu mengawasi kondisi istri dan anakku supaya bisa tetap stabil, sambil harap – harap cemas, takut sewaktu – waktu kondisinya tiba – tiba kritis. Luar biasa rasanya kawan, pengalaman yang sungguh luar biasa. Aku berharap, cukup aku saja yang mengalami hal ini. Dan aku berdoa, semoga kawan sekalian diberikan kesehatan, kelancaran dan keselamatan selama proses kehamilan istri dan kelahiran anaknya.
***
Hari ini adalah hari Kamis tanggal 25 Oktober 2012, sudah sekitar 7 hari kami berada di rumah sakit. karena merasa sudah sangat lama, istriku mulai merasakan kebosanan. Sempat dia mengutarakan ingin pulang ke rumah dan di rawat di rumah saja. Dan aku yakin, dokter tidak akan mengijinkan, karena untuk kasus seperti ini, harus mendapatkan pengawasan dan penanganan secara khusus. Jujur, Aku sendiri pun berharap selama 7 hari ini dan 7 hari ke depan, istriku tetap di rawat di rumah sakit, untuk memudahkan penanganan jika terjadi hal – hal yang tidak diinginkan.
“Dok, aku boleh pulang ga, dan dirawat di rumah?”, tanya istriku, ketika dokter datang untuk pengecekan rutin di pagi hari.
“Oh begitu, boleh saja, tapi kita lihat tensinya sampai besok ya. Kalau sudah stabil di 130, besok kamu boleh pulang”, jawab dr Irna.
Masih bingung juga aku, kok dr Irna mengijinkan istriku untuk pulang. Ya mudah–mudahan saja istriku memang boleh pulang, ucapku dalam hati.
Selang beberapa menit setelah Dokter meninggalkan kamar kami, ada suara pintu diketuk.
“Pak, di tunggu Dokter di ruang perawat, sekarang”, kata salah seorang perawat di balik pintu kamar kami yang sudah terbuka.
Aku pun bergegas ke ruang perawat untuk menemui dr Irna, ditemani adik iparku Hilda, yang kebetulan sedang ada di kamar rawat istriku. Hilda, adik iparkku yang satu ini kebetulan kerja di rumah sakit tempat istriku di opname. Sebelum menemui dokter, aku meminta bapak mertuaku yang pada saat itu sedang menjenguk untuk menjaga istriku sebentar.
“Pak, kondisi istri bapak masih bagus dan stabil. Hanya, kondisi bayinya sekarang agak menurun, gerakan bayinya kurang aktif.”
“Ada dua kemungkinan gerakan bayinya kurang aktif. Yang pertama, bisa karena bayinya malas. Yang kedua, karena bayinya tidak punya tenaga untuk bergerak yang disebabkan asupan makanan yang kurang dari si Ibu (fungsi ginjal Ibu terganggu sehingga asupan makanan menjadi sedikit untuk si bayi). Nah, yang saya khawatirkan adalah yang kedua“, jelasnya panjang lebar.
“Nanti setelah makan siang, kita coba rekam jantung lagi untuk bayinya ya, mudah – mudahan kalau setelah makan siang, bayinya kuat dan bisa aktif bergerak karena dapat asupan makanan.”
“Akan tetapi, jika nanti setelah rekam jantung lagi kondisinya masih seperti itu, mau tidak mau kita akan melakukan operasi Caesar untuk mengeluarkan bayimu. Kalau kondisi bayimu begini terus, saya takut dia meninggal di dalam, karena kurang asupan makanan.”
“Jadi lebih baik kita keluarkan, untuk menyelamatkan ibu dan bayinya. Yang menentukan umur memang bukan saya, tetapi Tuhan. Tapi, saya tetap berusaha untuk bisa menyelamatkan dua–duanya. Soalnya, bayimu di dalam tuh sebenarnya udah minta tolong supaya dikeluarin.”
“Keputusannya nanti saya kabarin sore ya, bisa jadi istri kamu Caesar malam ini atau besok pagi. Mudah–mudahan hasil rekam jantungnya nanti bagus, jadi kita bisa pertahankan sampai minggu depan. Kamu berdoa aja ya.” tambahnya lagi.
Di kamar, istriku bertanya kenapa aku dipanggil oleh dr Irna. Aku pun menjelaskan pada istriku persis seperti yang dijelaskan oleh dr Irna kepadaku. Tentu saja istriku kaget mendengar kabar tersebut.
Tepat pukul 14.00, selepas makan siang, istriku dipasangi alat di sekitar perutnya, untuk mengetahui rekam jantung dari si bayi. Lima belas menit pertama, kulihat istriku masih konsentrasi untuk menekan tombol yang terhubung ke alat perekam jantung setiap ada gerakan dari si bayi. Tetapi beberapa menit setelah itu, istriku tertidur. Dan, tak lama setelah itu, entah karena kecapean atau kenyang, aku pun ketiduran.
“Sayang, lihat perut aku, dedenya udah ga ada, udah dikeluarin. Aku udah Caesar”, kata istriku seraya berjalan ke arahku dan kemudian duduk di pangkuanku. Tanganku dipegang istriku dan diarahkan ke atas perutnya. “Pegang deh perutnya”, pintanya.
Aku senang mendengar kabar tersebut, tetapi sekaligus kaget dan takut. Lalu, dimana anakku sekarang? Bagaimana kondisinya? Perempuan atau laki – laki? Bagaimana rupa dan wajahnya, mirip siapakah? Beberapa pertanyaan tersebut menggelayuti pikiranku. Cukup lama aku terdiam, sebelum akhirnya aku mendengar ada suara pintu diketuk dari luar kamar.
“Pak... Pak Rian? Ada di dalam?”, teriak salah seorang suster sambil mengetuk pintu kamar.
“ Sayang, bangun, kayaknya di luar ada yang ngetuk pintu deh”, panggil istriku.
Panggilan istriku dan teriakan suster di balik pintu kamar akhirnya membangunkanku. Ternyata, apa yang aku alami tadi hanya mimpi saja kawan. Ya, hanya mimpi. Aku melihat ke arah istriku, ternyata perutnya masih besar, dan anakku belum lahir tentunya. Kemudian, aku bergegas berjalan ke arah pintu. Di balik pintu, sudah ada dua orang suster dan dr Irna.
Dr Irna kemudian menghampiriku. Sementara kedua suster yang tadi posisinya kini sudah berada dekat dengan istriku.
“Pak Rian, saya sudah melihat hasil rekam jantung anak bapak yang tadi siang. Dan hasilnya masih sama seperti sebelumnya, tidak terlalu bagus. Pergerakannya kurang aktif. Seperti yang saya ceritakan tadi siang. Jika pergerakan bayimu masih kurang aktif, mau tidak mau, bayimu mesti dikeluarkan sekarang. untuk menyelamatkan bayi dan istrimu”, ucap dr Irna kepadakku.
“Apakah operasinya harus sekarang, Dok?, tanya istriku disertai air mata yang membasahi pipinya. Ternyata, istriku juga mendengar apa yang dikatakan dr Irna.
“Lebih cepat lebih baik”, jawab dr Irna. “Jam 19.00 kita akan lakukan operasinya”, tambahnya.
Aku lihat jam yang terpasang di dinding di atas televisi, jarum panjang berada di angka 6 dan jarum pendeknya berada di tengah Antara angka 5 dan angka 6, tepat pukul 17.30. Satu setengah jam menuju operasi kawan. Tanpa pikir panjang, semua orang–orang terdekat aku hubungi, baik itu teman kantor, teman main, teman sekitar rumah. Tak lupa orang tuaku dan orang tua istriku pun aku hubungi untuk meminta doa demi kelancaran proses operasinya. Tak sedikit orang yang kaget mendengar kabar ini, terutama teman–teman kantorku dan teman–teman kantor istriku.
5 menit kemudian, datang seorang suster dan satu orang bagian administrasi mendatangiku. Aku diminta untuk membubuhkan tanda tangan di beberapa lembar dokumen sebagai tanda persetujuan operasi istriku, dan tentu saja persetujuan biayanya juga. Ternyata biayanya tidak sedikit kawan. Tapi aku sudah tidak mempedulikan besarnya biaya yang harus aku keluarkan, yang penting istri dan anakku bisa selamat. Lembar demi lembar aku tanda tangani. Di saat yang bersamaan, telepon genggamku dan telepon genggam istriku berbunyi dan tak berhenti. Beberapa orang mencoba menghubungi kami, plus ditambah SMS dan BBM di telepon genggamku terus bermunculan. Di atas tempat tidur, istriku yang sedang di tangani oleh suster untuk persiapan operasi, terus memanggilku, meminta untuk ditemani. Bisa dibayangkan kawan kondisinya seperti apa pada saat itu. Bisa dibayangkan apa yang aku rasakan pada saat itu. Luar biasa kawan.
Begitu urusan administrasi selesai, dua orang perawat dengan sigap mempersiapkan semuanya, kamar, obat–obatan yang akan dipakai, termasuk perlengkapan–perlengkapan lainnya.
“Bu, rileks ya, sekarang kami akan memberikan suntikan di tangan dan pantat ibu. Rasanya akan lumayan sakit. ” pinta seorang perawat.
Istriku mengerang kesakitan begitu jarum suntik masuk menembus tangan dan pantat. Tak tega aku melihatnya. Istriku yang biasanya kuat dalam segala hal, tak bisa menahan rasa sakit pada saat jarum itu menancap di tubuhnya, terutama setelah obatnya mulai bereaksi. Tapi ada satu hal yang selalu membuatku tersenyum di saat kondisi–kondisi seperti ini. Jika Istriku merasa sedang dalam keadaan tegang dan takut, dia selalu memintaku untuk memberi dia cerita–cerita lucu. Siapa yang bisa cerita lucu pada saat kondisi tegang seperti ini? Aneh–aneh saja terkadang permintaan istriku, tapi justru itulah yang membuatku tersenyum, karena hal itu yang ternyata membuat aku lebih rileks.
Selepas sholat maghrib, aku langsung menuju ruang tunggu operasi. Istriku kini sudah berada di ruang operasi. Sambil menunggu operasi istriku, aku berusaha membalas SMS dan BBM yang masuk di telepon genggamku, sebelum suara panggilan suster menghentikannya.
“Suami ibu Anastasia Cindra?” panggil salah seorang suster.
Aku langsung menghampiri suster tersebut. Aku diminta untuk segera mengganti pakaian yang aku kenakan dengan pakaian khusus untuk masuk ke ruangan operasi. Jantungku berdegup cukup kencang, apalagi suster tersebut memintaku untuk bergerak lebih cepat. Jantungku berdegup semakin kencang ketika melihat istriku terbujur kaku di meja operasi. Adegan yang ada di film Emergency Room (E.R) pada saat seseorang tengah dioperasi, kini aku saksikan secara langsung, bahkan ini terjadi terhadap istriku. Noda–noda darah menempel di mana-mana. Tangan–tangan dokter yang berlumuran darah dengan cekatan dan teliti berada di sekitar perut istriku. Sementara aku melihat tubuh istriku lemah tak berdaya. Ya Tuhan, kuatkanlah kami untuk menjalani semua ini. Hanya itu doa yang sempat aku panjatkan, sebelum akhirnya dokter anak memanggilku.
“Pak, anaknya di sebelah sini”, ucap dr Yulia, Sp.A, si dokter anak tadi. “Tadi, pada saat anak bapak diangkat, dia langsung menangis, itu pertanda bagus.”
“Dan saat ini, kondisinya juga bagus, hanya saja berat badannya masih 900 gram. Akan tetapi, kondisi bayi biasanya ekstrem, saat ini kondisinya stabil tetapi sesaat kemudian bisa berubah menjadi kritis, begitupun sebaliknya.”
“Jadi, sekarang mau tidak mau anak bapak harus dimasukkan ke incubator dan dibawa ke ruang ICU”, lanjutnya.
Sedih kawan, itu yang aku rasakan pada saat aku melihat anaku untuk pertama kalinya. Anak dengan berat badan sekecil itu harus berjuang untuk bisa bertahan hidup. Tangisannya membuatku makin tak kuasa untuk melihatnya. Apalagi ketika aku melihat nafasnya yang naik turun, terasa berat, meskipun sudah diberikan oksigen lewat hidungnya oleh salah seorang suster. Tanpa terasa, air mata mulai memenuhi kelopak mataku. Siapa yang tak sedih kawan melihat anaknya dimasukkan ke dalam incubator untuk mendapatkan perawatan intensif di ICU, sementara di sisi yang lainnya, istrinya sedang berjuang juga untuk tetap bertahan menjalani proses operasi.
Tepat pukul 20.00, salah seorang dokter keluar dari kamar operasi, rupanya dia adalah dr Irna. Dia menjabat tanganku dan mengucapkan selamat atas kelahiran putriku.
“Selamat ya, anakmu perempuan. Ternyata keputusan kita tadi siang tepat. Untung bayimu dikeluarkan, karena tadi pada saat proses operasi, tensi istrimu sempat mencapai 186”, ucap dr Irna.
“Sekarang, kamu masuk ke dalam, temani istrimu. Dia ada di ruang recovery pasca operasi”, tambahnya sambil berlalu. 186 mmHg ? Ngeri aku mendengarnya. Seseorang punya ambang batas pada tekanan darahnya. Jika kondisi tekanan darah istriku tersebut tetap bertahan, atau bahkan makin membesar, maka pembuluh darahnya bisa pecah, dan bisa menyebabkan kejang–kejang, bahkan kematian.
Aku bergegas menuju ruang Recovery. Di sana istriku terbaring di tutupi dua selimut tebal. Ada selang berukuran besar berasal dari sebuah mesin yang memancarkan hawa panas diarahkan ke tubuh istriku.
“Sayang, dingin…”, lirih istriku sambil menggigil. Gigi–giginya beradu menimbulkan bunyi gemeretak. Ternyata 2 selimut dan mesin tadi sengaja dipasang untuk menghangatkan suhu tubuh istriku. Efek dingin pasca operasi masih terasa rupanya. Setelah dua jam berlalu, tekanan darah istriku masih 173 mmHg, masih belum stabil. Atas saran dokter jaga di ruang recovery, istriku langsung dibawa ke ruang ICU untuk mendapatkan perawatan intensif, agar tekanan darahnya bisa normal kembali.
Setelah istri dan anakku masuk ke ruang ICU, seorang perempuan yang terbilang masih muda datang menghampiriku, Vinsen namanya. Dia adalah Front liner yang kebetulan bertugas pada malam itu.
“Pak, mohon maaf, ada beberapa hal yang harus bapak tanda tangani lagi”, pinta Vinsen seraya menyerahkan beberapa lembar kertas ke arahku.
“Ini adalah lembar persetujuan dari pihak keluarga atas tindakan yang akan dilakukan terhadap anak dan istri bapak, yakni perawatan di ruang ICU. Dan mohon maaf, biayanya cukup besar per harinya, pak. Apakah bapak setuju?” tanya Vinsen padaku.
“Atau mungkin kalau bapak mau mendiskusikan terlebih dahulu dengan keluarga perihal biayanya, kami persilahkan”, lanjutnya memberi saran.
Fantastis, biaya operasi Caesar yang aku tanda tangani sore tadi ternyata tidak ada apa–apanya dibanding dengan biaya perawatan di ICU.
“Oke mba, saya setuju”, jawabku tanpa pikir panjang lagi. Pokoknya, apapun dan berapapun, akan aku lakukan yang penting istri dan anakku bisa selamat dan sehat kembali. Karena mereka adalah segalanya bagiku.
Sempat aku merenung sesaat, cobaan apa yang hendak Tuhan berikan kepadaku dan juga keluarga kecilku ini. Yang pasti, aku yakin akan ada sesuatu yang lebih indah yang sudah Tuhan persiapkan untuk kami. Hidup harus dijalani, apapun resiko dan rintangan yang ada. Sekarang aku tersadar, bahwa kasih sayang Orang Tua tak terbatas. Aku dan ketiga adikku dibesarkan dengan kasih sayang oleh orang tuaku. Dan aku yakin, orangtuaku akan melakukan apapun demi kebahagiaan dan kesejahteraan anak–anaknya, meski banyak halangan dan rintangan yang menghadang. Dan setiap orang tua pasti berlaku seperti itu, termasuk diriku saat ini. Apapun akan aku lakukan yang penting anak dan istriku bisa bahagia. Apa yang saat ini menimpaku, ternyata belum ada apa–apanya dibandingkan dengan pengorbanan orang tua kepada kami.
Pesan untuk kita semua kawan, sayangilah orang tua kita, karena mereka adalah orang–orang hebat yang sudah mendedikasikan hidupnya untuk kita. Sayangi pula anak dan istrimu kawan, karena merekalah yang bisa membuatmu menjadi orang hebat.
Ruang Elisabeth Kamar 2103 Rumah Sakit Cahya Kawaluyan Kota Baru Parahyangan, Padalarang. Kamar ini akan menjadi salah satu saksi dari jalan cerita yang harus kami lalui. Dan dari kamar ini lah aku menulis semua ini.
***
Saat ini, tekanan darah istriku sudah normal kembali, hanya rasa pusing masih tetap ada. Dan anakku, yang kuberi nama Abigail Audrey Najla, masih berada di NICU Rumah Sakit Borromeus untuk mendapatkan perawatan intensif. Doa kami menyertaimu nak’.
Abigail Audrey Najla. Kuatlah, sekuat Bumi, Cinta dan Pemahaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H