Cirebon. Salah satu kota yang terletak di ujung timur wilayah Jawa Barat. Berdasarkan letak geografisnya, Cirebon berada pada posisi sekian derajat Lintang Selatan dan sekian derajat Bujur Timur, J. Kota ini unik sekali. Meskipun masuk wilayah Jawa Barat, akan tetapi dari sisi bahasa berbeda dengan orang-orang di Jawa Barat pada umumnya. Bahasa Sunda bukan, bahasa Jawa juga bukan. Mereka sendiri menyebutnya sebagai Bahasa Cerbon. Kata Jeh atau Tah dipakai sebagai pelengkap imbuhan dalam setiap percakapan.
Karena letaknya dekat dengan wilayah Pantai, maka cuaca di sana terasa sangat panas. Rata-rata paling minim berkisar di 27 - 30 derajat Celcius. Tak kalah panas dengan cuaca Cirebon, ada kuliner yang bikin bibir terasa panas. Mie Get namanya, mie instant yang dimasak dengan dipadu bumbu-bumbu rahasia dan saos serta kecap warisan leluhur (leluhur si pedagang tentunya). Dijamin tidak sehat makanan ini. Kalau TV kepunyaan bapak CT datang ke sini, pasti makanan ini masuk menjadi nominasi untuk di investigasi. Beruntung yang tahu hanya warga Cirebon dan orang yang pernah main ke Cirebon seperti saya, jadi makanan ini setidaknya masih aman untuk disantap, hehe.
Tetapi, bukan atas dasar cerita di atas saya sering berkunjung ke Cirebon. Tujuan Saya datang ke Cirebon karena pacar (yang sekarang sudah menjadi istri) saya kebetulan bekerja di Cirebon. Bolak-balik Bandung – Cirebon atau Bogor – Cirebon sudah ribuan kali ditempuh. Memberikan kesan? Tentu saja.
Kesan paling mendalam ketika menyambangi Cirebon saya rasakan minggu kemarin, karena saya bisa berangkat bareng istri dan anak sekaligus. Saya kebetulan ada tugas dari kantor. Sementara istri sengaja cuti agar bisa ikut bareng saya dan bernostalgia dengan sahabat-sahabatnya di Cirebon. Adapun tujuan anak saya (yang masih berusia 2 tahun 10 bulan) adalah menemani kedua orang tuanya.
Kurang lebih kita berada di Cirebon selama 4 hari. Berangkat hari Rabu dan pulang hari Sabtu. Kejadian menarik, terjadi di hari Jumat. Ketika adzan dzuhur berkumandang, saya mendatangi salah satu masjid yang berada di dekat Stasiun Kejaksan Cirebon untuk melaksanakan solat jumat, karena kebetulan acara kantor saya berlangsung di dekat masjid tersebut. Cat yang menempel di dinding masjid masih terlihat bersih. Ukiran kaligrafi yang tertulis di dinding menambah keindahan masjid tersebut. Hamparan sajadah yang tersusun rapi serta tiang-tiang yang terpancang dengan kuat makin membuat nyaman para jamaah yang hadir di sini. Masih terbersit di ingatan saya, kurang lebih 6 tahun yang lalu saya pernah solat jumat pula di masjid ini. Hanya kondisi dan suasana dulu dan sekarang berbeda jauh. Dahulu, masjid ini masih dalam proses pembangunan. Setiap dinding permukaannya masih kasar, sementara lantainya masih beralaskan tikar. Jendela-jendela yang terpasang masih belum mempunyai kaca. Mimbar untuk khatib pun hanya berupa meja dan kursi alakadarnya. Berbeda dengan penampakan saat ini, yang terlihat rapi, bersih, nyaman, dan indah (mudah-mudahan masyarakatnya sadar untuk terus merawat masjid ini).
Akan tetapi, ada satu hal yang tidak berubah. Selesai solat jumat, para jamaah bergantian mengantri untuk keluar dari masjid. Bukan karena jumlah pintu keluarnya sedikit atau ukuran pintunya yang kurang lebar, tetapi karena ada yang menghambat ketika kita hendak keluar dari masjid.
Penghambat itu adalah para pengemis yang berbaris tak beraturan sambil menjulurkan tangan atau menggunakan mangkok kecil untuk meminta-minta kepada para jamaah. Alhasil, proses keluar dari masjid pun agak tersendat. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan (yang usianya masih produktif, hanya 1 – 3 orang yang terlihat sudah tua) dan anak-anak. Yang perempuan mengenakan kerudung atau penutup kepala (tentu tidak syar’I cara memakainya, karena dipadu dengan kaos dan celana pendek). Beberapa diantaranya meminta dengan agak sedikit “memaksa”. Bahkan menggerutu ketika tidak ada yang bersedekah kepada mereka. Agak lama saya memperhatikan tingkah polah mereka.
Meskipun belum tentu mereka beragama Islam, tapi jujur, saya sebagai seorang muslim, menjadi malu. Saya malu. Harta yang saya punya apakah sudah sebagiannya diberikan pada mereka? Sedekah dan zakat saya apakah sudah cukup? Jawabannya pasti belum, karena kalau sudah saya tidak akan menyaksikan pemandangan tersebut.
Jadi bertanya-tanya lagi. Apa peran yang sudah saya lakukan? Sudah bermanfaatkah saya bagi hidup dan kehidupan ini? Kemana saja saya selama ini? Pertanyaan-pertanyaan itu langsung menghujam jantung kalau kata Tompi.
Hmmm. Cirebon. Kota yang sudah memberikan kesan dan memberikan pelajaran bagi saya. Itulah keunikan Cerbon jeh.