“Keberuntungan sang ego”, sebuah puisi yang pernah ku buat waktu itu, beberapa hari setelah perjalananku ke Merapi. Menggambarkan begitu beraninya aku memilih ego dari pada keselamatan jiwaku. Menantang maut, bermodal gila. Aku dan keempat temanku menilik gunung yang sedang hangat-hangatnya di perbincangkan itu. Padahal salah satu temanku, Ali (22), belum pernah menginjakkan kakinya di gunung mana pun. Ini adalah pendakian perdananya.
Minggu, 22 Mei 2011, kami berlima sudah sampai di sana, dan sebelum subuh kami memulai pendakian dengan beberapa sahabat yang lain. Berawal dari suatu kata “penasaran”, kami menjadi gila berita dan ingin menjamah langsung ke sana. 26 Oktober 2010, Merapi erupsi dahsyat. Menggemparkan seluruh pelosok negeri ini. Tak kalah dengan bencana tsunami Aceh dulu, Merapi menjadi sebuah kata mistis yang siap menekan detak jantung masyarakat di sekitar kakinya. 9 Januari 2011, Merapi masih murka. Kali ini ia memuntahkan lahar dingin. Hampir tiga bulan lebih banjir pasir di aliran lahar Merapi tak berhenti. Terus menderitakan manusia-manusia yang teraliri. Alasan itulah yang membuat kami datang ke sana subuh itu.
Sampai di New Selo, sebuah bangunan terakhir di jalur pendakian Selo-Merapi, terpajang tulisan “DILARANG MENDAKI DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI”. Tertulis besar dan sangat jelas terlihat walau hari masih subuh. Peringatan itu kami abaikan dan kami tetap melanjutkan keingintahuan kami. Berharap kami sampai di sumber derita masyarakat jogja delapan bulan yang lalu.
Perjalanan berlangsung lambat. Matahari sudah terlihat, kami baru sampai di perbatasan ladang petani. Pemandangan mencekam mulai nampak. Tak ada pohon hijau tinggi yang masih berdiri tegak. Mereka nampak gosong, yang tersisa hanya kayu bekas terbakar. Hanya semak yang melengkapi warna hijau di antara warna abu-abu di sana. Tetap saja tak segar. Embun pagi sudah di lahap habis oleh abu vulkanik yang tersisa di tanah dan pepohonan. Sungguh aku tak bisa membayangkan bagaimana keadaan alam di balik jalur pendakian kami. Ya, jalur pendakian kami tepat di sisi balik arah erupsi dan lahar dingin Merapi. Pantas saja ratusan orang mati terkena awan panasnya. Terkena abu panas yang dapat membakar pohon yang basah sekalipun.
Melanjutkan perjalanan, kami sampai di Watu Belah. Puncak Merapi sudah mulai nampak. Warnanya putih. Mirip gunung salju daerah tropis. Langit waktu itu sangat biru tanpa awan, sehingga puncak kelihatan sempurna. Hanya sebagian yang berwarna putih. Garis pembatas antara warna tanah dan warna putihnya sangat jelas terlihat. Itulah yang membuatnya terlihat seperti puncak Cartenz Jaya Wijaya. Pemandangan ini baru pertama kali ku lihat. Belum ada gunung mana pun yang berpose seperti ini. Entah apakah aku harus takjub atau berkata miris? Keduanya sama-sama ku rasakan. Takjub karena kedahsyatan kekuatan alam, miris karena semuanya mati. Ini memang ironi.
Kami terpaksa menghentikan perjalanan. Tepat di Pasar Bubrah, jalur Puncak telah habis. Tersisa gundukan pasir raksasa yang tak dapat diinjak. Bahaya longsor menjadi pertimbangan matang kami. Kami memutuskan berhenti dan berlama-lama menikmati suasana Merapi di sana. Kata seorang sahabat asal Boyolali, Gogon, “Dulu di depan sini masih ada bukit. Sekarang jadi lapangan pasir dan batu begini”. Tak dapat dibayangkan betapa hebatnya erupsi waktu itu. Menghancurkan bukit dan menyisakan lapangan luas di depanku sekarang. Batu-batu besar berserakan sejauh 100 meter pandanganku.
Semua pemandangan itu membuatku semakin takut. Kini aku melupakan egoku di bawah sana. Ketakutan menghampiriku dengan sejuta bayang tentang bencana Merapi. Aku ingin sekali lekas turun, tapi aku tak bisa mengacaukan pikiran sahabat yang lain. Aku hanya membayangkan jika ternyata Merapi murka lagi. Kami semua dapat terlempar jauh, sama seperti bukit yang sekarang tinggal hamparan batu ini. Bagaimana jika itu terjadi? Aku tak akan bisa berbuat apapun. Memang benar, kita tak dapat menaklukkan gunung (Merapi), siapa pun itu. Lawanlah diri kalian sendiri!
Puisi. Keberuntungan Sang Ego
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H