Mohon tunggu...
Rian Johanes
Rian Johanes Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pria yang menikmati hidup semanis senyum Obamma dan memiliki impian yang tingginya melebihi suara Mariah Carey @monsieurjoee

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ada Cinta di Minggu Ke-13

1 Oktober 2014   11:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:50 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Nak, di makan dulu rotinya.”

Tak satu katapun terucap dari mulutku hingga aku meninggalkan meja makan yang penuh dengan menu sarapan pagi. Pikiranku selalu kacau dan selalu diselimuti emosi. Tak sedikitpun senyum terpancar dari wajahku. Sering hatiku berkata, “kenapa aku?” namun selalu dengan cepat tersapu oleh kesibukan yang menghampiri di setiap detik aku mengedipkan mata. Kesibukan yang hanya omong kosong.

Retno, tak pernah terlambat menyiapkan makan untukku. Menyiapkan air panas untuk mandi. Memanasi mobilku sebelum aku berangkat kerja. Memilihkan baju yang akan aku kenakan setiap harinya. Hingga membukakan pagar ketika aku pulang kerja. Semua pekerjaan selalu beres. Namun aku juga tak melihat ada rona bahagia dalam dirinya. Bahkan, tak jarang dia menangis di hari-hari pertama dia tinggal bersamaku.

Mungkin aku terlalu cuek dan acuh. Aku selalu egois dan tak pernah memikirkan apa yang ia rasakan. Wanita berusia lima puluh tahun ini kubayar Rp. 500.000.000,- setiap bulannya untuk melayaniku selama 24 jam. Menurutku ia akan bahagia dengan bayaran mahal. Dan aku selalu menuruti permintaannya. Terkesan aneh, namun aku tidak mau kehilangan dia. Apapun akan kulakukan untuknya karena aku menaruh harapan dalam dirinya. Harapan untuk bisa mengembalikan senyumku dulu. Senyum ceria yang memikat banyak orang.

Sungguh sulit melupakan kejadian enam bulan yang lalu. Genangan air mata dan kepedihan ketika menyaksikan dua orang yang terbujur kaku dengan balutan kain putih dengan mata tertutup ; tak bernapas, tak berkedip, tak berkata, tak bergerak, hanya diam dan pucat pasi. Kepergian suami dan putraku karena kecelakaan yang seketika merubah langitku menjadi mendung selalu datang dan melumpuhkan seluruh syarafku dan menyesakkan nafasku.

Retno kuambil dari desa karena kebetulan pembantuku, mbak Tumi juga harus pulang untuk merawat suaminya yang sedang sakit. Mbak Tumi bilang kalau ada seseorang yang bisa kubawa ke Jakarta dan siapa tahu dia bisa menghiburku karena dia bilang kalau Retno itu orangnya luwes, sabar, baik, dan pintar mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Akupun menemui Retno dan membawanya ke rumah. Hanya tiga bulan kupinjam Retno dari anaknya yang kebetulan sudah bekerja untuk menemaniku dan berharap keadaan akan kembali seperti semula selama rentang waktu yang kuberikan. hari-hari pertama memang aku melihat Retno hampir kewalahan melihat tingkahku. Aku takut kalau dia tidak betah tinggal di rumah ini, tapi aku benar-benar stress dengan pekerjaanku.

Hari ketujuh minggu kedua, sepulangnya aku kerja, Retno menarik tanganku menuju belakang rumah. Dia membelikanku lima pot bunga. Dia mengajarkanku cara merawat bunga dan menyarankanku untuk menyiraminya setiap hari ketika pulang kerja. Katanya, aku harus menyempatkan waktu walaupun 10 menit. Dia juga bilang kalau perasaan si pemilik bunga itu tercermin pada bunga yang kita rawat. Ketika kita merasakan kegalauan, bunga itu akan ikut bersedih dan tak lagi indah.

Hari ketujuh minggu ketiga, Retno membelikanku sebuah buku resep membuat kue. Dia memaksaku untuk membuat kue paling tidak seminggu sekali. Dia bilang, membuat kue bisa menghilangkan kejenuhan. Apapun itu hasilnya, enak atau tidak, jadi atau tidak kue itu, itu urusan belakangan, yang jelas, lakukan dulu. Itulah yang penting katanya. Membuat kue juga tidak bisa dianggap sepele dan harus sabar. Kalau perasaan kalut dan risau, pasti hasilnya juga seadanya.

Hari ketujuh minggu keempat, aku terkejut dan terbangun dari tidur karena Retno membangunkanku di pagi buta. Aku kesal dan jengkel karena aku capek dan butuh istirahat. Retno memaksaku untuk bangun dan cuci muka. Dia membuka lemari pakaianku dan mengambil baju olah raga serta sepatu. Ternyata dia memaksaku untuk lari pagi keliling komplek. Dia bilang, bangun pagi itu menyehatkan badan. Tidak ada gunanya punya banyak uang kalau hanya habis untuk berobat karena sering sakit. Dia juga bilang kalau rutin bangun pagi akan menghindarkan kita dari berbagai macam penyakit. Disamping itu, kalau tubuh kita tidak diajak gerak untuk mengeluarkan keringat maka akan gampang terkena penyakit walaupun hanya flu atau pegal-pegal. Akupun lantas berpikir, kenapa wanita tua ini bisa lebih banyak tahu dari aku ya? Darimana dia bisa tahu semua ini? Ah, itu bukan urusanku!

Hari ketujuh minggu kelima, Retno memaksaku untuk libur bekerja dan pergi ke supermarket bersamanya untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Di sepanjang jalan menuju supermarket, Retno bercerita lucu sampai membuat aku tertawa ngakak. Yang lebih parahnya lagi, aku terpaksa harus mengerem mobil di pinggir jalan karena perutku mules hanya untuk melepas tawa karena ceritanya lucu sekali. Sesampainya di supermarket, Retno mengajakku mengelingi supermarket dan sesekali membiarkan aku mendorong trolley karena kami belanja sangat banyak. Luar biasa wanita ini, sampai-sampai kebutuhanku luar dalam bisa tahu. Retno memang begitu perhatian kepadaku.

Hari ketujuh minggu keenam Retno mengajakku ke salah satu panti asuhan. Aku hanya menyeringai kecil dan menerima ajakannya. Sebelum ke panti asuhan, Retno menyuruhku mampir ke salah satu tempat catering untuk mengambil nasi kotak yang ternyata sudah dipesannya seminggu sebelumnya lewat telpon. Dari tempat catering, kami beranjak ke toko buku untuk membeli alat-alat tulis seperti buku-buku bacaan, buku tulis, alat tulis, dan masih banyak lagi. Sesekali aku memperhatikannya ketika berjalan, ternyata Retno sudah mencatat keperluan yang hendak kami beli di secarik kertas. Luar biasa wanita ini. Cara kerjanya benar-benar seperti orang kantoran, bahkan lebih terstruktur. Sesampainya di panti asuhan, akupun dikenalkan dengan pimpinan panti, Ibu Salma. Beliau sangat ramah dan mengajakku berkeliling panti untuk melihat keadaan panti asuhan tersebut. Retno tidak ikut dengan kami berkeliling karena sibuk menyiapkan makan siang untuk anak-anak panti dan menyiapkan pertemuan kecil di aula panti bersama-sama. Ketika jam makan siang, kamipun semua berkumpul di aula untuk menyantap hidangan makan siang bersama seluruh anak-anak panti berikut pengurus-pengurusnya juga. Dengan sumringah Retno menarik tanganku untuk membantunya membagikan nasi kotak kepada mereka semua. Anak-anak itu terlihat senang dan gembira karena jarang sekali mereka bisa menikmati hidangan enak. Usai makan siang, aku dan Retno dibantu ibu Salma membagikan alat-alat tulis kepada anak-anak yang sudh berbaris menunggu giliran. Tidak lupa retno juga membagikan amplop berisi sedikit uang untuk uang saku mereka. Di akhir pertemuan, aku dan Retno pamit untuk pulang dan diapun memberikan amplop berisi uang kepada ibu Salma sambil berjabat tangan. Aku terkejut mendengar perkataan Retno yang mengatakan bahwa amplop ini adalah sedikit sumbangan dari aku, anaknya, untuk panti asuhan ini. Aku tidak mengucapkan apa-apa hanya saja masih tidak percaya kalau Retno bisa mengatakan kepada ibu Salma bahwa aku itu anaknya. Ketika di perjalanan aku bertanya kepada Retno tentang hal itu, namun dia diam saja dan hanya tersenyum kecil. Lima menit kemudian Retno bilang kalau anak dan suami yang telah pergi, cukup didoakan. Tidak perlu berlarut dalam kesedihan karena tidak akan ada gunanya. Berbuat baik terhadap sesama, apalagi memberikan sedikit rejeki kepada anak yatim piatu adalah salah satu bentuk kepedulian kita sebagai makhluk sosial. Anggap saja kita memberi untuk anak kita sendiri karena mereka juga keluarga kita. Aku terharu mendengar perkataan Retno dan tidak bisa menyembunyikan air mataku yang menetes.

Hari ketujuh minggu ketujuh, Retno kembali mengajakku ke taman belakang untuk melihat bunga-bunga yang ternyata tumbuh subur dan telah berbunga. Akupun lalu mengambil penyiram bunga dan menyiraminya dengan hati senang. Di pinggir taman, Retno sudah menyiapkan teh hangat dan sarapan untuk kami berdua. Usai sarapan, kami berdua membersihkan seluruh isi rumah dan memindahkan perabotan untuk mengganti suasana rumah menjadi lebih nyaman. Ternyata kegiatan ini sangat menyenangkan. Mengepel, menyapu, mengelap kaca, benar-benar membuatku lupa waktu yang berjalan.

Hari ketujuh minggu kedelapan, Retno membangunkanku dengan aroma enak dari dapur. Ternyata dia sedang membuat kue dan mencoba resep baru. Akupun langsung menyusulnya ke dapur dan membuat kue bersamanya. Hari Minggu memang hari yang menyenangkan bersama Retno. Ada saja yang dia lakukan untuk membuatku senang setelah sepanjang hari berkutat dengan pekerjaan, meeting, persentasi dengan klien, dan memeriksa laporan.

Hari ketujuh minggu kesembilan, aku sudah terbiasa bangun pagi buta untuk lari pagi. Yang tadinya aku hanya bisa lari setiap minggu pagi keliling komplek sekitar rumahku, kali ini aku mengajak Retno untuk berlari pagi ke gor. Retno awalnya kaget karena tumben aku mengajaknya ke sana. Kamipun menuju ke gor untuk lari pagi. Usai marathon, aku dibuat ngiler dengan aroma makanan di pinggiran jalan. Akhirnya kami mampir makan siomay di emperan dekat gor. Jarang sekali aku bisa menikmati jajanan enak di pinggir jalan karena biasanya aku hanya ke restaurant, kafe, dan mall. Tanpa malu, akupun meneriaki abang tukang siomay untuk piring kedua. Retno tercengang karena tidak biasanya nafsu makanku sedahsyat ini.

Hari ketujuh minggu ke sepuluh, kami ke supermarket untuk berbelanja kebutuhan harian karena sudah banyak yang habis. Di samping itu, teman-temanku juga akan ke rumah untuk makan siang bersama dan arisan, jadi aku harus masak enak. Kali ini aku sudah bisa memasak sendiri tanpa harus diajari lagi oleh Retno. Sesekali aku suruh Retno mencicipi masakanku apakah sudah pas bumbunya atau belum. Meskipun tak seenak masakan di rstaurant, tapi aku senang karena aku bisa membuat teman-temanku puas dengan masakanku.

Hari ketujuh minggu kesebelas, sepulangnya dari panti asuhan untuk bersliaturahmi, Retno mengajakku ke pemakaman untuk berziarah ke makam suami dan anakku. Usai ziarah, kupeluk Retno dari belakang karena aku baru ingat kalau hanya tinggal seminggu lagi waktuku bersama Retno. Dia harus pulang ke kampungnya karena janjiku hanya tiga bulan untuk membawanya ke Jakarta. Dia juga sudah rindu sekali dengan keluarganya di kampung.

Hari ketujuh minggu kedua belas, aku mengantar Retno pulang ke kampungnya dan aku memutuskan untuk tinggal seminggu di kampungnya karena aku sudah mengambil cuti kerja tahunan. Sesampainya di kampung Retno, aku terkejut karena dia mengembalikan uang yang aku berikan sebagai imbalannya terhadapku yang telah membantu banyak selama tiga bulan terakhir. Dia tidak bisa mengembalikan semua uang yang aku berikan karena digunakan untuk sumbangan ke panti asuhan waktu itu. Dia mau membantuku tulus karena dia dulu juga pernah merasa kehilangan. Retno ditinggal suaminya sepuluh tahun yang lalu karena kecelakaan pesawat. Suaminya adalah seorang pilot. Dia dulu juga merasakan apa yang aku rasakan dan akhirnya dia memutuskan untuk pindah ke kampung ini guna melupakan segala kesedihannya. Retno juga bercerita bahwa ia dulu adalah seorang guru sewaktu di Jakarta. Itu sebabnya dia sangat baik, sabar, rendah hati, pintar mengatur waktu, dan pintar. Dia juga bilang bahwa perhatian dan kasih sayang tidak bisa dibeli. Akupun lalu sadar betapa sulitnya untuk melewatkan waktu sedetikpun bersamanya. Sungguh indah segala yang ia miliki. Senyumnya mendongkrak kebahagiaan yang selama ini terbenam, sinar yang terpencar dari matanya bahkan menerangi yang kelam, kata-katanya bijak dan dapat memporak porandakan kesedihan hingga karam. Retno benar-benar sudah merubah hidupku dan mengembalikan kebahagiaan yang selama ini aku dambakan. Selama ini aku memang sibuk bekerja dan bekerja hingga tak pernah sedikitpun aku merasakan indahnya hidup. Namun, Retno membuat semuanya berubah menjadi indah. Dia sengaja membuatku sibuk untuk membuatku lupa akan kegalauan yang aku rasakan, mulai dari merawat bunga-bunga di taman belakang, membuat kue, lari pagi setiap hari sebelum berangkat kerja, belanja ke supermarket, sampai bersilaturahmi ke panti asuhan. Aku sadar bahwa aku sayang Retno. Aku mulai memanggilnya ibu. Kata-kata yang membuat aku terharu ketika dia bilang

“Tia, ibu sayang kamu!”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun