Mohon tunggu...
Rian Hidayat Abi
Rian Hidayat Abi Mohon Tunggu... Guru - Teacher

-Teacher at Semesta Bilingual Boarding School-Semarang http://rianabi.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Melacak Tarekat Syattariyah

12 September 2012   02:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:35 33656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

5. Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara’, riyadlah, dan menepati janji.
6. Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.

7. Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.

Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma’ al-husna), tarekat ini membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok. Yakni, a) menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain; b) menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-Quddus, al-’Alim, dan lain-lain; dan c) menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti al-Mu’min, al-Muhaimin, dan lain-lain. Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan, sesuai urutan yang disebutkan di atas. Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani.

Satu hal yang harus diingat, sebagaimana juga di dalam tarekat-tarekat lainnya, adalah bahwa dzikir hanya dapat dikuasai melalui bimbingan seorang pembimbing spiritual, guru atau syekh. Pembimbing spiritual ini adalah seseorang yang telah mencapai pandangan yang membangkitkan semua realitas, tidak bersikap sombong, dan tidak membukakan rahasia-rahasia pandangan batinnya kepada orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Di dalam tarekat ini, guru atau yang biasa diistilahkan dengan wasithah dianggap berhak dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak putus dari Nabi Muhammad SAW lewat Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya sampai kiamat nanti; kuat memimpin mujahadah Puji Wali Kutub; dan memiliki empat martabat yakni mursyidun (memberi petunjuk), murbiyyun (mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan kamilun (sempurna dan menyempurnakan). Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting untuk dapat menjalani dzikir di dalam Tarekat Syattariyah adalah sebagai berikut: makanan yang dimakan haruslah berasal dari jalan yang halal; selalu berkata benar; rendah hati; sedikit makan dan sedikit bicara; setia terhadap guru atau syekhnya; kosentrasi hanya kepada Allah SWT; selalu berpuasa; memisahkan diri dari kehidupan ramai; berdiam diri di suatu ruangan yang gelap tetapi bersih; menundukkan ego dengan penuh kerelaan kepada disiplin dan penyiksaan diri; makan dan minum dari pemberian pelayan; menjaga mata, telinga, dan hidung dari melihat, mendengar, dan mencium segala sesuatu yang haram; membersihkan hati dari rasa dendam, cemburu, dan bangga diri; mematuhi aturan-aturan yang terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji, seperti berhias dan memakai pakaian berjahit.

c.Tentang Talqin

Talqin merupakan langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu, sebelum seseorang dibaiat menjadi anggota tarekat dan menjalani dunia tasawuf. Menurut al-Qusyasyi, diantara tata cara talqin adalah calon murid terlebih dahulu menginap di tempat tertentu yang ditunjuk oleh syekhnya selama tiga malam dalam keadaan suci (berwudhu).

Dalam setiap malamnya, ia harus melakukan shalat sunnah sebanyak 6 rakaat, dengan tiga kali salam. Pada rakaat pertama, setelah surat al-Fatihah membaca al-Qadar enam kali, kemudian pada rakaat kedua, setelah surat al-Fatihah membaca surat al-Qadar dua kali. Padahal shalat tersebut dihadiahkan kepada Nabi SAW. Seraya berharap mendapat pertolongan kepada Allah SWT. Selanjutnya, pada rakaat pertama dari dua rakaat kedua, setelah surah al-Fatihah membaca surah al-Kafirun lima kali, pada rakaat kedua, setelah al-Fatihah membaca al-Kafirun tiga kali, dan pahalanya dihadiahkan untuk arwah para nabi, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya.

Terakhir, pada rakaat pertama dari dua rakaat ketiga, setelah surah al-Fatihah membaca surah al-Ikhlas empat kali, dan pada rakaat kedua, setelah al-Fatihah membaca surah al-Ikhlas dua kali. Kali ini, pahalanya dihadiahkan untuk arwah guru-guru tarekat, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Rangkaian shalat sunat ini kemudian diakhiri dengan pembacaan shalawat kepada Nabi sebanyak sepuluh kali.

d.Baiat dan Tata Caranya

Baiat yang dipakai dalam istilah Tarekat Syathariyah adalah barokah. Barokah karena telah berjanji mengikuti jejak guru wasthiah. Baiat di tarekat tersebut ada dua macam, yaitu baiat masuk Tarekat Syathariyah dan Baiat Tojadud artinya memperbaharui baiat. Dalam mengerjakan baiat ada beberapa syarat antara lain: niat, suci dari hadas, menutup aurat, oaring Islam, dan kifarat.

Tujuan seseorang dalam berbaiat tersebut adalah untuk masuk Tarekat Syathariyah yang kemudian akhirnya bisa memperoleh ilmu Tauhid yaitu Ilmu Syathariyah. Pada pelaksanaan baiat mengambil tempat di mushala, masjid, ataupun di rumah Tanjung sebagai tempat berdomisili mursyid yang membaiat, ataupun di mushal/masjid/rumah dengan cara mendatangkan musyrid. Adapun cara baiat adalah terlebih dahulu mandi keramas kemudian diteruskan dengan puasa 3 hari. Setelah itu kemudian di baiat, baik secara sendiri maupun berkelompok. Biasanya berkelompok, yaitu setealah ada beberapa orang kemudian diantar ke Tanjung atau mendatangkan. Sedangkan dalil yang menjadi dasar/alasan dalam melaksanakan baiat adalah surat al-Fath ayat 10.

¨bÎ)úïÏ%©!$#y7tRqãèÎ$t6ã$yJ¯RÎ)cqãèÎ$t7ã©!$#ßt«!$#s-öqsùöNÍkÉ÷r&4`yJsùy]s3¯R$yJ¯RÎ*sùß]ä3Zt4n?tã¾ÏmÅ¡øÿtR(ô`tBur4nû÷rr&$yJÎ/yyg»tãçmøn=tæ©!$#ÏmÏ?÷sã|¡sù#·ô_r&$VJÏàtãÇÊÉÈ

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”

e.AJARAN-AJARAN TAREKAT SYATARIYAH

Adapun ajaran Tarekat Syatariyah yang berkembang di Nusantara yang dibawa oleh Abdul Rauf Singkel,  ajarannya dapat dikelompokkan kepada tiga bagian:

1.Ketuhanan Dan Hubungannya Dengan Alam.

Dalam naskah syattariyah yang ditulis syekh al-sinkli dijelaskan bahwaHubungan antara Tuhan dengan alam menurut pandangan Syattariyah dijelaskan sebagai berikut: pada mulanya alam ini diciptakan olch Allah dari Nur Muhammad. Sebelum segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah, ia berada di dalam ilmu Allah yang diberi nama A'yan Tsabitah. la merupakan bayang-bayang bagi Dzat Allah. Sesudah A’yan Tsabitah ini menjelma pada A’yan Khrijiyah (kenyataan Tuhan yang berada di luar), maka A’yan Kharijiyyah itu merupakan bayang-bayang bagi Yang Memiliki bayang-bayang; dan ia tiada lain daripada-Nya.

Hal di atas dapat dijelaskan dengan mengambil beberapa contoh antara lain pertama, perumpamaan orang yang bercermin, pada cermin tampak bahwa bagian sebelah kanan sesungguhnya merupakan pantulan dari bagian sebelah kiri, begitu pula sebaliknya. Dan jika orang yang bercermin itu berhadapan dengan beberapa cermin, maka di dalam cermin-cermin itu tampak ada beberapa orang, padahal itu semua tampak sebagai pantulan dari scorang saja. Perumpamaan kedua, mengenai hubungan antara tangan dengan gerak tangan, sesungguhnya gerak tangan itu bukan tangan tetapi ia tangan itu juga. Ketiga, tentang seseorang yang bernama Si Zaid yang memiliki ilmu mengenai huruf Arab. Sebelum ia menuliskan huruf tersebut pada papan tulis, huruf itu tetap (tsabit) pada ilmunya. Ilmu itu berdiri pada Dzatnya dan hapus di dalam keesaannya. Padahal hakikat huruf Arab itu bukanlah hakikat Si Zaid (meskipun huruf-huruf itu berada di dalam ilmunya): yang huruf tetaplah sebagai huruf dan Zaid tetap sebagai Zaid. Sesuai dengan dalil Fa l-kullu Huwa l-Haqq, artinya 'Adanya segala sesuatu itu tiada lain kecuali sebagai manifestasi-Nya Yang Maha Benar'.

2.Insan Kamil atau Manusia Ideal.

Insan kamil lebih mengacu kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan penciptanya. Manusia merupakan penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensinya, yang sebenarnya manusia adalah esensi sifat dan nama-Nya. Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang insan kamil meliputi masalah: pertama; masalah Hati, kedua; kejadian manusia yang dikenal dengan A’yan Khorijiyyah dan A’yan Tsabitah, ketiga; akhlak Takholli dan Tajalli.

3.Jalan Kepada Allah.

Dalam hal ini Tarekat Syatariyah menekankan pada rekonsiliasi Syari’at dan Tasawuf, yaitu memadukan Tauhid dan Dzikir. Tauhid ini memiliki empat martabat, yaitu Uluhiyah, Tauhid Sifat, Tauhid Dzat, dan Tauhid Af’al. Segala martabat itu terhimpun dalam kalimat La Ilaha Illa Allah. Oleh karena itu kita hendaknya memesrakan diri dengan La Illaha Illa Allah. Begitu juga dengan dzikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyaf) guna bertemu dengan Tuhan. Dzikir ini dimaksudkan untuk mendapatkan al-Mawat al-Iktiariyah (kematian sukarela) yang merupakan lawan dari al-Mawat al-Tabi’i (kematian alami). Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syariah.

f.HUBUNGAN ANTARA SYARIAT DENGAN TAREKAT DALAM TAREKAT SYATTARIYAH

Sebelum diuraikan tentang hubungan antara Syariat dengan tarekat Syattariyah, perlu diketahui terlebilih dahulu mengenai pengertian syariat dan tarekat.

Ulama mutaakhirin (ulama yang terkenal. sesudah abad ke-3 Hijriah) memberikan istilah svariat sama dengan hukum fikih yaitu ‘peraturan vang ditetapkan oleh Allah kepada kaum muslimin berdasarkan Alquran, Hadis, ljmak, dan Kias’. Peraturan itu disusun secara  terperinci vang berhubungan dengan tatacara peribadatan, prinsip-prinsip ajaran moral dan kehidupan, serta hukum-hukum mengenai hal-hal vang diperbolehkan untuk dikerjakan, untuk mengetahui yang benar dan yang.

Secara etimologi tarekat berasal dari kata Arab ''Tariqatun'' yang berarti ‘jalan atau mazab' atau 'cara'. Kecuali itu tarekat diartikan ‘sebagai suatu sistem atau petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah dengan tujuan untuk memperoleh ridha Allah dengan dibimbing olch seorang guru/mursyid yang memiliki hubungan silsilah (ilmu tarekat) sampai kepada Nabi Muhammad Saw. yang pengamalan ibadah itu lebih mengutamakan aspek batiniah daripada aspek lahiriahnya, dengan cara memperbanyak zikir kepada Allah. Oleh sebab itu tarekat merupakan suatu metode pelaksanaan teknis untuk mencapai hakikat ilmu tauhid secara haqqul yakin.

Untuk selanjutnya pembahasan mengenai hubungan syariat dengan tarekat Syattariyah di sini akan dibatasi pada tiga hal:

(1) Tinjauan secara syariat mengenai ajaran tarekat Syattariyah

(2) Tinjauan secara syariat mengenai guru tarekat Syattariyah

(3) Tinjauan secara syariat mengenai tarekat Syattariyah

(1) Secara garis besar tarekat Syattariyah mengajarkan tentang tata cara pelaksanaan zikir. Di dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang masalah zikir yang jumlahnya lebih banyak daripada ayat-ayat yang menjelaskan tentang shalat, zakat, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan zikir (secara luas) memiliki kedudukan yang cukup penting dibanding dengan ibadah-ibadah yang lainnya. Pelaksanaan zikir di dalam tarekat Syattariyah dilakukan dengan jahar (bersuara) dan sirri/ khafi (dalam hati) Pembacaan zikir secara bersuara merupakan ibadah yang lazim dikerjakan dan cukup diketahui dasar-dasarnya oleh kebanyakan umat Islam. Sedangkan pembacaan zikir dengan hati kurang banyak dikenal/diketahui oleh kebanyakan umat Islam, dan ini didasarkan pada firman Allah: Berzikirlah kau dengan hatimu secara merendahkan diri dan rasa takut, zikir itu tidak diucapkan secara lisan (Q.S.Al A'raf 205). Dan didasarkan pada Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Baihaqi sebagai berikut: Zikir yang tidak terdengar oleh Malaikat Hafazhah itu lebih utama daripada zikir secara bersuara, dengan perbandingan satu banding tujuh puluh (Adz-dzikru l-ladzi la tasma'u hu 1-Hafazhatu yazidu 'ala dz-dzikri l-ladzi tasma'u hu l-Hafazhatu bi sab’ina dhi'fan.

(2) Dalil-dalil yang menguatkan tentang peranan guru tarekat adalah sebagai berikut.

a.    Man laa Syaikhun Mursyidun lahu fa Mursyidu hu ‘sy-syaithaan artinva, 'Barangsiapa tidak memiliki guru yang berderajat Mursyid, maka ia dibimbing oleh setan'.

b.    Hadis Nabi: Kun ma'a’I-Laah fa in lam takun ma'a ‘I-Laah fa kun ma'a man ma'a ‘I-Laah fa innahu yuushiluka ilaa ‘I-Laah artinya 'Hendaklah kau selalu beserta Allah, jika tidak dapat demikian besertalah dengan orang yang dekat dengan Allah, ia akan membimbingmu ke jalan Allah.

c.   Alquran: ‘Barangsiapa yang disesatkan oleh Allah ia tidak akan memperoleh 'Waliyyam Mursyida' (pembimbing kerohanian) (Q.S. Al-Kahfi 17).

d.   Alquran: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah 'Al-Wasilah' (Channel.. berfungsi sebagai pembimbing, bukan perantara), bersungguh-sungguhlah di jalan itu mudah-mudahan kamu sukses” (Q.S. Al-Maidah 35).

(3) Tujuan pengamalan zikir di dalam tarekat Syattariyah adalah untuk mencapai martabat insan kamil yaitu tingkat kesempurnaan (yang lazim menurut ukuran manusia). Tingkatan ini dapat diperoleh oleh seseorang, jika ia dapat mengumpulkan dua makrifat yaitu makrifat Tanziyyah dan makrifat Tasybiyyah, (mengetahui secara mendalam tentang sesuatu hal secara lahiriah dan batiniah). Hal ini didasarkan pada firman Allah di dalarn Alquran surat Al-Hadid ayat 11: Allah adalah Dzat yang Maha Pertama dan Maha Kemudian, Maha Lahir dan Maha Batin.

g.SILSILAH TAREKAT SYATTARIYAH

Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad atau silsilah para washitah yang bersambung kepada Rasulullah SAW. Para pengikut tarekat ini meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, atas petunjuk Allah SWT, menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk mewakilinya dalam melanjutkan fungsinya sebagai Ahl adz-dzikr, tugas dan fungsi kerasulannya. Kemudian Ali menyerahkan risalahnya sebagai Ahl adz-dzikir kepada putranya, Hasan bin Ali, dan demikian seterusnya sampai sekarang. Pelimpahan hak dan wewenang ini tidak selalu didasarkan atas garis keturunan, tetapi lebih didasarkan pada keyakinan atas dasar kehendak Allah SWT yang isyaratnya biasanya diterima oleh sang wasithah jauh sebelum melakukan pelimpahan, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW sebelum melimpahkan kepada Ali bin Abi Thalib.

Berikut contoh sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau wasithahnya di Indonesia:

Nabi Muhammad SAW kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kepada Sayyidina Hasan bin Ali asy-Syahid, kepada Imam Zainal Abidin, kepada Imam Muhammad Baqir, kepada Imam Ja'far Syidiq, kepada Abu Yazid al-Busthami, kepada Syekh Muhammad Maghrib, kepada Syekh Arabi al-Asyiqi, kepada Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, kepada Qutb Abu Hasan al-Hirqani, kepada Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada Syekh Muhammad Asyiq, kepada Syekh Muhammad Arif, kepada Syekh Abdullah asy-Syattar, kepada Syekh Hidayatullah Saramat, kepada Syekh al-Haj al-Hudhuri, kepada Syekh Muhammad Ghauts, kepada Syekh Wajihudin, kepada Syekh Sibghatullah bin Ruhullah, kepada Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali, kepada Syekh Muhammad Ibnu Muhammad, Syekh Abdul Rauf Singkel, kepada Syekh Abdul Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada Kiai Mas Bagus (Kiai Abdullah) di Safarwadi, kepada Kiai Mas Bagus Nida' (Kiai Mas Bagus Muhyiddin) di Safarwadi, kepada Kiai Muhammad Sulaiman (Bagelan, Jateng), kepada Kiai Mas Bagus Nur Iman (Bagelan), kepada Kiai Mas Bagus Hasan Kun Nawi (Bagelan) kepada Kiai Mas Bagus Ahmadi (Kalangbret, Tulungagung), kepada Raden Margono (Kincang, Maospati), kepada Kiai Ageng Aliman (Pacitan), kepada Kiai Ageng Ahmadiya (Pacitan), kepada Kiai Haji Abdurrahman (Tegalreja, Magetan), kepada Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo Caruban, kepada Nyai Ageng Hardjo Besari, kepada Kiai Hasan Ulama (Takeran, Magetan), kepada Kiai Imam Mursyid Muttaqin (Takeran), kepada Kiai Muhammad Kusnun Malibari (Tanjunganom, Nganjuk) dan kepada KH Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk).

h.MENGENAL SOSOK PEMBAWA TAREKAT SYATTARIYAH DI INDONESIA

Pada abad ke-16 dan 17 kita kenal beberapa ulama sufi di Aceh yang besar sumbangan pemikirannya bagi penyiaran agama Islam dan kesusasteraan Melayu. Mereka adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, Nuruddin Arraniri, dan Abdurrauf As-sinkli.

Nama besar yang disandingkan dengan penyebar tarekat Syattariyah adalah Syeh Abdurrauf al-Singkel. Oleh karena itu, pada makalah ini hanya di cantumkan biografi beliau saja. Adapun nama murid-muridnya seperti Syeh Abdul Muhyi Pamijahan, Syeh Burnahuddin Ulakan atau pun murid-murid beliau yang lain. Kenapa demikian? Karena Syeh Abdurrauf al-Singkel adalah guru besar bagi syeh-syeh yang lain.

Riwayat hidup Abdurrauf dapat diketahui dari beberapa sumber di antaranya kitab yang ditulisnya sendiri berjudul Umdatu l-Muhtajin ila Suluk Maslaki l-Mufradinpada bagian kesimpulan, selain itu terdapat pula dalam disertasi Rinkas yang berjudul Abdoerraoef van Singkel.

Syeh Abdurrauf (1615-1693) dikenal oleh masyarakat sebagai ulama, tokoh sufi, dan pengarang terkenal. la belajar di negara-negara Arab terutama di Mekah dan Yaman selama 19 tahun. la belajar kepada beberapa ahli di antaranya: 15 orang guru, 27 orang ulama ternama, dan 15 orang sufi kenamaan.

Sejarah telah mencatat bahwa al-Singkli merupakan murid dari dua orang ulama sufi yang menetap di Mekkah dan Madinah. Ia sempat menerima baiat tarekat syattariyah di samping ilmu-ilmu sufi yang lainnya, termasuk sekte, dan bidang ruang lingkup ilmu pengetahuan yang ada hubungan dengannmya.

Guru Abdurrauf yang terkenal adalah Syeh Shafiuddin Ahmad Ad-Dajjani AI-Qusyasyi yang hidup sekitar tahun 1583-1660. Ia menerima baiat tarekat Syattariyah dari AI-Qusyasyi dan menerima khirqah darinya, yaitu suatu tanda bahwa ia telah lulus dalam melaksanakan amalan tarekat melalui pengkajian secara suluk, tanda itu berupa selendang berwarna putih yang diberikan oleh gurunya , yang berarti ia telah dapat membaiat kepada orang lain mengenai aiaran tarekat Syattariyah.

Nama lain dari Abdurrauf Assingkeli adalah Abdurrauf bin Ali AI-Fansuri. Hal ini banyak dipertanyakan orang karena penambahan Tansur di belakang namanya seakan-akan menunjukan adanya hubungan silsilah dengan Hamah Fansuri. Penambahan nama Fansuri kemungkinan hanya menunjuk daerah asal Abdurrauf, yang biasanya disebut Assingkeli (dari Singkel) menjadi Fansuri (dari Fansur), kedua tempat ini ada di daerah Aceh.

Syeh Abdurrauf wafat tahun 1693 dimakamkan di Kuala Aceh, sampai sekarang makamnya sering diziarahi orang. Kemudian ia terkenal dengan sebutan Tengku di Kuala atau Syeh di Kuala. Sekarang nama itu diabadikan menjadi nama perguruan tinggi di Banda Aceh, yaitu Universitas Syah Kuala.

Syeh Abdurrauf menulis beberapa kitab antara lain: Terjemahan Tafsir Baidhawi ke dalambahasa Melayu, Daqa,iqu ‘I-Huruf  'Umdatu ‘l-Muhtajin ila Suluk Maslaki ‘I-Mufradin, Mir’atu  ‘t- Tullab, At-Tariqatu ‘sy-Syattariyyah (Syattariyah pen.), Bayan Tajalli Hidayatu ‘l-Balighah. Sejumlah karya tersebut memperkaya perbendaharaan pengetahuan keagamaan dan kesusasteraan Melayu.

Karya Syekh Abdurrauf yang berjudul Syattariyah ditulis berdasarkan anjuran Ratu Shafiyyatu d-Din yang memerintah di Aceh tahun 1641-1675. Kecuali itu Ratu juga meminta kepada Syeh Abdurrauf agar ia dibimbing untuk menjalankan ajaran tarekat dan tasauf. Ikut sertanya Ratu Shafiyatu d-Din dalam bidang Tarekat Syattariyah pada khususnya dan bidang tasauf pada mumnya, dapat memperkuat kedudukan ajaran yang dibawa oleh Syeh Abdurrauf.

BAB III

PENUTUP

Demikianlah, hingga saat ini, Tarekat Syattariyah masih bertahan di berbagai wilayah di Indonesia, dan menjadi salah satu tarekat yang senantiasa memperjuangkan rekonsiliasi antara ajaran tasawuf dengan ajaran syariat,  atau apa yang disebut sebagai neosufisme. Tentu saja, saat ini, perkembangannya tidak sedahsyat pada masa awal kemunculannya, tetapi, setidaknya Tarekat Syattariyah masih dapat bertahan di tengah kuatnya arus modernisasi dan globalisasi.

Makalah ini dibuat secara global saja, artinya hanya sebagai pembuka wacana bagi yang tertarik untuk menggali informasi lebih dalam lagi tentang Syattariyah. Karena pembahasan tentang Syattariyah sangatlah luas, di Indonesia dikenal tokoh-tokoh penyebat tarekat syattariyah seperti Syeh Abdur Rauf as-Sinkli, syeh Abdul Muhyi Pamijahan, Syeh Burhanuddin Ulakan dan lain-lain yang mengembangkan Tarekat Syattariyah ini nusantara, dan hal itu tidak dibahas banyak disini.

Sebagai penulis, saya memohon maaf jika terdapat kekeliruan dalam penulisan makalah ini. Demikianlah telah kita torehkan, semoga bisa kita pertanggungjawabkan. Fal-haqqu ahaqqu ay-yuttaba’. Ma’as salamah! Happy ending full barokah.

Wallahu A’lam.

REFERENSI


  1. Abdullah, Hawash, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara, Surabaya: al-Ikhlas, 1980
  2. Anwar, Rosihon dan Muchtar Salim, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004
  3. Ash-Shiddieqy, Hasbi, M,. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1980
  4. Atjeh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat, Sala: Ramadhani, 1985
  5. Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII, Bandung: Penerbit Mizan, 1994
  6. Baried, siti Baroroh, Perkembangan Ilmu Tasawuf di Indonesia: Suatu Pendekatan Filologis, dalam Sulastin Sutrisno (e.d). Bahasa – Sastra – Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada Uinv. Press, 1985
  7. Darno, Study Kasus Tarekat Syatariyah di Kecamatan Karangrejo Kabupaten Tulung Agung Propinsi Jawa Timur, Semarang: Citasindo Grafika, 1995
  8. Fang, Liaw Yock, Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik, Singapura: Pustaka nasionsl, 1975
  9. Istadiyantha, Fungsi Tarekat Syattariyah: Suatu Telaah Filologis, dalam “Suntingan Teks dan Analisis Fungsi Tarekat Syattariyah”, Solo: Bina Insani Press, 2007.
  10. Mulyati, Sri, et.al, Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004
  11. Shadily, Hassan, Ensiklopedia Indonesia.. Jakarta: Penerbit Buku Ichtiar Baru-van Hoeve, 1980. Jilid I
  12. www.sufinews.com

Makalah perbaikan ini dibuat sebagai pengganti UTS pada mata kuliah Pengantar Tarekat di semester tujuh FITK PAI UIN Jakarta.

Prof. Dr. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII, (Bandung: Penerbit Mizan, 1994), Hal 109

Sri Mulyati, Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), Ed. I, hal. 153.

Prof. Dr. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII, (Bandung: Penerbit Mizan, 1994), hal 109

Sri Mulyati, Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, hal. 153.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun