Mohon tunggu...
Rian Efendi
Rian Efendi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Teknik Perawatan dan Perbaikan Mesin Politeknik Negeri Subang

Seorang insan, yang mencoba belajar menulis melalui website kompas ini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Tragedi Pembantaian Keluarga Van den Berg

1 Mei 2015   18:31 Diperbarui: 23 September 2019   23:49 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Air mata adalah buah dari kepedihan. Kepedihan yang sangat mendalam, menggores hati menimbulkan sakit. Kepedihan membekaskan luka dan derita. Begitupun dengan air mata, yang selalu dikaitkan dengan duka dan derita. Air mata selalu menetes jatuh dari mata seseorang yang sedang berduka, membasahi pipi yang penuh derita, dan berakhir ketika bermuara di bibir yang menahan luka. Tertelan dan terasa getir.

Air mataku terjatuh dari mataku, membasahi pipiku, dan berakhir dibibirku, ketika melihat sebuah lukisan yang terpajang di bilik kamarku. Lukisan yang menggambarkan sebuah kecantikan yang sempurna, seorang gadis berdarah Belanda. Jasmijn Firstydelone, namanya. Seorang puteri bungsu dari keluarga Van den Berg. Terasa olehku, waktu berputar kembali ke belakang, mengantarku kembali pada sebuah kenangan di masa yang lampau. 

Kulihat pemandangan indah, sebuah sungai di senja yang tak terlupa. Cahaya mentari senja menerobos menembus ke dalam derasnya arus sungai yang jernih. Kilauannya memantul, menerpa wajah seorang gadis yang sedang duduk bersimpuh, di atas batu besar di pinggir sungai itu.

Terlihat olehku paras cantik gadis itu. Mata birunya yang indah, bagaikan permata yang berkilau diterpa sinar mentari. Rambut pirangnya yang panjang, tergerai indah terkena semilir angin yang berhembus mesra. Rona merah pipinya sempurna. Sesempurna bibir mungilnya, yang merekah merah penuh pesona. Semua kesempurnaan itu, bertambah sempurna dibalut oleh gaun putih indah yang membalut tubuh rampingnya yang terlihat mulus, tanpa satu pun cacat.

Ketika dirinya tersenyum sambil menatapku dengan sayu, kurasakan sebuah ketenangan merasuk ke dalam sanubariku. Terasa jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Sungguh manis senyumannya, lebih manis daripada sebotol madu atau pun gula.

Kuteringat sebuah dongeng yang pernah diceritakan oleh ayahku dahulu. Dongeng Jaka Tarub yang bertemu dengan bidadari di sungai, yang bernama Nawang Wulan. Dan kini kupercaya tentang dongeng itu, setelah melihat kecantikan gadis itu yang sempurna, bagai bidadari tanpa sayap yang terjatuh dari kahyangan.

Tak sia-sia kumemegang kuas, tak sia-sia juga kanvas yang kubawa. Tentu saja tak kusia-siakan pemandangan sempurna itu. Dengan lihai dan cermat, kucelupkan kuasku pada palette yang berisikan cat minyak. Sambil terus memandangi gadis itu, kugoreskan kuasku pada permukaan kanvas yang masih polos, sehingga terciptalah sebuah kombinasi warna indah, yang membentuk sosok gadis itu dengan sempurna, Yang kuabadikan walau hanya pada selembar kanvas. Tak tertinggal juga, Kulukiskan pula pemandangan sungai nan indah sebagai latar belakang yang menyempurnakan keindahan lukisan diri Jasmijn. Dengan teliti, kulukiskan senyuman manisnya, pandangan tajam matanya, dan segala keindahan sempurna yang ada didalam dirinya

“Hello” Terdengar suara indah seorang gadis di sampingku. Ketika kumenoleh ke arahnya, kuterkejut dibuatnya. Gadis cantik yang duduk di batu sungai itu, kini telah berada di sampingku. Dari dekat, dapat kulihat ternyata kecantikannya lebih mempesona daripada yang kulihat di atas batu tadi. Matanya berkaca-kaca melihat sosok dirinya yang terlukis indah dengan sempurna di kanvas itu, olehku.

“Indah” Satu kata terucap dari bibir mungilnya, yang kuanggap sebagai pujian terhadap hasil karyaku, yang sedang dinikmati olehnya.

“Kau melukisku?” Ucapnya kepadaku dengan penuh haru.

“Ya Jasmijn” Jawabku.

“Tapi aku tak sesempurna itu, Asep” Gumamnya tak percaya dengan jawabanku.

“Bagiku kau adalah wanita yang paling sempurna” Tukasku yang tiada henti memandangi parasnya yang cantik.

“Ketika fajar pagi telah tiba dengan menampakkan wajahnya, embun-embun terlihat indah. Ketika ikan-ikan berkata bahwa lautanlah yang terlihat indah. Ketika kupu-kupu berkata bahwa bunga-bunga yang ada ditamanlah yang paling indah. Tapi, aku berkata pada diriku sendiri, bahwa kaulah yang memiliki keindahan sempurna yang menandingi keindahan-keindahan yang lain, yang ada di muka bumi ini” Kataku begitu saja, terlontar tak sengaja dari mulutku karena terkesan oleh kecantikannya yang sempurna.

“Apa kau mencintaiku?” Tanyanya, yang kini menatapku dalam-dalam.

Kuanggukkan kepalaku, menjawabnya. Lalu kuberkata dengan pelan, melengkapi jawabanku : “Aku mencintaimu semenjak kali pertama aku menatap mata indahmu. Dan kulihat segalanya, segala yang kubutuhkan ada di dalamnya. Dan kau tahu Jasmijn? Bahwa kaulah cinta pertamaku, dan kuberharap bahwa kau juga yang menjadi cinta terakhir dalam hidupku”

Kurasakan kehangatan tubuh ramping kekasihku memelukku. Ia mendekap tubuh kurusku dengan penuh kasih sayang, seolah tak mau melepaskan ataupun kehilangan diriku. Kubelai rambut indahnya yang halus bak kain sutera. Dengan mesra, Kucium keningnya yang mulus tak ada luka ataupun segores cacat.

Begitu juga dengan Jasmijn. Ia menatap mataku dalam-dalam. Lalu, kubalas kembali tatapan matanya dengan lembut. Kulihat beberapa tetes air mata mengalir dari mata birunya, dengan sigap kumenyekanya pelan-pelan.

“Jika aku menjadi air matamu, aku akan lahir dari mata birumu yang indah, hidup di pipimu yang mempesona, dan mati di bibirmu yang menggoda. Tetapi bila kau menjadi air mataku, takkan pernah kumenangis, karena kutakut kehilanganmu ketika kumenyekanya.” Ucapku tulus dari relung hati terdalam.

Ia pun menghentikan tangisnya, dan menggenggam kedua tanganku, lalu ia bertanya dengan lembut : “Mengapa kau mencintaiku?”

“Aku mencintaimu bukan karena kesempurnaan yang dimiliki ragamu. Tapi, aku mencintaimu meskipun  kamu berbeda denganku. Karena cinta menyatukan segala hal yang berbeda, menjadi suatu kesatuan yang utuh.”

“Mungkin pria lain mencintaimu karena kau punya segalanya. Tetapi percayalah bahwa aku akan tetap, dan selalu mencintaimu ketika kau tak lagi memiliki segala kesempurnaan itu.” Lanjutku membelai rambut pirangnya; Yang menghalangi kecantikan wajahnya, yang begitu sempurna.

“Lalu mengapa kau memilihku? Jasmijn?” Gumamku bergantian bertanya.

“Entahlah. Aku mencintaimu bukan karena semua hal yang kau punya. Aku mencintaimu karena Tuhan yang menuliskan takdirku untuk selalu mencintaimu selama-lamanya.” Jawabnya begitu lembut terdengar dalam benakku.

“Jariku mungkin tidak selalu bisa menyentuhmu. Mataku mungkin tidak selalu bisa melihatmu. Dan ragaku mungkin tidak selalu bisa menemanimu. Tapi yakinlah bahwa di hatiku ini hanya ada dirimu selamanya.” Lanjutnya melengkapi ucapan sebelumnya.

Ketika lamunanku terbuyar, kini kulihat ayah berdiri di pintu kamarku. Aku pun bangkit dari kasurku. Kulangkahkan kakiku ke arahnya, dan berkata : “Apakah aku sudah terlihat rapi, ayah?”

Dengan tersenyum, ia berkata : “Ya anakku. Walaupun itu hanyalah jas yang kupinjam dari Meneer Ronand, tapi kau terlihat sangatlah tampan ketika memakainya”

Kutersenyum mendengarnya. Ketika memandangi diriku sendiri di cermin, kusisir rapi rambutku. Dengan memakai jas ini, kulihat rupaku tampak seperti orang-orang berada, yang pastinya akan menghadiri pesta pernikahan Jasmijn.

“Pasti berat rasanya, dirimu melepas cinta yang sudah melekat selama bertahun-tahun di hatimu itu. Kusarankan ikuti saja kata hatimu, karena hati tak pernah sekalipun berbohong. Jika kau mencintai Jasmijn, maka perjuangkanlah. Kau mengingatkanku pada diriku dahulu, ketika mengejar cinta ibumu, nak.”Lanjutnya.

“Tidak ayah. Cinta sejati tak harus memiliki. Aku hanya ingin melihat Jasmijn bahagia, walau tak bisa kumiliki.” Ucapku dengan suara yang terpaksa kutegarkan.

“Seberapa besar cinta sejati, dapat dilihat dari banyaknya rasa sakit yang kau derita, karena terus menerus mempertahankan cintamu itu.” Gumam ayahku mencoba menegarkanku.

“Dan kau telah cukup banyak berkorban nak.” Tambahnya.

“Tidak ayah. Jika aku mengikuti kata hatiku, maka sama saja aku memaksakan kehendakku. Bukan bahagia yang kudapat, melainkan kesengsaraan.”

“Kusadar diriku ini hanyalah pria yang miskin.Tak pantas kubersanding dengan Jasmijn di pelaminan. Jika pun aku membawa Jasmijn kabur, maka belum tentu Jasmijn akan selalu bahagia hidup berdua denganku.” Lanjutku.

“Bagai memakan buah simalakama. Jika kau merelakan Jasmijn menikah dengan orang lain, maka penyesalan akan selalu menghantuimu, dan juga rasa hampa akan setia menyertaimu. Dan jika kau membawa kabur Jasmijn, maka penderitaanlah yang memisahkanmu dengan Jasmijn, perlahan kebahagiaanmu akan sirna, dan kau akan diliputi selalu oleh rasa bersalah. Seperti yang kualami nak.” Celoteh ayahku memandangku yang berputus asa.

Kisah cintamu pada Jasmijn, mengingatkanku pada kisah cintaku pada Siti Fatimah; ibumu dulu.” Lanjutnya.

Aku pun tercengang ketika ayah mulai menyebutkan nama ibuku lagi. Telah lama ayah tak pernah menyebutkan nama ibuku di hadapanku. Ia tidak mau terkenang lagi pada Almarhumah ibuku yang telah lama meninggal; Sejak umurku baru berusia 6 bulan. Tak heran ketika dia teringat pada ibu, Ia selalu merasa bersalah padanya, ia merasa bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab atas kematian ibu.

Kulihat ia menghela nafas panjang. Lalu menggerakkan bibirnya mengatakan sesuatu :  “Pada waktu itu, ketika kumerantau ke pulau seberang, Nangroe Aceh Darussalam.  Aku bekerja kepada seorang  Saudagar Aceh yang amat sangat kaya raya. Saudagar itu merupakan keturunan langsung pewaris takhta Keraajan Islam ternama di Aceh. Beliau dipuja, disanjung dan dipandang oleh banyak orang. Tak hanya oleh warga Aceh, Beliau disanjung dan dihormati juga oleh orang-orang yang berasal dari negeri yang ada di seberang lautan sana.”

"Tak kusangka, saudagar itu memiliki putri semata wayang yang amat cantik.Siti Fatimah namanya. Semenjak pertemuan pertamaku dengannya, kuselalu teringat padanya. Dan akhirnya kusadar bahwa aku telah jatuh cinta padanya.”

“Tenyata pribahasa orang tua memanglah benar, Pucuk dicinta Ulam pun Tiba. Cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Ternyata ia juga mencintaiku. Kupinang dirinya kepada ayahnya, tetapi makian yang kudapat. Cinta kami tak direstui. Dengan nekat, kami pun pergi meninggalkan Aceh. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk menetap di daerah ini, dan menikah di kampung ini.”

“Saat itu aku merasa bahagia hidup dengannya.Tetapi kebahagiaan itu harus berakhir. Setelah ibumu melahirkan dirimu, ibumu jatuh sakit. Dan aku tak mampu untuk membelikannya obat. Untuk membayar dokter yang memeriksanya, aku harus meminjam uang kepada Meneer Ronand dengan balasan bunga yang mencekik.”

“Walaupun obat telah kuberikan, tetapi tetap saja nyawanya tak tertolong. Dia pergi meninggalkanku. Kepergiannya telah membuatku terpuruk dalam kenistaan. Semenjak itu aku sadar, bahwa akulah yang paling patut disalahkan atas kematian ibumu. Andai saja aku tak pernah nekat membawa ibumu kabur, pasti dirinya takkan akan pernah merasakan kesengsaraan akibat hidup bersamaku.”

“Seandainya aku tak pernah berharap untuk mencintainya lebih jauh, pasti hidupnya akan bahagia bersama keluarganya.”

“Aku sangat menyesal sekali. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Waktu takkan kembali berputar terulang kebelakang. Sekarang yang kubisa hanyalah menuntunmu kepada kehidupan yang lebih baik dari hidupku. Aku tak ingin kau merasakan takdir cinta yang pahit seperti yang pernah kualami” Ucapnya mengakhiri cerita, sambil menatapku dengan mata yang berlinang air mata.

“Sekarang terserah kau saja nak. Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu. Maafkan ayah, ayah tak bisa menemanimu menghadiri acara pernikahan Jasmijn. Karena ayah merasa sedang tak enak badan” Ucapnya memegang pundak kiriku dengan tangan kanannya.

“Lalu apa yang akan kau lakukan setelah menghadiri pernikahan Nona Jasmijn?” Tanyanya.

“Aku akan merantau ke Batavia, mencoba mencari peruntungan di sana. Dan juga mencoba melupakan Jasmijn tuk selamanya. Walaupun kuyakin, ku takkan bisa melupakannya” Jawabku

Setelah berpamitan dengan ayah, kupergi ke rumah besar keluarga Van den Berg dengan mengayuh sepeda ontelku. Setiap kukayuh pedal sepedaku, waktu terasa memutar mundur kebelakang. Mengingatkanku tentang kenanganku dengan Jasmijn saat pertama kali bertemu.

Pada saat itu. Aku yang masih berusia 10 tahun, berpapasan dengannya di sebuah jalan yang tak jauh dari rumahku. Aku pun terheran-heran melihat Jasmijn kecil seorang diri menangis tersedu-sedu dibawah sebuah pohon besar nan rindang. Ketika kumendekatinya, dan bertanya padanya mengapa ia mengangis. Lalu ia menjawab : “ Topiku tertiup angin, dan tersangkut di pohon itu” Ucapnya sambil menunjuk ke arah topinya yang tersangkut di salah satu batang pohon yang tinggi itu.

“Aku mencoba mengambilnya, tapi aku tak bisa. Topi itu tersangkut terlalu tinggi pada dahan itu, aku tak mampu menjangkaunya.” Ucapnya tertunduk malu menatapku.

Tanpa berbicara padanya, kupanjat pohon itu. Kumerangkak dengan hati-hati, di salah satu dahan pohon itu, ke arah topi Jasmijn yang tersangkut.Tetapi ketika kuberhasil mengambil topi yang tersangkut itu, kakiku terpeleset karena salah menginjak dahan pohon itu. Aku pun jatuh kebawah, dan tak sadarkan diri.

Setelah terbangun dari pingsan, kulihat ayahku dan juga Jasmijn; Tersenyum melihatku siuman. Kulihat juga Bi Kokom; Pembantu keluarga Vandenberg yang telah mengurus Jasmijn sejak kecil, ia tersenyum lega melihatku terbangun dari keadaan tak sadarkan diri.

Lalu ayahku menceritakan semuanya. Ketika aku tak sadarkan diri, kebetulan sekali Bi Kokom datang mencari Jasmijn. Ketika Bi Kokom melihatku tergeletak tak sadarkan diri, ia membopongku kerumah, dan memberitahukan keadaanku kepada ayahku yang sedang bekerja di kebun teh milik keluarga Vandenberg. Sementara itu, Jasmijn terus-menerus menangisi diriku yang tak sadarkan diri.

“Kau baik-baik saja Sep?”  Tanya Jasmijn, orang pertama yang mengajakku berbicara sesudah siuman dari pingsan.

“Ya, darimana kau tahu namaku?” Ucapku kebingungan. Darimana ia mengetahui namaku?, padahal aku belum berkenalan dengannya sebelumnya.

“Dari ayahmu.” Jawabnya singkat sambil tersenyum manis padaku. Senyuman termanis dari gadis tercantik yang baru pertama kali kulihat.

“Ya Asep, ayah yang memberitahukan Nona Jasmijn namamu. Perkenalkan Nona Jasmijn ini Asep. Asep ini Nona Jasmin putri Meneer Ronand dari Keluarga Vandenberg” Ucapnya memperkenalkan diriku kepada Jasmijn.

“Dan ini Bi Kokom, Pembantu rumah tangga di keluarga Vandenberg. Ia yang merawat Nona Jasmijn dari kecil sampai sekarang.”Lanjut ayah memperkenalkan  Bi Kokom kepadaku.

Tak terasa diriku telah sampai di depan rumah Jasmijn. Aku pun mengerem menghentikan laju sepedaku. Ketika sepedaku terhenti tak melaju lagi, kutuntun sepedaku melewati gerbang besar itu. Setelah itu kusenderkan sepedaku di sebuah pohon beringin besar, yang ada di dekatku.

Sejenak, kuterbuai dalam lamunan, menatap sebuah rumah megah nan mewah milik keluarga Van den Berg. Terlihat juga pernak-pernik indah yang menghiasi tembok-tembok nan kokoh  rumah itu, melukiskan  kegembiraan sebuah pesta yang terjadi di rumah itu. Ya, sebuah pesta pernikahan seseorang yang sangat berharga bagiku.

Kusatukan nyaliku, memberanikan diri melangkahkan kakiku memasuki rumah mewah nan megah, milik keluarga Vandenberg. Terlihat dimataku kumpulan orang-orang Belanda dan para pengusaha Tionghoa, yang sedang menikmati pesta di rumah itu. Sungguh canggung hatiku, tak pantas bergabung diantara orang-orang berada ini. Lalu, kulayangkan pandanganku pada seorang mempelai wanita yang baru saja disahkan menjadi istri pria lain. Jasmijn, namanya. Mantan kekasih terindahku, yang kini harus menjadi istri lelaki lain yang lebih terpandang dariku

Meskipun hatiku sakit melihatnya, tapi kutabahkan hati ini berjalan mendekatinya. Tetapi, kulihat juga Meneer Ronand, ayahnya Jasmijn yang sedang menemani puterinya sendirian di kursi pelaminan. “Oooh, Tuan Asep rupanya.” Ucap Meneer Ronand menyambutku secara tiba-tiba, aku pun tersenyum mendengar sapaannya yang juga mengejekku. “Silahkan menikmati pesta pernikahan puteriku ini. sangat beruntung sekali puteriku ini mendapatkan suami yang pantas hidup dengannya.” Gumam Meneer Ronand menatapku dengan sombongnya. “Rajn namanya, pria yang sangat beruntung karena menikahi puteri cantikku ini.“ Lanjutnya membuat telingaku panas. Ia pun berjalan meninggalkanku, melayani tamu-tamunya yang lebih penting dariku. Jasmijn pun menatapku, mengisyaratkan kesedihannya padaku.

Andai saja aku bisa hidup berdua dengannya, pasti akan kulakukan apapun, asal Jasmijn bahagia bersamaku. Bila tuhan mendengarkan jeritan hatiku, dan mencoba mengabulkan keinginanku, maka aku akan memohon kepadanya untuk mengabulkan keinginanku padanya. Aku ingin menikah dengan Jasmijn, walaupun kami berbeda agama, tetapi kuyakin Jasmijn pasti rela meninggalkan agama lamanya dan masuk Islam, agar dapat bahagia bersamaku. Kemudian aku ingin mempunyai anak yang banyak dari Jasmijn. Dan hidup dengannya tanpa ada yang mengganggu. Tapi tak mungkin semua itu terjadi. Mustahil rasanya. Impianku benar-benar hancur ketika ayahnya memisahkan diriku dengan Jasmijn.

Kenanganku kembali mengingatkanku. Pada saat itu, sepedaku meluncur dengan cepat di atas jalanan yang licin dibasahi oleh air hujan. Tampak olehku tikungan itu tak jauh didepanku. Tetapi ketika kami sampai disana, kulihat ayahnya Jasmijn dan para pengawalnya berdiri disana. Tampak mereka bosan menunggu seseorang yang tak kunjung muncul di hadapan mereka. Ya mereka memang menunggu kedatanganku dengan Jasmijn.

Hatiku pun terlonjak kaget, ketika melihar Ali; Sahabatku, berdiri diantara mereka. Sungguh aku tak mengerti dengan semua ini; Mengapa mereka berada di sini; Mengapa Ali bersama mereka, tetapi kuhiraukan semua pertanyaan dalam benakku itu.

Aku pun berhenti tepat di tikungan itu, ketika Meneer Ronand memberikan isyarat padaku untuk berhenti. Diseretnya Jasmijn olehnya dengan paksa, kedalam mobil mewah miliknya, yang terparkir tak jauh dari tikungan itu.

“Kasih itu orang pelajaran berhitung, supaya itu orang paham jika satu pukulan dikalikan jumlah Tukang Pukul eke, sama dengan sakit. Dasar Inlander tak tahu diuntung!!!” Ucap Meneer Ronand sebelum ia memisahkan Jasmijn dariku.

Masih terasa olehku, suara tangisnya dan juga pelukan hangat Jasmijn sebelum ayahnya mnyeretnya pergi meninggalkanku. Kini kulihat para pengawal Meneer Ronand; yang menatapku dengan garang. Tiba-tiba, Ali pun maju berhadapan denganku.

“Pengkhianat kau”Ucapku menyumpahi dirinya.

Kumulai mengerti dengan semua ini. Pasti Ali sudah memberitahu Meneer Ronand tentang kisah Cintaku dengan Jasmijn. Tapi dari mana dia mengetahuinya.

“Pembohong kau.” Balasnya.

“Kau pantas dikhianati olehku, karena kau telah mengkhianatiku dengan kebohonganmu.” Tambahnya.

“Turun kau dari sepedamu. Lalu hadapi aku” Tantangnya.

Aku pun mengikuti kemauannya. Kusenderkan sepedaku pada sebuah pohon yang tumbuh di pinggir jalan; Yang berdiri tegak didekatku. Lalu kumelangkah dengan gontai ke arahnya.

Perkelahian pun tak dapat dihindari. Dengan cepat, ia minju mata kiriku dengan kepalan tangan kanannya yang tampak besar. Tetapi beruntung aku dapat mengelak dari pukulannya. Kuayunkan dengan sekuat tenaga, kaki menendang kepalanya yang sedang menunduk sehabis menghindari pukulanku.

Rupanya aku unggul dalam perkelahian itu. Tampak Ali kelelahan karena serangannya yang membabi buta ternyata sia-sia. Ya, amarahnya yang mengendalikan dirinya, sehingga tak satu pun dari pukulannya yang mengenaiku dengan telak.

Tetapi kurasakan kulit perutku tersobek oleh suatu benda yang kurasa tajam. Alangkah terkejutnya diriku, ketika melihat darah mengucur di perutku. Kulihat Ali menggenggam sepucuk pisau dengan tangan yang bersimbah darah.

Hatiku pun tak menyangka. Sahabatku yang selama ini kuanggap sebagai saudara kandungku, tega-teganya menikam perutku dengan sepucuk pisau, sungguh tindakannya seperti seorang pengecut saja. Karena tak kuasa menahan rasa sakit ini, ambruklah tubuhku bersimbah darah di tengah hujan yang mengguyur dengan deras.

Kulihat seringai licik di wajah Ali. Begitupun dengan teman-teman barunya yang lain. Mereka mnertawai diriku yang tak berdaya di jalan itu. Aku pun teringat akan larangan ayahku; Yang melarangku berteman dengan Ali. “Ternyata kau benar ayah.” Pikirku menyesali larangan ayah yang telah kulanggar. Sungguh aku merasa jijik mengingat pertemananku selama ini dengan Ali; Si Makhluk Hina.

“Kau pantas menerimanya Saudaraku yang malang” Ucapnya sambil menginjak kepalaku.

“Rasa sakit yang kau rasakan akibat tusukan pisauku; Tak sebanding dengan rasa sakit yang menyayat hatiku. Bayangkan pujaan hatimu yang kau cintai direbut oleh sahabatmu tanpa sepengetahuan dirimu. Sungguh sadis sekali bukan?” Ucapnya semakin menekan kepalaku ke tanah jalanan yang becek itu.

“Betapa perihnya hidupku ketika melihatmu bermesraan dengan Jasmijn disungai, kemarin. Dan janganlah kau dekati Jasmijn lagi, karena ia telah dijodohkan dengan seorang pria yang memiliki jabatan penting di KNIL. Tuan Ronand mengundangmu datang di pernikahan Jasmijn, yang akan diselenggarakan lusa depan.” Ucapnya terakhir kali sebelum ia dan para pengawal Meneer Ronand beranjak pergi meninggalkanku sendirian.

Kucoba dengan sekuat tenaga untuk bangkit dan menuntun sepedaku pulang ke rumah. Meski beberapa kali kuterjatuh, tapi kucoba untuk menghiraukan rasa sakit yang merasuki tubuhku dan bangkit kembali.

“Maukah kau berdansa denganku, untuk kali ini saja.” Tawarnya kepadaku dengan lembut. Lamunanku pun terpecah seketika.  Ia pun menggandeng tanganku, melangkah bersamaku menuju lantai dansa. Kupeluk tubuhnya dengan lembut. Ia pun memeluk erat tubuhku. Seiring irama musik romantis yang mengalun mesra. Kugerakkan tubuhnya ke samping secara perlahan. Lalu kuputar tubuhnya dengan indah di bawah tanganku. Kutangkap kembali tubuhnya, yang terlena karena kenikmatan berdansa denganku.

Teringat olehku pada sebuah kenangan dengan Jasmijn. Ketika Jasmijn mengajariku berdansa untuk pertama kalinya. Dengan ditemani sinar mentari pagi, kukayuh sepedaku menuju sungai yang kemarin kukunjungi bersama Jasmijn. Dengan semangat pagiku yang masih membara, kupercepat laju sepedahku, tak sabar bertemu dengan Jasmijn. Persetan dengan orang-orang yang memakiku, karena hampir tertabrak olehku, yang penting rasa rinduku terbayarkan lunas tuntas, ketika bertemu dengan pujaan hatiku nanti.

Sesampainya di sana, Kupeluk tubuhnya dari belakang dengan penuh kerinduan. Ia pun menggeliat kaget karena tingkah lakuku yang aneh. Ia tersenyum ketika sadar bahwa akulah yang memeluk tubuh rampingnya secara tiba-tiba.

“Coba kau dengarkan suara hembusan angin; Suara arus air sungai yang mengalir; Juga suara kicauan burung-burung yang merdu. Dengarkan dan resapi, maka kau akan tahu betapa indahnya nyanyian ibu pertiwi.” Ucap Jasmijn menyuruhku melakukan apa yang di mintanya. Dengan senang hati, aku pun melakukannya.

Kututup mataku, dan kupasang kedua telingaku dengan benar; Mendengarkan suara-suara alam dengan penuh keseriusan. Perlahan diriku serasa melayang karena merdunya suara ini. Inikah yang disebut dengan suara alam yang bernyanyi bagaikan senandung bidadari yang turun dari kahyangan?.

“Mau berdansa Tuan?” Ajaknya, mengaburkan suara indah yang tengah asyik        kudengar.

“Maaf Nona, aku tak bisa berdansa, bahkan tak pernah.” Tolakku dengan halus.

“Tapi jika anda bersedia mengajariku, maka dengan senang hati aku bersedia.” Ucapku menghibur dirinya yang terdiam sedih, setelah mendengar tolakkanku sebelumnya.

Kami pun belajar berdansa bersama-sama. Dengan suara alam yang mengiringi kami, kupeluk pinggangnya dengan tangan kiriku; Kugenggam tangan kirinya dengan tangan kananku, kemudian kurentangkan lurus. Dia pun tak ingin kalah dariku, ia memeluk pundakku dengan tangan kanannya; Bersandar di dadaku.

Kulangkahkan kakiku bersamanya secara perlahan, namun pasti. Kiri, kanan, kanan, kiri, dan seterusnya . Kadang kuputar tubuhnya  dengan indah di bawah genggaman tanganku dengan tangannya. Kadang juga kubopong tubuhnya berputar pelan dengan lembut. Sungguh betapa bahagianya hatiku ini ketika berdansa dengannya. Dari dekat dapat kulihat dengan jelas sempurnanya kecantikannya yang benar-benar utuh.

Lamunanku pun terpecah ketika mendengar teriakan marah seseorang dari atas pelaminan. Aku pun menoleh ke arah sumber suara itu, dan alangkah terkejutnya diriku. Ketika mengetahui Rajnlah yang berteriak ketika melihatku berdansa bersama isterinya. Jasmijn pun melepaskan pelukannya dariku, kulihat Meneer Rajn, berdiri dengan mengacak pinggang, cemburu di atas pelaminan memandangku dengan penuh kesal. 

“Andai kau membawaku lari pada saat itu, pasti pernikahan yang menyengsarakan ini takkan pernah terjadi.” Ucap Jasmijn sebelum ia pergi meninggalkanku menuju ke arah suaminya di atas pelaminan. Jasmijn yang kini berada di sampingnya pun menundukkan kepalanya, tak berani memandangku

“Maafkan aku Jasmijn” Jeritku dalam hati. Andai diriku tak menjadi pengecut yang mudah putus asa, pastilah batinmu takkan tersiksa seperti itu. Aku memang pengecut Jasmijn. Semenjak kejadian Ali menusukku. Kusadar bahwa diriku hanya membawa kesialan untukmu. Aku memendam cintaku padamu, karena tak ingin kau sengsara jika hidup bersamaku. Tapi perkiraanku salah, ternyata kau lebih tersiksa menikah dengannya. 

“Keluar kau Pribumi Kotor!” Bentak Meneer Rajn  yang mengusirku dengan hina.

Aku yang tak tahan dengan semua ini pun segera angkat kaki dari rumah itu. Dengan rasa kecewa yang amat sangat luar biasa, kutinggalkan rumah itu bersama dengan seluruh kenangan dan cintaku kepada Jasmijn yang kini menjadi istri Meneer Rajn.

Bandoeng, 6 Maret 1942.


Kumeraung dalam tangis, di hadapan tubuh tak bernyawa, seorang gadis berdarah Belanda. Kubelai rambut pirang panjangnya, yang kini menjadi merah, ternoda oleh darah.

Jasmijn, Kekasihku dulu. Yang lebih memilih menikah dengan pria pilihan ayahnya. Gadis cantik berdarah Belanda itu  telah menjadi cinta pertamaku, sejak dulu. Tapi sekarang, hanyalah kenangan yang tersisa di benakku, saat melihat, menatapi tubuhnya tak bernyawa lagi.

Jujur, Aku pun harus menjilat ludahku sendiri, harus mengingkari sebuah janji yang pernah kuucapkan pada diriku sendiri, untuk takkan pernah mengingat dan mencintainya lagi, yang telah menjadi jodoh orang lain. Akan tetapi, aku gagal untuk melupakannya, aku gagal untuk memendam mati semua cinta yang pernah bersemi di hatiku ini. Kuakui dialah perempuan yang membuatku memberikan seluruh hatiku pada dirinya, sehingga sampai saat ini tak bisa kutinggalkan kenangannya dari hati ini.

Walau hujan mengguyur, mencoba menghapus darah yang mengalir, tumpah karena sebuah tragedi. Tapi tetap saja, membekas di tanah tempat itu. Seolah tak mau menyembunyikan, sebuah tragedi berdarah, yang telah merenggut nyawa cintaku, Jasmijn.

Kulit putih mulusnya, kini berubah menjadi pucat pasi. Rambutnya yang tergerai indah, kini menjadi kusut berantakan tak beraturan. Mata birunya yang dulu pernah menatapku, kini tak akan terbuka lagi. Senyum manisnya pun, kini tak akan terlihat lagi. Gaun putihnya yang bersih tanpa noda, kini berubah menjadi merah, diwarnai oleh darah yang terus mengucur dari tubuh rampingnya .

Ia tak sendirian, bersama tubuh para anggota keluarga Van den Berg lain, yang kini tak bernyawa, tergeletak di dekatku. Bergelimpangan , bagaikan mayat-mayat korban perang. Mereka yang dulu pernah menghinaku, kini hanyalah mayat, takkan bisa menyombongkan dirinya lagi.

Aku pun bingung, antara senang atau sedih. Senang, karena dendamku terhadap keluarga Van den Berg terbalaskan. Dan Sedih, karena kuharus kehilangan Jasmijn, pujaan hatiku.

Ya, mereka memang pantas menerimanya. Memang pantas menerima kenyataan, harus terbunuh oleh para warga desa pribumi yang pernah mereka hina, yang pernah mereka caci maki, yang pernah mereka rendahkan, bahkan mereka menganggapnya seperti binatang hina saja.

Menurut penuturan dari ayahku. pada saat sebelum tragedi terjadi, Meneer Ronand Van den Berg, menerima sebuah telefon dari atasannya, yang bernama Meneer Valentijn. Ia menyuruh agar keluarga Van den Berg segera mengungsi ke tempat penampungan yang berada di pusat kota Bandung, bersama keluarga Belanda yang lain, karena tentara Jepang sudah mengepung daerah-daerah luar kota Bandung, dan dikhawatirkan tentara Jepang akan melakukan pembantaian massal terhadap orang-orang Belanda, yang masih berada di daerah pinggiran kota Bandung. Ali, yang merupakan jongosnya Meneer Ronand, yang pada saat itu bertamu di rumah keluarga Van den Berg, malah mendapatkan informasi penting karena menguping pembicaraan tuannya. Ia pun segera mengumpulkan para warga desa pribumi, yang masih menyimpan dendam terhadap keluarga Van den Berg. Kemudian, terjadilah kesepakatan, untuk melakukan pembantaian terhadap keluarga Van den Berg, sebelum mereka melarikan diri.

Mereka pun melancarkan aksinya, 2 hari kemudian ketika melihat keluarga Van den Berg keluar rumah, mencoba pergi ke tempat penampungan orang-orang Belanda. Tragedi pun tejadi begitu saja. Rumah mewah nan kokoh milik keluarga Van den Berg yang selalu mereka banggakan, terjarah oleh para warga desa yang membabi buta. Para warga pun membakar tubuh Meneer Rajn hidup-hidup, bersama dengan rumah keluarga Van den Berg. Pria beruntung yang menjadi suami Jasmijn itu, kini terbakar hangus  tak tersisa, menjadi debu.

Tuan Ronand yang mencoba melawan para warga, harus merelakan kepalanya terputus dari tubuhnya, karena dipenggal oleh Ali, Jongosnya sendiri. Nyonya Madelief, istri dari Meneer Ronand, yang melihat suaminya terbunuh, tewas seketika karena serangan jantung dadakan. Sementara Jasmijn dan kakaknya yang bernama Roos, harus menerima perlakuan biadab para warga yang dendam kepadanya. Dua putri keluarga Van den Berg itu diperkosa secara bergiliran hingga tak sadarkan diri. Setelah puas menikmati tubuh kedua gadis malang itu, mereka menusuk-nusukkan senjata tajam yang mereka bawa dari rumah, ke tubuh kekasihku beserta kakaknya.

Sehari sebelum tragedi terjadi. Aku, yang pada saat itu sedang bekerja di Batavia, menerima kabar dari ayahku, bahwa akan terjadi pembantaian terhadap Keluarga Van den Berg. Aku pun terkejut setelah menerima surat dari ayah. Lalu, dengan rasa cemas yang luar biasa, aku memutuskan untuk pulang ke kampung halamanku, di Bandung bagian selatan. Dengan niatan, untuk mencoba menggagalkan pembantaian itu terjadi, dan menyelamatkan nyawa Jasmijn, cintaku yang abadi.

Tetapi semuanya menjadi sia-sia. Aku terlambat mencegah pembantaian itu terjadi, aku gagal untuk menyelamatkan nyawa kekasih lamaku, Jasmijn. Aku pun kehilangan setengah jiwaku. Kini, aku takkan bisa menatap mata birunya yang indah, takkan bisa mendengar senandungnya yang merdu, takkan bisa mendapatkan pelukannya kembali, yang pernah menghangatkan tubuhku.

“Maafkan aku yang terlambat ini, Jasmijn.” Ucapku dengan penuh rasa bersalah. Kupeluk tubuhnya yang telah mendingin. Kutatap mata birunya, yang kini takkan pernah terbuka kembali untuk selamanya.

“Aku pergi untuk mengubah hidupku menjadi orang terpandang. Agar ayahmu sadar, bahwa aku pemuda pribumi yang hanya merupakan anak dari centengnya ayahmu, pantas untuk menjadi pendamping hidupmu tuk selamanya.” Bisikku di telinga Jasmijn, berharap dapat membuatnya bangun dari tidurnya yang abadi. Tetapi tetap saja, dia takkan bangun kembali, takkan bangun untuk menikmati hidupnya bersamaku lagi.

Ingin rasanya kubunuh diriku sendiri. Menyusul arwah Jasmijn menuju surga tempat kami dapat bersatu, tanpa ada yang mengganggu. Tapi kusadar, bunuh diri bukanlah pilihan yang tepat. Bunuh diri hanyalah hal terbodoh, jika harus kulakukan. Pasti Jasmijn takkan menyenanginya, jika aku membunuh diriku sendiri. Lagi pula, bunuh diri dilarang oleh agama, dan pasti tuhan akan menjerembabkan diriku kedalam neraka Jahannam, jika aku melakukannya. Apabila kita mencintai hidup kita ini, maka hidup ini akan balik mencintai kita pula.

“Cinta sejati, memang tak harus memiliki.” Ucap ayahku dari arah belakangku. Tak peduli dengan dinginnya hujan, ayahku tetap setia menemaniku di tengah hujan yang sangat deras. “Cukup terima apa yang terjadi di hari ini. kemudian kamu ambil hikmahnya, untuk kamu nikmati di hari esok” Lanjutnya menyadarkanku dari keadaan yang membuatku semakin terpuruk.

Semenjak kejadian itu, aku pun sadar. Walaupun Jasmijn tak bernyawa lagi, tetapi kuyakin, Ia masih hidup di dalam hatiku, masih setia menemani jiwaku di saat sepi, dan ia akan selalu abadi di setiap nafasku. Walau tubuhnya habis dimakan waktu, yang terus-menerus mengikatnya.

****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun