Mohon tunggu...
Rian Efendi
Rian Efendi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Teknik Perawatan dan Perbaikan Mesin Politeknik Negeri Subang

Seorang insan, yang mencoba belajar menulis melalui website kompas ini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hantu Noni Belanda

27 Februari 2015   03:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:27 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Entah mengapa, secara tiba-tiba bulu kudukku berdiri dengan sendirinya. Suasana kolam renangku, yang tadinya sangat menyejukkan, kini berubah menjadi dingin dan mencekam. Kicauan indah burung-burung, yang menghiasi hariku pada saat itu, kini menghilang begitu cepat, entah pergi kemana, meninggalkan rasa sunyi dan sepi yang begitu mendalam.

Aku pun terlonjak kaget, ketika melihat air jenih nan bersih, yang mengisi penuh kolam renangku, kini tiba-tiba berubah menjadi merah tak biasanya. Merah kental menyerupai darah. Bau busuk yang sangat menyengat pun, tercium dari air merah itu. Begitupun tembok-tembok nan kokoh, yang menjulang tinggi mengitari daerah sekitar kolam renangku, secara misterius berubah menjadi rapuh dan kusam. Muncul di benakku, rasa heran yang sangat mendalam, ketika melihat retakan dan lubang-lubang kecil pada permukaan tembokku yang menjadi rapuh, ditumbuhi oleh lumut-lumut kecil. Padahal, tembok-tembok itu telah diperbaiki ketika aku merenovasi tempat ini, 2 bulan sebelum aku menempati rumah ini. Akan tetapi, mengapa semua ini berubah begitu saja secara tak masuk akal. Seolah-olah tempat ini tak terawat, ditinggalkan bertahun-tahun oleh pemiliknya.

Kualihkan pandanganku, tertuju ke sebuah pohon aneh yang menarik perhatianku. Pohon kelapa aneh yang muncul secara misterius tepat di pinggir kolam renangku. Seingatku, pohon kelapa yang pernah tumbuh di sana, telah kutebang saat renovasi sebelum aku menempati rumah ini.

Bagai disambar petir di siang bolong. Aku pun terperanjat kaget, ketika melihat seorang gadis berdarah Belanda, yang memakai gaun putih khas Noni Belanda zaman kolonial dulu. Dan anehnya, gadis Belanda tersebut tergantung oleh sebuah tambang yang mengikat leher jenjangnya dengan erat ke salah satu dahan besar pohon kelapa misterius, yang kulihat tadi.

Sungguh cantik sekali parasnya, putih mulus tak ternoda. Mata birunya yang begitu indah menatapku dengan sayu, sungguh memikat hatiku. Rambut pirangnya yang panjang, tergerai indah menutupi dadanya. Rona merah pipinya, menambah pesona tersendiri baginya. Dan juga, bibir mungilnya yang merekah merah penuh goda. Sungguh aku dibuat takjub oleh kecantikannya, bagaikan bidadari tanpa sayap yang turun dari kahyangan.

Tapi, kecantikannya memudar seketika. Secara tiba-tiba, ia berubah menjadi sosok yang sangat mengerikan. Wajahnya, kini memucat bagaikan mayat, seolah tak ada setetes pun darah yang mengalir di dalam tubuhnya. Rambutnya pun menjadi berantakan, memanjang hingga menutupi sebagian wajahnya. Matanya pun menjadi merah menyala, membelalak tajam menatapku. Ia pun menyeringai penuh kengerian kepadaku. Seolah memamerkan gigi taring yang tampak tajam sekali.

Kulihat jelas dengan mata dan kepalaku sendiri, ia terbang ke arahku, memutuskan tambang yang mengikat lehernya. Karena rasa panik yang menjadi-jadi, aku pun mencoba mundur beberapa langkah ke belakang. Akan tetapi, kurasakan sesuatu yang mencekal kakiku, hingga membuatku jatuh tersungkur di tempat itu. Ketika kukuatkan nyaliku untuk segera berdiri, dan melihat apa yang mencekalku tadi. Aku pun terkejut, melihat seorang bayi mungil bersimbah penuh darah di tubuhnya, ternyata dialah yang mencekalku hingga membuatku terjatuh tadi. Kulihat, bayi yang menyeramkan itu, tertawa cekikikan padaku.

Rasa takut, ngeri, dan aneh pun mulai bergentayangan di benakku. Aku yang sudah tak tahan dengan semua keanehan ini, berteriak histeris mencoba menghentikan semua ilusi konyol ini. Akan tetapi, keadaan tetap tak kunjung berubah normal seperti semula. Inilah yang membuatku sadar, bahwa keadaan yang sedang kualami ini, bukanlah sebuah ilusi atau fatamorgana semata.

“Si..siapa ka…u?” Tanyaku dengan rasa gugup yang menjalar di dalam tubuhku. Kulihat hantu Noni Belanda itu tepat berhadapan denganku, kini jarak antara aku dan dia hanyalah beberapa meter saja.

Dia pun tampak menggerakkan bibirnya, mencoba mengatakan sesuatu yang tak dimengerti olehku. Aku pun dengan serius mencoba mencerna apa yang diucapkan olehnya. Akhirnya, dengan konsentrasi penuh, barulah aku dapat mengerti kata-kata yang diucapkan olehnya.

“Saat itu, ketika aku dan keluargaku hendak pergi meninggalkan rumah ini, untuk pergi berlindung ke tempat penanpungan orang-orang Belanda. Karena kami menerima kabar, bahwa Jepang telah memerintahkan tentaranya untuk menyerbu daerah ini, dan membunuh semua orang Belanda yang masih berada di sini. Akan tetapi, warga pribumi yang mengetahui tujuan kami pergi, malah membantai kami tiada ampun. Mereka yang tidak memiliki rasa belas kasihan, malah memenggal kepala kedua orang tuaku dengan keji. Mereka pun membakar hidup-hidup suamiku dengan sadis, bersamaan dengan rumah kami yang dibakar para warga, hangus menjadi debu. Mereka juga mengubur hidup-hidup bayiku yang malang di sini. Lalu, aku pun digantung hingga aku harus rela kehilangan nyawaku di pohon itu.” Ucapnya dengan nada datar, sambil menunjuk pohon misterius yang masih berdiri tegak di kolam renangku. Kulihat wajahnya memendam sebuah dendam lama padaku, aku yang mengerti ekspresi wajahnya, yang menganggap dirikulah salah satu warga yang ikut membantai keluarganya habis-habisan. Padahal aku tak tahu menahu soal pembantaian berdarah, terhadap keluarganya di tempat ini.

“Tapi aku tidak pernah tahu tentang pembantaian itu terjadi. Aku hanya membeli tempat ini, dari salah satu kenalanku yang sangat membutuhkan uang, sehingga ia menjual tempat ini kepadaku.” Ucapku berusaha menjelaskannya, tetapi dia terlihat seolah tak percaya terhadapku.

“Bahkan aku belum terlahir saat pembantaian itu terjadi.” Sanggahku kembali, berusaha membuat hantu Noni Belanda itu percaya pada ucapanku.

“Memang benar, kau tidak terlibat dalam pembantaian itu. Tetapi tingkah lakumu yang seenaknya, dan kata-kata kotor yang terucap dari mulutmu itulah yang mengusikku. Kau membuatku teringat kembali, ucapan kotor para warga biadab yang membunuh keluargaku satu persatu.” Ucapnya menggelegar, menciutkan keberanianku yang tadi sempat muncul. Keringat dingin pun bercucuran membasahi tubuhku. Tubuhku pun bergetar, tak kuasa menahan rasa ingin buang air kecil, yang muncul mendadak pada saat itu. Sejenak, keadaan pun menjadi hening tuk beberapa saat. Hanya hawa dingin yang menusuk jiwaku, yang kurasakan pada saat itu.

Seketika, aku pun teringat beberapa saat sebelum kejadian ini terjadi. Aku yang tengah terbawa emosi pada saat itu, menggerutu sendirian, memaki dengan kata-kata kasar nan kotor yang tak pantas kuucapkan. Barulah kusadari, hal itulah yang membuat hantu penasaran ini terusik, dan menggangguku.

“Kuberi kau kesempatan sekali lagi, untuk tetap tinggal di tempat ini. Asalkan kau tidak melakukan kembali, perbuatan tercelamu yang telah mengusikku untuk kedua kalinya. Jika kau masih bersikeras untuk melanggarnya secara sengaja atau tidak sengaja, maka jangan harap untuk tetap tinggal disini dengan damai, tanpa gangguan dariku.” Ucapnya memecah keheningan. Ia pun memberikan sebuah peringatan padaku. Setelah itu, ia pun menghilang entah kemana. Aku yang sedari tadi sudah tak kuat menahan rasa takut ini, ambruk tergeletak tak sadarkan diri.

Setelah sekian lama tak sadarkan diri, aku pun terbangun dengan rasa pening yang sangat kuat, melanda kepalaku. Sejenak, kutenangkan diriku yang sempat menegang. Lalu kuamati sebentar keadaan di sekitar. Syukurlah, keadaan pun kembali normal seperti semula. Tak ada lagi air merah, tembok rapuh, dan pohon kelapa aneh yang muncul secara tiba-tiba. Aku pun merasa lega, karena terlepas dari gangguan hantu Noni Belanda yang sangat menyeramkan itu. Tapi, masih terngiang-ngiang dengan jelas peringatannya di dalam kepalaku.

Semenjak kejadian itu, kini aku pun mulai menjaga tingkah laku dan ucapanku, dimana pun dan kapan pun aku berada. Karena kusadar, bahwa kita sebagai manusia haruslah saling menghormati bangsa lain yang tak kasat mata, yang ternyata hidup berdampingan dengan kita, tanpa kita sadari.

****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun