Di sebuah taman yang dikelilingi bunga irish terlihat seorang anak mengiris sepi, menjadi tipis-tipis ---hingga membayang--- berharap cepat habis, agar kering, pecah diterpa ingin dan hilang dibawa kecemasan.
"Aku hanya ingin terbang jauh dan tinggi agar dapat melihat bumi sebaik aku bermimpi," ucapnya, sembari menyiapkan lahan untuk sepetak rumah tempat ia sembunyikan penat, memberi ruang agar isi kepala beristirahat dengan tenang.
Ia coba satukan daun-daun yang berguguran, jatuh diterpa angin, separuhnya berlari menjauhi, entah itu karena waktu atau hujan yang datang melulu, entah kenapa musim selalu pancaroba di tangannya. Sekuatnya ia ikat dengan sutra, dipilin dari cahaya yang sekian lama merambat di dada. Agar mampu sekuat baja, katanya.
"Segala yang kosong ialah kepompong agar jadi aku paling kupu-kupu."
Lalu perlahan ia merebah,gugurkan resah letakkan kisah, tak sabar menunggu esok yang selalu entah. Mungkin dengan lebih menanti adalah harapan paling pasti, pikirnya
: semoga saja.
Namun, di pagi hari kepalanya termenung dan mimpinya limbung, sayap yang ditunggu patah jadi dua, satu jatuh dan tak tersisa sedang lainnya luruh tak berdaya, tak ada cahaya untuk memberi pertanda bahwa ada ingin yang nyata.
"Bagaimana bisa pergi jika hari saja jadikan mimpi dikebiri, segala helaan panjang hanyalah suara lantang, rutinitas menjelang siang."
Ia kembali satukan semua, mengikat sekencang cita-cita, berharap langit jadi tempat paling tua habiskan tawa yang tak kunjung tiba. Mungkin ini saatnya merudapaksa cerita, katanya.
"Esok ialah hari tempat habiskan mimpi yang selama ini dijeruji, dimana awan jadi rumah dengan kerlip bintang menyambut ramah, lalu mentari dan purnama sebagai penanda saat memulai bahagia," pikirnya lagi.