Kemarin malam ia datang lagi, mengetuk pintu yang biasa dititipkan senyuman, entah itu kedatangan atau kepergian, entah itu ucapan selamat datang atau selamat berangan-angan, entah aku atau angan lalu yang tergambar sebelah layar saja. Ia suka sekali temaramnya bola mataku, katanya, di sanalah keteduhan paling dinikmati, itu sebelum cahaya baru menyuar sudut tatapanmu. "Apakah perahu layar yang dulu masih mengembara dipencarianmu?" tanya yang berhasil membuat dada tenggelam, kembali berputar mengitari rasi yang dulu dikagumi pada gelapnya hari, jadi satu kiblat untuk sauh mendarat, sesaat sebelum badai memaksa buritan pergi menjauh dan tak lagi berlabuh. Kau masih saja --memaksa dengan segala tiadamu-- tinggal di kedalaman mata, hanya untuk bertanya masihkah semusim hujan di sini. Sedang kaupun tahu selalu ada berita siaga satu, siarkan banjir duka setinggi dada, dan tangisan menyeru di mana-mana : di tiap ingatan yang berulang kali sindang dan menyulut arang. "Rentang namamu adalah ketakutan terpanjang, semakin ditelusuri serupa mimpi yang berakhir terhenyak di pagi hari," ucapku saat ia bersiap pergi, mengemas seluruh dada yang lemas dan harap di titik cemas. Memilah rasa mana yang akan dibawa pulang, untuk kembali dikirimkan, saat nanti berganti alamat untuk kembali mengingat, perihal kita yang membatu di ruang beku
Malam lalu ia datang lagi, mengetuk pintu yang biasanya disambut senyum. Tak pasti apakah ia datang untuk hadir atau pergi, untuk memberi sambutan atau hanya untuk mengelamun. Entah itu aku atau hanya bayangan di belakang layar. Ia suka melihat mataku yang redup, katanya, di situ ia merasa tenang, sebelum sinar pagi menyelinap ke sudut matamu.
"Masihkah kau mencari perahu layar yang dahulu berlayar di lautmu?" tanya ia, membuat dada terasa berat dan kembali terperangkap dalam kenangan tentang hari-hari ketika rasi bintang menjadi panduan di kegelapan malam, sebelum badai menerjang dan merusak segalanya.
Kau masih berusaha keras untuk bertahan dalam kedalaman mata, bertanya-tanya apakah musim hujan masih berkunjung ke sini. Namun, kau tahu betul bahwa bencana selalu siaga satu, dan kesedihan merayap di mana-mana, terus-menerus membakar memori yang menyala dan menyulut api di dalam hati.
"Aku melihat ketakutan terpanjang di namamu, semakin kau telusuri, semakin terasa seperti mimpi yang terhenti di pagi hari," kataku saat ia bersiap pergi, membawa dengan dirinya beban berat dan kekhawatiran. Ia mencoba memilah perasaannya yang mana yang harus dibawa pulang, untuk dikirimkan kembali suatu saat ketika alamatnya berubah dan kembali ke ruang beku di mana kita terperangkap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H