Gender merupakan suatu kontruk budaya yang mengatur segala peran laki-laki maupun perempuan di masyarakat melalui proses sosial atau budaya. Gender oleh Sebagian masyarakat sering diartikan sebagai jenis kelamin, padahal secara kontruk sosial lebih dari itu gender mengambil peran dalam interaksi sosial baik laki-laki maupun perempuan.Â
Gender adalah perbedaan sosial yang signifikan antara laki-laki dan perempuan yang menekankan pada pola tingkah laku, fungsi dan peran setiap individu yang ditentukan oleh kultur masyarakat atau konsep identifikasi, perbedaan laki-laki dan perempuan bisa dilihat dari sosiokultur. Pemahaman ini menegaskan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan gender adalah kontruksi sosial (Sosial contruct).Â
Gender sebagai kontruksi sosial yang dari dulu adanya melahirkan sebuah ketidakadilan gender (inequalities). Bentuk dari implikasi ketidakadilan gender yang terjadi menimbulkan ketimpangan terhadap semua aspek, baik pendidikan, ekonomi, serta peran dan fungsi. Umumnya kaum perempuan menjadi sasaran dari ketidakadilan gender yang terjadi di masyarakat.Â
Semua agama secara fundamental melarang ketidakadilan gender, dalam islam sendiri pada saat agama datangnya islam pencerahan bagi para kaum perempuan, karena pada saat itu di Mekkah maraknya ketimpangan terhadap perempuan. Islam hadir sebagai pencerahan bagi kaum perempuan yang membawa persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Kedudukan perempuan dalam ajaran islam tidak seperti yang hari ini masyarakat implementasikan. Ajaran islam secara hakikatnya memberikan ruang penuh terhadap perempuan. Oleh karena itu, mulai bermunculan kelompok-kelompok yang menginkan kesetaraan hak perempuan maupun laki-laki. Agama merupakan objek menarik dalam mengkaji masalah perempuan.
Hal ini karena agama bagian dari way of  life Sebagian besar umat manusia, mengandung produk ajaran, aturan serta posisi dan kedudukan perempuan, baik dalam masalah domestik maupun antar relasi dengan laki-laki. Pandangan yang melegitimasi ketidaksetaraan gender dalam kacamata feminis melahirkan perbedaan gender secara fungsional; dalam sosiokultur, yang pada akhirnya telah memasung perempuan dalam kehidupannya. Paradigma ini menyebabkan persepsi bahwa mufassir klasik dianggap tidak pandai memahami teks-teks suci oleh mufassir feminis mengenai perempuan secara utuh. Mufassir klasik hanya menafsirkan secara tekstual saja, tidak melihat konteks pada hari ini yang terjadi.Â
Kedudukan kaum perempuan dalam pandangan umat-umat sebelum islam sangat direndahkan. Mereka tidak menganggap perempuan secara utuh. Bagi mereka, perempuan adalah pangkal dari keburukan dan sekedar makhluk seksual. Konotasi gender secara persis tidak terdapat dalam Al-qur’an, namun kata yang dipandang dekat dengan gender jika ditinaju dari aspek peran dan fungsinya ialah kata Al-rijal dan An-Nissa, kedua kata tersebut berorientasi pada gender. Kesamaan gender bagian dari kontruksi sosikultur dari masyarakat itu sendiri dimana semuanya memiliki haknya untuk bersosial, pendidikan, ekonomi serta lain-lain. Untuk perempuan maupun laki-laki. Kesetaraan gender juga bermanifestasi pada keadilan dalam memberikan ruang di publik yang mana hal ini dapat menghapus dari tindakan diskriminasi, subordinasi serta segala bentuk ketidakadilan lainnya.
Relasi Gender dalam Islam
Berbicara tentang gender dari sudut pandang Islam, yang merupakan agama rahmatan lilalamin dipahami sebagai hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah sama di hadapan Allah SWT. Artinya, nilai-nilai kesetaraan gender sama mendasarnya dengan Islam seperti nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Itu juga merupakan bagian dari misi Nabi Muhammad untuk menegakkan hak dan martabat perempuan tertindas pada saat itu. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan Islam di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad membawa pengaruh dan perubahan. Konteks sosial dapat dilihat dari kehidupan pada masa pra-Islam. Sebagian besar adalah wanita yang termajinalkan dan tertindas. Seorang wanita tidak memiliki nilai, tetapi sebagai komoditas dalam pernikahan, yang dapat diwariskan atau dipertukarkan tanpa persetujuan wanita tersebut. Perempuan adalah bagian dari penindasan, marginalisasi dan pencabutan hak selama ini yang menimbulkan perempuan tersubordinasi.Â
Dalam hal ini, kehadiran Nabi Muhammad merupakan harapan bagi perempuan karena Islam yang dibawanya mengandung pembebasan kaum tertindas dan mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan persamaan. Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hal penciptaan, kewajiban agama, kehormatan, dan martabat. Namun, ada beberapa perbedaan alami dalam kepribadian masing-masing jenis kelamin.Â
Al-Qur'an menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan sama. Al-Qur'an memberi wanita hak untuk memiliki harta, berbisnis, memilih pasangan, mewarisi harta, mendapatkan uang, menerima pendidikan dan dihormati. Al-Qur'an dengan  lengkap menjelaskan dalam surah An-nisa membahas tentang hak-hak perempuan dalam masyarakat. Lebih jauh lagi, keutamaan atau keistimewaan seseorang tidak dapat dilihat dari jenis kelaminnya melainkan dari kualitas keimanan, ketakwaan dan ibadahnya. Kesadaran sosial akan status dan peran perempuan masih kurang persis sama. Beberapa orang berpikir perempuan harus tetaplah di rumah, melayani suami, dan urusam domestik lainnya. Tapi ada yang menganggap perempuan harus berperan aktif dalam kehidupan masyarakat, bebas bertindak sesuai dengan haknya sendiri. Fenomena ini terjadi karena kurangnya pemahaman tentang konsep relasi gender.