Engkau telah mencipta dunia dari rusuk yang ditanam di dada sebelah kiri
lalu pada matamu
telah diterbitkan mentari
agar hangatnya pagi
sesering mungkin
menyambangi senyumanmu itu
Di dunia yang kau ciptakan
hanya ada bangunan kasih sayang
atapnya terbuat dari kata-kata surga
mampu teduhkan aku dan waktu
sejukkan kepala yang dibakar dunia
agar khusyuk merenungi seruan itu
"Menetaplah! telah kusiapkan lahan untuk kau tanam dengan hati dan hati-hati," ucapmu, entah kenapa semua itu
selalu saja piawai meruntuhkan dada
Rentang pelukan ini adalah kepulangan yang akan disegerakan, katamu.
Saat kembali bernegosiasi dengan langkah-langkah lelah mencari arah, pelesiran dan sesekali singgah pada kisah antah berantah, lalu kembali menuju malam yang tak pernah disebut rumah
Lalu untuk apa kutanya lagi, pada pergi yang menjemput kaki ini. Sementara engkau telah singgahi otak kiri, dan menghitung cermat tentang masa depan nanti
"Analisa cinta ini selalu logis dan jadi jumlahan pasti, kita yang abadi," katamu lagi
"Nunc aut numquam!" seruku saat rasakan kasihmu yang jeram
Di saat aku haus kasih sayang
kau malah menuang lautan
menenggelamkan segala keakuan.
Kini cinta telah menepuk bahu
menyadarkan pencarian
bahwa engkaulah nun yang jadikanku Majnun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H