Artinya media tidak memberi porsi representasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Selain itu, media menampilkan disabilitas sering mendapat representasi yang keliru, penyandang disabilitas secara tidak adil dikotak-kotakan pada berbagai streotip yang menentukan pandangan masyarakat umum tentang mereka.
Dalam penelitiannya Paul Hunt menemukan berbagai streotip disabilitas di media. Diantaranya, menyedihkan dan perlu dikasihani, objek rasa penasaran, jahat atau licik, objek inspirasi, objek tertawaan, beban masyarakat, atau sebagai makhlul aseksual. Streotip media ini mempengaruhi cara pandang kita dan merugikan penyandang disabilitas.
Contohnya, pada riset tahun 2010 Erin Pritchard mengklaim banyak orang bertubuh kecil, atau menyandang dwarfisme merasa dirugikan citra mereka di media. Media cenderung menggambarkan mereka sebagai orang yang periang dan mempunyai selera humor tinggi. Salah satu akibatnya adalah masyarakat kerap memperlakukan mereka sebagai lelucon, ketika mereka menolak perlakuan itu mereka dianggap kaku dan terlalu serius ini semua karena streotip media tadi membentuk ekspetasi masyarakat dan mereka malah dianggap aneh jika tidak sesuai ekspetasi itu.
Penyandang disabilitas juga kerap ditampilkan dalam narasi inspiratif di media. Biasanya, acara jenis ini mengagungkan pencapaian-pencapaian penyandang disabilitas dan kemampuan mereka menghadapi rintangan,wajar kalau narasi sejenis ini muncul. Tapi, meski terkesan positif bingkai ini bisa bermasalah jika dilakukan secara terus menerus. Saking menjengkelkannya, narasi ini sering disebut sebagai Inspiration Porn.
Masalahnya, narasi ini sering membuat kita fokus pada heroisme penyandang disabilitas dalam menghadapi tantangan. Namun, dengan fokusnya terhadap heroisme individu, ia luput membahas siapa penjahatnya. Penjahatnya adalah lingkungan fisik dan sosial yang mempersulit hidup mereka. Kita bisa lupa, bahwa rintangan-rintangan itu seharusnya dari awal tidak ada. Idealnya, bukanlah sesuatu yang istimewa bagi penyandang disabilitas untuk bisa sekolah, bisa jalan-jalan di seantero perkotaan dan memiliki pencapaian-pencapaian pribadi.
Tapi, karena kita secara sosial tidak memperjuangkan fasilitas yang ramah disabilitas pencapaian ini jadi sesuatu yang spesial. Pada akhirnya, narasi inspirasi ini tetap mendifinisikan penyandang disabilitas sebagai "lain" berbeda, bukan sebagai manusia yang setara. Penggambaran seperti ini tidak ditunjukan untuk menguntungkan penggambaran kelompok disabilitas tapi untuk hiburan khalayak.
Streotip ini membuat kita gagal memahami isu disabilitas secara adil dan menyeluruh. Media tidak memandang mereka setara dengan manusia yang non-disabilitas, manusia yang kompleks dan punya banyak dimensi. Penyandang disabilitas tidak butuh dikasihani atau diagung-agungkan yang mereka butuhkan adalah kesempatan.
Kita perlu mendorong representasi penyandang disabilitas yang didasari kesadaran atas hak-hak mereka bukan didasari rasa kasihan. Namun sulit untuk mendorong perspektif yang adil ini selama media belum menampilkan mereka sebagai manusia yang utuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H