Penyandang disabilitas yang dalam percakapan sehari-hari disebut sebagai orang cacat, sering dianggap sebagai warga masyarakat yang tidak produktif, tidak mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sehingga hak-haknya pun diabaikan. Indonesia merupakan Negara yang memiliki berbagai resiko untuk kecacatan.Â
Riset menunjukkan keterkaitan erat antara pemahaman publik tentang disabilitas dan penyandang disabilitas dengan perilaku diskriminatif yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman umum masyarakat di dunia, termasuk Indonesia, tentang penyandang disabilitas masih cenderung negatif.
Pemahaman negatif itu karena masyarakat umumnya mendefinisikan dan memperlakukan penyandang disabilitas berdasarkan pada pola pikir yang didominasi oleh konsep kenormalan yang berimplikasi pada stigmatisasi dan diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas. Hal itu, termasuk di Indonesia terutama disebabkan masih terbatasnya diseminasi informasi dan edukasi resmi dari pemerintahan atau otoritas terkait serta hasil kajian
ilmiah tentang disabilitas dan penyandang disabilitas. penyandang disabilitas berkaitan erat denganperilaku diskriminatif yang mereka alami dalam kehidupan sehari-harinya telah disampaikan oleh beragam tulisan, riset dan laporan di berbagai tempat di dunia ini. Beberapa diantaranya yang dokumentasinya mencapai ke tingkat publikasi ilmiah tingkat internasional misalnya di riset di Uganda (Katsui, 2008; Katsui & Kumpuyuori. Selain itu riset atau laporan yang disampaikan di komunitas akademik tingkat internasional tentang disabilitas dan penyandang disabilitas Indonesia (Byrne,J.,2002; Widinarsih 2012; Suharto, S.,P. Kuiper,dan P. Dorset, 2016; Widinarsih,2017).
Pemahaman negatif tentang disabilitas dan penyandang disabilitas antara lain berakar dari pola pikir pada masyarakat yang didominasi oleh konsep normalitas. Sejarah telah memperlihatkan bahwa orang-orang yang penampilan atau tubuhnya kelihatan atau dipandang sebagai 'berbeda' dari yang dianggap oleh masyarakat sebagai normatif, sebagai normalitas, akan dianggap sebagai yang tidak diinginkan not desirable dan tidak dapat diterima not acceptable sebagai bagian dari komunitas, Pelabelan negatif sebagai 'berbeda dari yang diterima sebagai normalitas' adalah suatu proses stigmatisasi.
Sikap dan perilaku diskriminatif akan muncul bila stigmatisasi atau  pelabelan negatif tersebut berlanjut dengan pembedaan lebih lanjut antara lain berupa pemisahan secara paksa dan bersifat membatasi segregation, atau pengeluaran karena dianggap bukan bagian integral dan atau setara social exclusion, atau dinilai kurangtidak bernilai secara sosial atau socially devalued.
Sikap dan perilaku diskriminasi berbasis atas dasar disabilitas bertentangan dengan hak-hak asasi manusia yang diakui secara universal diseluruh dunia. Juga bertentangan dengan aspirasi hak-hak asasi manusia dan keadilan sosial yang menjadi komitmen dalam disiplin pekerjaan sosial.
Sikap dan perilaku diskriminasi berbasis disabilitas itu kontradiktif dengan disiplin ilmu Kesejahteraan Sosial yang bertujuan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan hak-hak (asasi), pada peningkatan keberfungsian sosial Semua anggota masyarakat, serta pada pemberdayaan individu-individu, kelompok-kelompok, keluarga-keluarga, organisasi-organisasi, dan komunitas-komunitas guna meningkatkan kondisi keberadaan mereka, serta mengakhiri segala bentuk diskriminasi dan penindasan oppression (Zastrow. 2004, pp.4-5).Â
Sikap dan perilaku masyarakat merefleksikansekaligus dibentuk oleh kata-kata atau istilah-Istilah yang dipilihnya serta bahasa yang digunakannya. Bahasa dan kata/istilah yang menstigmatisasi umumnya diakibatkan olehkurangnya pengetahuan dan pemahaman. Sementara itu, mayoritas anggota masyarakat masih acapkali tidak menyadari adanya dan perlunya pemahaman baku yang berdasarkan istilah yang didefinisi resmi dan terkini dari institusi formal berbasis hukum semisalPerserikatan Bangsa-Bangsa di tingkat dunia, pemerintah di tingkat negara.Â
Tentunya dari kita sendiri yang jarang bersinggungan dengan mereka karena akses ke fasilitas umum seperti mall atau sekolah hal-hal yang kita anggap biasa adalah kemewahan bagi mereka, mereka tidak difasilitasi untuk itu dan banyak rintangan nya. Seringkali mereka akhirnya berdiam diri di rumah jauh dari pandangan umum.
Akhirnya bagi banyak dari kita pengalaman berkenalan dengan disabilitas jadi terbatas, salah satu cara paling mudah adalah lewat media. Sayangnya, representasi di media punya banyak masalah. Meskipun penyandanga disabilitas merupakan 10% dari populasi indonesia sangat jarang kita melihat karakter atau isu disabilitas di media baik dalam acara fiksi ataupun berita mereka cenderung diabaikan, isu disabilitas sering dianggap tidak penting atau bahkan tidak menarik untuk dibahas.