Waktu berbuka pun tiba. Aku sudah menyiapkan jus pokad tanpa gula untuk Bang Mus suamiku. Satu buah pisang, satu buah jeruk, satu buah tomat rebus, 1 butir telur rebus, satu potong nila rebus tanpa garam apalagi cabai, dan satu sendok nasi dari beras merah.
Sambil menunggu berbuka puasa aku bercerita-cerita dengan abang di sore jelang senja itu, Sabtu, 1 Maret 2025. Bila bercerita tentang menulis, beliau akan semangat menanggapiku.
"Pa, gimana kalau Yu saja yang melanjutkan Kiprah Kita. Sayang tak dilanjutkan." Tanyaku sore itu.
Abang menghela napas pendek. Ia terlihat lelah dan pucat. Tapi masih semangat puasa. "Tak akan sanggup Ma Teguh minimal menulis 17 berita sehari," jawabnya pelan, seolah mengingat betapa beratnya tanggung jawab menulis itu.
Menulis 17 berita sehari bukan hanya soal jumlah, tapi juga kecepatan, ketelitian, dan konsistensi. Setiap berita harus akurat, relevan, dan memenuhi standar jurnalistik.
Selain itu, tekanan dari deadline yang ketat serta tuntutan untuk selalu update dengan informasi terbaru membuat pekerjaan ini semakin berat. Ditambah lagi, menjaga kualitas tulisan di tengah ritme kerja yang cepat bukanlah hal mudah. Apalagi aku yang seorang ASN.
'Pantaslah abang selalu batanggang menulis. Bila malam tiba beliau tiduran siap Maghrib. Aku menunggu isha di sajadah. Usai aku dan si dedek Yola Ishaan, aku menghampiri abang ikut tidur di sebelahnya.'
Tak lama Yola datang mencium pipi kami berdua. Kami akan berpesan, "Selamat bobok dedek, baca doa mau tidur, ayat pendek, dan mimpi indah." Begitu tiap malam.
Kemudian abang akan menepuk-nepuk bahuku hingga aku tidur. Setelah aku mendengkur, abang turun shalat isha dan mengetik. Kadang beliau masih mengetik saat aku terbangun pukul 02.30 dini hari.
Seperti biasa aku akan bertanya, " Sudah shalat Isha, sayang?"