Di Ujung Harapan
perbukitan hijau nan teduh bernama Bukit Barisan. Tinggal keluarg seorang wanita muda bernama Amira. Ia adalah sosok yang penuh semangat. Ia bekerja keras di ladang milik orang tuanya dan selalu berharap suatu saat bisa hidup bahagia dengan seseorang yang bisa memahami dan mencintainya apa adanya.
Sejak kecil, Amira diajarkan oleh ibunya tentang arti kasih sayang dalam sebuah pernikahan—tentang bagaimana seharusnya pasangan saling menghormati, berbagi kebahagiaan, dan saling mendukung dalam suka maupun duka.
Namun, hidup tak selalu berjalan seperti yang kita harapkan. Pada usia 23 tahun, Amira menikah dengan Azhari. Seorang pemuda tampan yang dikenal baik di sebelah desa mereka. Awalnya, mereka berdua sangat bahagia. Pernikahan mereka dikaruniai anak 4 orang.
Mereka hidup penuh dengan harapan dan doa, namun seiring berjalannya waktu, Amira mulai merasakan ada yang kurang dalam hubungan mereka. Azhari bukanlah orang yang buruk, namun dia cerewet. Seharusnya Amira sebagai perempuan cerewet.
Azhari tidak bisa memenuhi harapan yang dimiliki Amira. Dia sering kali sibuk dengan pekerjaannya, jarang berbicara tentang perasaan, dan sering menghindari diskusi tentang masa depan mereka. Setiap hari ia selalu menyalahkan istri dan anaknya.
Amira merasa kesepian, meskipun suaminya ada di sampingnya. Ada ruang kosong dalam hatinya yang sulit dijelaskan. Hingga di suatu malam, ketika hujan deras mengguyur desa mereka, Amira duduk di sudut ruang tamu, termenung.
Hatinya berat. "Apakah ini yang Allah takdirkan untukku?" pikirnya. Ia teringat kembali ajaran ibunya yang mengingatkan agar selalu bersabar dan berusaha memperbaiki apa yang bisa diperbaiki dalam hubungan. Namun, kadang-kadang, ia merasa frustasi karena usahanya tampaknya sia-sia.
Dalam shalat malam itu, Amira berdoa kepada Allah, memohon petunjuk. Ia tak ingin menjadi wanita yang kecewa, namun ia juga tak ingin terus hidup dalam kecerewetan suami yang menyakitkan. Suaminya hanya baik ketika butuh Amira saja. Esok pagi ia dan anak-anaknya menjadi sasaran mulut pedas suaminya.
“Apa yang harus aku lakukan, Ya Allah?” gumamnya perlahan dalam doa.