Kamipun lanjut refleksi 1 semester belajar Bahasa Indonesia. Siswa mengeluarkan kertas 1 lembar. Mereka merefleksi diri.
Meski nilai mereka di rapor sudah 92 dan 94 mereka belum puas. Mereka ingin nilai 96, 98, dan 100. Namun mereka menyadari bahwa mereka kurang usaha. Belum bisa mewujudkan ekspektasi guru. Misalnya tugas dibuat di WhatsUp saat libur dan belajar login ke platform media sosial, Kompasiana.
Ternyata siswaku angkatan ini tak memiliki motivasi untuk menulis. Dalam refleksi kali ini mereka mengakui bahwa mereka lebih suka menikmati video. Tak mungkinlah keinginan mereka dipenuhi.
Jika siswa malas menulis di sekolah, dampaknya bisa cukup signifikan terhadap perkembangan akademik dan keterampilan mereka. Menulis adalah salah satu cara utama untuk mengekspresikan ide, memperdalam pemahaman, dan mengasah kemampuan berpikir kritis.
Ketika siswa enggan menulis, mereka mungkin kehilangan kesempatan untuk memperkuat keterampilan komunikasi tertulis, yang penting dalam banyak aspek kehidupan, termasuk studi lanjutan dan dunia kerja.
Selain itu, sikap malas menulis dapat mencerminkan kurangnya disiplin atau motivasi belajar, pada akhirnya dapat memengaruhi hasil akademik secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi guru dan orang tua untuk mendorong siswa agar lebih terbuka dan termotivasi untuk menulis, dengan memberikan dukungan dan pendekatan yang kreatif.
Tentu semua itu dipengaruhi era digital. Akupun sampai pada ceramah era digital ini agar mereka bisa menentukan sikap, mengubah pola pikir, dan merancang dunia kerja mereka.
"Era Digital: Vlog, Karir Remote, dan Fenomena Brain Rot"
Era digital adalah periode dalam sejarah peradaban manusia yang menjadikan teknologi digital menjadi elemen utama dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Mulai dari komunikasi, pekerjaan, pendidikan, hiburan, hingga interaksi sosial.Â