Ciri-Ciri Siswa Berbahaya Menurut Psikolog: Apa yang Harus Diwaspadai?
Dalam dunia pendidikan, siswa dengan berbagai latar belakang membawa beragam perilaku ke dalam kelas. Sebagian dari mereka menunjukkan perilaku yang dapat dianggap berbahaya bagi diri sendiri maupun lingkungan sekitarnya.
Menurut psikolog, mengenali ciri-ciri siswa yang berpotensi berbahaya menjadi langkah awal untuk mencegah tindakan yang merugikan di lingkungan sekolah.
Berikut beberapa ciri yang perlu diwaspadai:
1. Perilaku Agresif yang Konsisten
Siswa yang terus-menerus menunjukkan perilaku agresif, seperti mudah memukul teman, membentak teman, atau suka merusak barang, ditakuti teman sebaya, dan memakai pernak-pernik besi bisa menjadi tanda bahaya.
Agresi ini sering kali dipicu oleh masalah emosional atau trauma yang belum terselesaikan dari rumah siswa. Bisa karena broken home, ayah suka melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), atau tinggal di lingkungan terdampak tindak kriminalitas.
2. Kurangnya Empati terhadap Orang Lain
Kurangnya rasa bersalah pada diri siswa setelah menyakiti orang lain adalah indikasi yang serius. Siswa yang tidak peduli terhadap perasaan teman atau gurunya mungkin memiliki kesulitan dalam membangun hubungan sosial yang sehat. Ia tak peduli setelah menyakiti teman.
3. Kecenderungan Melanggar Aturan Secara Ekstrem
Siswa yang secara konsisten melanggar aturan sekolah, bahkan setelah diberikan sanksi atau teguran, perlu mendapatkan perhatian khusus. Ketidakpatuhan ini bisa berkembang menjadi perilaku kriminal jika tidak ditangani dengan cepat.
4. Kecanduan pada Hal-Hal Negatif
Keterlibatan siswa dalam aktivitas seperti penggunaan narkoba, merokok, gaya hidup bebas, atau kebiasaan buruk lainnya seperti suka berpacaran, bisa menjadi tanda awal masalah serius. Lingkungan pergaulan sering menjadi faktor utama yang memengaruhi perilaku ini. Maka siswa ini perlu karantina dan pendampingan yang baik.
5. Pola Komunikasi yang Mengkhawatirkan
Siswa yang sering berbicara tentang tindak kekerasan, kematian, atau merasa tidak berharga menunjukkan adanya tekanan emosional yang mendalam dalam diri siswa ini. Dalam kasus ekstrem, hal ini dapat berujung pada tindakan melukai diri sendiri atau orang lain tanpa disadari..
6. Isolasi Sosial atau Menarik Diri
Psikolog juga mencatat bahwa siswa yang cenderung menyendiri dan enggan berinteraksi dengan teman-teman bisa menjadi tanda bahaya. Meskipun tidak selalu menunjukkan potensi berbahaya, isolasi sosial sering kali terkait dengan perasaan depresi atau gangguan mental lainnya.
7. Perubahan Perilaku yang Drastis
Perubahan mendadak dalam perilaku, seperti dari seorang siswa yang ceria menjadi pendiam atau sebaliknya dari pendiam menjadi ceria. Ini patut diwaspadai. Perubahan ini sering kali merupakan respons terhadap tekanan atau masalah yang mereka alami.
Bagaimana Guru dan Orang Tua Harus Bertindak?
Jika menemukan ciri-ciri di atas, langkah pertama yang harus dilakukan adalah berdiskusi secara terbuka dengan siswa tersebut. Tunjukkan empati dan cari tahu apa yang mereka rasakan. Selanjutnya, libatkan pihak sekolah, termasuk konselor atau psikolog, untuk memberikan bantuan yang lebih terarah.
Menghadapi anak yang menunjukkan perilaku berbahaya memerlukan ketenangan dan pendekatan yang tepat. Sebagai orang tua, langkah pertama adalah membuka komunikasi dengan cara yang santai dan tidak mengintimidasi.
Pilih waktu yang tepat untuk mengajak anak berbicara, misalnya saat makan bersama atau setelah beraktivitas. Gunakan nada hangat dan ajukan pertanyaan yang memancing mereka bercerita, seperti,Â
"Apa yang akhir-akhir ini membuatmu merasa terganggu?" Dengarkan dengan penuh perhatian tanpa menghakimi.
Setelah anak mulai terbuka, tunjukkan empati dan Hindari memberikan ceramah atau respons yang terkesan menyalahkan. Sebaliknya, berikan dukungan positif dengan kata-kata seperti, "Apa pun yang terjadi, Ibu/Ayah ada untukmu." Libatkan anak dalam mencari solusi atas masalah yang mereka hadapi agar mereka merasa dihargai dan memiliki kontrol atas situasi mereka.
Jika perilaku anak semakin mengkhawatirkan, segera konultasikan dengan psikolog atau konselor. Jelaskan bahwa ini adalah bentuk perhatian dan dukungan, bukan hukuman.
Langkah ini menunjukkan bahwa orang tua serius dalam membantu anak menghadapi tantangan yang mereka alami sekaligus menjaga hubungan yang penuh kasih sayang dan kepercayaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H