Waktu-Waktu Rawan Siswa: Strategi Guru dalam Mengatasi Siswa dengan Karakter Suka Mencuri
Sebagai pendidik, guru sering dihadapkan pada tantangan membentuk karakter siswa. Karakter siswa perlu dibentuk agar sesuai dengan nilai-nilai moral dan sosial yang baik. Salah satu masalah yang cukup mengkhawatirkan adalah perilaku mencuri di kalangan siswa.
Tindakan ini bila dibiarkan akan menjadi penyakit. Setelah parah akan menjadi tindak kriminalitas. Ujung-ujungnya menjadi penyakit masyarakat lalu berakhir di tangan hukum.
Tindakan mencuri ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kurangnya pemahaman moral siswa, tekanan emosional, atau pengaruh lingkungan. Guru perlu mengenali akar masalah dan waktu-waktu rawan untuk mencegah dan menangani perilaku mencuri ini secara efektif.
Memahami Karakteristik Perilaku Mencuri Berdasarkan Usia
Anak-anak agar mulai memiliki kesadaran tentang kepemilikan perlu dipupuk pada usia dini. Namun pemahaman mereka tentang nilai moral masih berkembang dan perlu bimbingan secara bertahap. Misalnya pada usia PAUD, anak suka merebut mainan teman yang dianggapnya menarik.
Mulai dari usia ini pembelajaran moral memiliki sudah bisa diajari sedikit demi sedikit. Guru PAUD sudah bisa menasihati dan memberi pengertian secara lembut bahwa anak tak boleh merebut mainan teman. Biasanya untuk menghindari ini, guru melarang anak membawa mainan dari rumah.
Begitu juga pada usia TK. Anak kadang diam-diam memasukkan alat tulis di sekolah ke dalam tasnya. Orang tua perlu mengawasi isi tas anak. Bila ada alat tulis yang bukan orangtua beli sudah menjadi kewajiban orangtua mengedukasi anak.
Beri anak pengertian secara lembut dan temani anak mengembalikan barang itu kepada guru. Jangan dibiarkan. Bila dibiarkan, bibit inilah yang akan diterapkan anak pada usia selanjutnya. Ia akan terbiasa mengambil barang yang bukan miliknya. Bahkan ia akan menganggap barang orang lain miliknya.
Pada siswa usia remaja pun (13–18 tahun), mencuri sering kali menjadi bentuk pemberontakan, pengaruh buruk lingkungan, atau ekspresi emosi yang tidak terkendali bagi remaja. Dengan memahami karakteristik ini, guru dapat menentukan pendekatan yang tepat untuk setiap kelompok usia.
Guru adalah ujung tombak pembentukan karakter siswa itu di sekolah dan orangtua di rumah. Salah satu tantangan yang sering dihadapi guru saat menemukan siswa dengan perilaku mencuri. Meski sering kali dianggap sebagai tindakan nakal, perilaku ini sebenarnya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang lebih serius dan kompleks.
Guru perlu memahami akar masalahnya, mengenali waktu-waktu rawan terjadinya pencurian, dan menerapkan strategi yang efektif untuk mengatasinya.
Alasan Siswa Melakukan Pencurian
1. Kebutuhan Ekonomi
Beberapa siswa mungkin mencuri karena berasal dari keluarga yang kurang mampu. Mereka merasa tidak punya pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti membeli makanan atau alat sekolah. Mereka pun mencuri.
2. Kurangnya Mendapat Perhatian
Anak yang kurang mendapat perhatian dari keluarga atau teman terkadang mencuri untuk menarik perhatian mereka. Tindakan ini sering kali merupakan bentuk teriakan minta tolong yang tidak tersampaikan dengan kata-kata. Mereka mencuri agar menarik perhatian sekelilingnya.
3. Pengaruh Lingkungan
Lingkungan sosial yang buruk, seperti teman sebaya yang memiliki kebiasaan mencuri, dapat memengaruhi siswa untuk mengikuti perilaku tersebut. Mereka mungkin melakukannya demi diterima dalam kelompok tertentu. Mereka mencuri di mana saja bila ada kesempatan. Mereka pun akan bangga bila sudah mencuri.
4. Kurangnya Pemahaman Moral dan Agama
Siswa yang lebih muda sering kali belum memahami nilai-nilai agama dan moral secara mendalam. Mereka mungkin belum menyadari bahwa mencuri adalah tindakan yang salah dan berdampak buruk pada orang lain. Kebiasaan mencuri bisa berlanjut menjadi tindak kriminalitas.
5. Tekanan Emosional atau Stres
Anak yang sedang menghadapi masalah emosional, seperti konflik keluarga atau tekanan akademik, bisa mencuri sebagai bentuk pelampiasan atau pelarian. Anak yang orangtuanya broken akan berpotensi untuk melakukan pelarian ini.
6. Bentuk Pemberontakan
Pada usia remaja, mencuri kadang menjadi ekspresi pemberontakan terhadap aturan atau otoritas, baik di rumah maupun di sekolah. Mereka memberontak karena tak bisa menerima aturan.
Ekspresi perilaku yang menentang dan mengabaikan aturan pengasuhan yang berlaku biasa terjadi pada remaja. Pemberontakan remaja itu sebenarnya sih menjadi bagian normal dari proses pertumbuhan mereka dan perkembangan. Fase ini menandakan kebutuhan remaja untuk memiliki kemandirian dan identitas yang terpisah.
Ketika inilah perhatian guru dan orangtua menjadi sangat penting dan mewaspadai perilaku mencuri.
Waktu-Waktu Rawan Terjadinya Pencurian
Ada momen tertentu yang sering menjadi "waktu rawan" di mana siswa lebih rentan untuk mencuri:
1. Jam Jajan di Kantin
Jam istirahat menjadi waktu rawan mencuri karena siswa bebas bergerak dan interaksi antar siswa meningkat. Dalam situasi ini, anak-anak cenderung lebih mudah tergoda untuk mencuri barang milik teman. Pun mencuri di kantin sekolah. Ketika penjaga kantin sibuk melayani pembeli, mereka tak segan mencuri dengan menyebutkan beli jajanan cuma dua padahal ambil jajanan tiga.
2. Ketika Siswa Menghindari Jam Olahraga
Saat jam olahraga, beberapa siswa memilih bersembunyi di tempat sepi. Situasi ini memberikan peluang untuk mencuri barang yang tidak diawasi. Biasanya mereka mencuri dengan merogoh saku teman-teman mereka atau membuka tas teman. Ini lebih sering dilakukan siswa atau putra. Guru kaget ketika siswa nangis, mengadukan uang hilang.
3. Waktu Salat Zuhur
Jam salat dzuhur berjamaah pun dapat menjadi momen siswa keluar dari pengawasan guru. Beberapa siswa mungkin memilih menghindari salat dan memanfaatkan kesempatan untuk melakukan tindakan negatif. Ini lebih sering terjadi pada siswi atau putri. Merogoh tas teman dan mengambi uang.
4. Jam Praktikum di Laboratorium
Laboratorium memiliki banyak alat penting yang bisa menjadi target pencurian. Kurangnya pengawasan dalam kegiatan praktik sering kali memberikan celah bagi siswa untuk melakukan tindakan tersebut.
Begitu juga kelas saat praktikum. Ada saja siswa yang cabut. Lalu mencuri uang teman di tas saat praktikum berlangsung. Selain waktu itu peluang untuk siswa kita mencuri tentu juga tetap ada.
Strategi Mengatasi Anak Suka Mencuri
Strategi adalah rencana terstruktur yang dirancang guru untuk mencapai tujuan dalam mengatasi anak yang suka mencuri dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia di sekolah secara efektif dan efisien.
Dalam penyusunannya, strategi mempertimbangkan berbagai faktor, seperti kondisi internal dan eksternal sekolah, peluang, serta tantangan yang mungkin dihadapi ketika melakukan strategi mengatasi anak yang suka mencuri ini.Â
Melalui pendekatan yang terencana dari semua guru, strategi membantu menentukan langkah-langkah prioritas dalam mengatasi masalah anak yang suka mencuri itu.Â
Pendekatan untuk mengoptimalkan potensi guru juga dan meminimalkan risiko yang akan diterima guru dan siswa yang suka mencuri maka perlu strategi sehingga tujuan dapat dicapai dengan hasil yang maksimal.
Strategi tersebut di antaranya:
1. Siswa Diberi Edukasi Moral Secara Konsisten dan kontinew
Guru perlu mengajarkan nilai-nilai kejujuran melalui diskusi, cerita, atau aktivitas kelompok. Dengan memahami dampak buruk mencuri, siswa akan lebih sadar pentingnya bertindak jujur. Bisa juga diberikan tausiah saat apel pagi, jam wali kelas, dan ketika guru mengajar di kelas. Mereka harus diingat-ingati agar menjauhkan diri dari mencuri.
Resiko mencuri nanti kita bisa dijauhi teman. Akhirnya mental menjadi down dan tak semangat lagi belajar. Ujung-ujungnya bisa pindah sekolah. Jika bertahan bisa pula menjadi bahan bullying. Kadang inilah resiko mereka mencuri. Nah guru harus mengedukasi siswa.
2. Pendekatan Personal
Pendekatan personal bisa dengan memanggil siswa berkarakter mencuri. Berbicaralah secara langsung dengan siswa yang terindikasi mencuri. Lalu berikan edukasi. Baik melalui pendekatan agama, moral, dan budaya setempat.
Pahami latar belakang dan alasan mereka mencuri dahulu agar mudah memberi solusi. Sikap empati dapat membantu siswa merasa didengar dan diarahkan dengan cara yang baik. Bila ada kendala ekonomi bisa dibantu melalui dana bos, subsidi silang, donatur, dan amil zakat setempat.
3. Sistem Pengawasan Ketat
Memperketat pengawasan di waktu-waktu rawan dapat membantu mencegah tindakan mencuri. Misalnya, memasang cctv pengintai di kantin, di kelas sisewa, di tempat yang murid sering mencuri, guru piket dapat mengawasi kantin saat jam istirahat atau memastikan kehadiran siswa selama kegiatan olahraga dan salat.
4. Kolaborasi dengan Orang Tua
Guru dan orang tua perlu bekerja sama untuk menangani perilaku mencuri. Diskusi yang terbuka dan jujur dapat membantu menemukan solusi terbaik bagi siswa. Bila penyakit mencuri ini sudah taraf parah, orangtua harus diedukasi untuk membawa anak ke psikolog.
Adapun tujuan membawa anak ke psikolog adalah untuk membantu mengidentifikasi penyebab mendasar dari perilaku mencuri, baik itu faktor emosional, sosial, maupun psikologis, sehingga dapat diberikan intervensi atau pengobatan yang tepat.Â
Melalui sesi konseling dan observasi, psikolog dapat membantu anak memahami dampak dari tindakannya, mengajarkan cara mengelola dorongan atau emosi yang memicu perilaku tersebut, serta membangun keterampilan sosial dan moral yang sehat.Â
Selain itu, psikolog juga dapat memberikan panduan kepada orangtua dalam mendukung proses perubahan anak secara konsisten di lingkungan rumah. Misalnya siswa N mencuri disebabkan dia baru saja punya adik dua tahun ini. Biasanya N paling bungsu. Penuh dapat perhatian.Â
Namun sejak punya adik, N merasa tersisih. Ia pun menghabiskan waktu di warnet bersama teman. Untuk memenuhi keuangan mereka di warnet N mencuri tiap hari di sekolah. Semua ini diketahui setelah berkonsultasi dengan psikolog di rumah sakit.
5. Penerapan Sanksi yang Mendukung Pembelajaran
Jika siswa ketahuan mencuri, berikan sanksi yang mendidik, seperti meminta mereka mengganti barang yang diambil atau membantu tugas sekolah sebagai bentuk tanggung jawab. Berapa uang yang sudah dicuri tentu bisa di data dari teman sekelas.
Waktu-Waktu Rawan untuk Siswa dan Strategi Guru Mengedukasi Siswa
Pada momen tertentu berikut yang sering menjadi "waktu rawan" siswa lebih rentan melakukan tindakan mencuri, guru bisa mengedukasi siswa:
1. Jam istirahat: Sebelum siswa meninggalkan kelas, siswa harus memastikan uang tak ada dalam tas.
2. Ketika ada acara besar: Dalam suasana ramai seperti acara sekolah, siswa cenderung lebih berani membawa uang banyak karena merasa tidak diawasi. Guru harus membuat aturan sebelum acara. Bila perlu pakai surat pernyataan tak akan membawa banyak uang apalagi barang berharga
3. Saat guru tidak hadir: Ketidakhadiran guru di kelas dapat menciptakan kesempatan bagi siswa untuk berbuat curang. Pastikan ada guru piket mendampingi siswa di kelas.
4. Ketika siswa mengalami tekanan emosional: Siswa yang stres atau frustrasi mungkin mencuri sebagai bentuk pelarian. Guru perlu memantau siswanya yang mengalami tekanan atau stres. Guru juga perlu mengadakan detektif cilik di kelas secara rahasia.
Tugas detektif cilik di kelas adalah membantu guru memantau dan melaporkan secara rahasia situasi atau perilaku mencurigakan yang terjadi di lingkungan kelas tanpa menghakimi teman-temannya.
Mereka bertindak sebagai pengamat yang peka terhadap dinamika kelas, seperti perilaku teman yang tampak tertekan, gelisah, atau melakukan tindakan yang tidak biasa.
Informasi yang mereka kumpulkan akan menjadi bahan masukan bagi guru untuk mengambil langkah intervensi secara bijaksana dan tepat tanpa menciptakan suasana yang menghakimi atau mempermalukan siswa yang bersangkutan.Â
Detektif cilik ini tetap harus dilibatkan dengan batasan yang jelas agar tidak menimbulkan konflik antar siswa. Adapula edukasinya. Guru perlu waspada terhadap situasi-situasi ini dan mengambil langkah untuk meminimalkan risiko.
Strategi Guru dalam Mengatasi Siswa Suka Mencuri
Selain strategi di atas, mengatasi perilaku mencuri memerlukan pendekatan yang holistik pula. Mirip sih tapi tak sama. Ini melibatkan tindakan preventif dan korektif.Â
Berikut adalah beberapa strategi dengan pendekatan holistik yang dapat dilakukan guru untuk melengkapi strategi di atas:
1. Membangun hubungan yang baik dengan siswa:
Guru harus menjadi pendengar yang baik dan menciptakan lingkungan yang nyaman agar siswa merasa dihargai. Komunikasi yang terbuka membantu siswa lebih terbuka tentang masalah mereka.
2. Mengajarkan nilai kejujuran:
Guru dapat menyisipkan nilai-nilai moral dalam pelajaran sehari-hari. Misalnya, mengadakan diskusi atau cerita inspiratif tentang kejujuran.
3. Meningkatkan pengawasan:
Guru dan staf sekolah harus memastikan bahwa lingkungan sekolah aman dengan meningkatkan pengawasan di area-area rawan seperti ruang kelas, kantin, dan loker.
4. Menggunakan pendekatan restorative justice:
Jika ada siswa yang ketahuan mencuri, guru sebaiknya tidak langsung menghukumnya secara keras. Sebaliknya, ajak siswa tersebut berdiskusi, memahami kesalahannya, dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri, misalnya dengan mengembalikan barang yang diambil.
5. Melibatkan orang tua:
Penting untuk bekerja sama dengan orang tua dalam menangani masalah ini. Diskusi dengan orang tua dapat membantu menemukan solusi jangka panjang untuk siswa.
6. Memberikan tanggung jawab kecil:
Guru dapat memberikan tugas-tugas kecil kepada siswa yang terindikasi suka mencuri, seperti menjadi penjaga barang kelas. Hal ini dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kepercayaan diri.
7. Memberikan penghargaan pada perilaku positif:
Siswa yang menunjukkan perubahan ke arah positif perlu diberi apresiasi. Penghargaan sederhana, seperti pujian atau sertifikat, dapat memotivasi mereka untuk terus berbuat baik.
Membangun Budaya Sekolah yang Positif
Sekolah perlu menciptakan budaya yang mendukung nilai-nilai kejujuran. Misalnya, dengan mengadakan kampanye anti-kecurangan atau memasang slogan-slogan inspiratif di dinding sekolah. Selain itu, penerapan program seperti peer counseling atau klub karakter dapat membantu siswa memahami pentingnya sikap jujur.
Berikut adalah beberapa contoh penerapan program peer counseling atau klub karakter yang dapat membantu siswa memahami pentingnya sikap jujur untuk mengantisipasi perilaku mencuri:
1. Program Peer Counseling
Sesi Diskusi
Dalam sesi peer counseling, siswa dilatih untuk saling berbagi pengalaman tentang kejujuran, seperti bagaimana mereka pernah menghadapi godaan untuk berbohong, dan apa dampaknya.
Misalnya, seorang siswa mungkin berbagi tentang mengakui kesalahan saat terlambat mengumpulkan tugas dan bagaimana guru menghargai kejujuran tersebut.
Studi Kasus
Siswa bekerja dalam kelompok kecil untuk membahas situasi tertentu, seperti seseorang yang menemukan dompet di sekolah. Mereka mendiskusikan tindakan yang seharusnya diambil dan dampaknya jika bertindak jujur atau tidak jujur.
2. Klub Karakter
Kegiatan Drama atau Role Play
Klub karakter dapat mengadakan drama kecil tentang dilema etika, misalnya seorang siswa yang tidak sengaja melihat jawaban ujian teman di kertas. Para siswa kemudian memerankan pilihan yang jujur dan tidak jujur untuk melihat konsekuensinya.
Proyek Komunitas
Klub ini dapat mengorganisasi proyek "Hari Kejujuran," di mana setiap siswa menceritakan satu tindakan jujur yang telah mereka lakukan minggu itu. Proyek ini dapat diakhiri dengan refleksi bersama tentang perasaan dan manfaat menjadi jujur.
Program-program ini tidak hanya memberikan contoh konkret, tetapi juga menciptakan ruang bagi siswa untuk memahami bahwa kejujuran adalah bagian dari karakter yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kesimpulan
Siswa yang memiliki kebiasaan mencuri tidak semata-mata "nakal," tetapi sering kali menjadi korban situasi tertentu. Guru memiliki tanggung jawab untuk membimbing siswa tersebut menuju perubahan positif, bukan hanya demi mereka sendiri, tetapi juga demi lingkungan sekolah yang sehat.
Dengan pendekatan yang tepat, siswa dapat belajar untuk meninggalkan kebiasaan buruk dan tumbuh menjadi individu yang lebih baik.
Mari sebagai pendidik kita berusaha sebaik mungkin untuk menginspirasi siswa, bahkan yang berada di jalur terkelam sekalipun, untuk melihat bahwa kejujuran adalah jalan menuju kehidupan yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H