Pelita di Tengah Kabut
Pagi ini Senin, 25 November, hujan rintik-rintik membasahi halaman sekolah. Guru dan murid merencakan Upacara Hari Guru. Mudahan hujan teduh hingga pukul 07.00 WIB.
Di sebuah ruang kelas yang masih sunyi, Bu Ratna duduk memeriksa buku-buku latihan siswa sambil menunggu pelaksanaan upacara. Usia Bu Ratna sudah mendekati pensiun tak mengurangi semangatnya untuk memberikan yang terbaik kepada muridnya.
Meski kerap lelah oleh rutinitas dan beban administrasi yang menumpuk, wajahnya tetap tenang.
"Bu, ini untuk Ibu," suara lembut seorang siswa tiba-tiba memecah keheningan. Laila, siswi kelas enam yang dikenal pendiam, berdiri di depan Bu Ratna dengan tangan gemetar, menyerahkan sebuah surat kecil.
Bu Ratna tersenyum, menerima surat itu, dan membacanya perlahan.
"Bu Ratna, terima kasih sudah sabar mengajari saya. Dulu saya tidak suka sekolah, tapi Ibu membuat saya ingin belajar terus. Maaf kalau saya sering merepotkan. Ibu adalah guru terbaik saya."
Air mata Bu Ratna jatuh perlahan. Surat itu sederhana, tapi baginya lebih berarti daripada penghargaan apa pun.
Di luar, hujan mulai reda. Cahaya matahari perlahan menembus kabut pagi, seolah memberi harapan baru. Bu Ratna menatap Laila dengan penuh haru. Di momen itu, ia tahu---usaha dan pengabdiannya tak pernah sia-sia.
Cerpen ini menjadi pembuka untuk artikel tentang mutu guru dan hadiah terbaik bagi mereka. Bagaimana menurut Anda Kompasianer?