“Saya hanya ingin menghormati seseorang yang mengalami kecelakaan satu tahun lalu di sini, Pak!” Kata-kata Aria terputus. Matanya terhenti pada lencana kecil di seragam pria itu, yang bertuliskan nama mendiang pengendara motor yang ia tabrak.
Pria itu tersenyum kecil, seolah ia memahami kebisuan Aria. “Ia adalah adik saya. Banyak orang datang ke tempat ini, tapi jarang ada yang membawa bunga.”
Aria tergagap, tidak tahu harus berkata apa. Tapi pria itu menepuk pundaknya dengan lembut. “Adik saya dulu selalu berkata bahwa manusia hidup untuk belajar memaafkan, termasuk diri sendiri. Jangan terus menyalahkan dirimu. Jalani hidupmu yang masih panjang ini.”
"Ini yang pendeknya, Allahhummaghfir lahu warhamhu wa'aafihi wa'fuanhu. Artinya: "Ya Allah, ampunilah dia, berilah rahmat dan sejahtera, dan muliakanlah ia."
Kata-kata itu, sederhana namun tulus, terasa seperti sebuah jawaban. Aria menatap pria itu, lalu mengangguk pelan. Ia mengucap terima kasih. Lalu izin pamit. Langkah kakinya terasa lebih ringan ketika meninggalkan tikungan itu. Untuk pertama kalinya, ia merasa bisa bernapas lega.
Bayang-bayang itu tidak sepenuhnya hilang. Sesekali masih datang. Tapi kini, ia tahu bahwa ia bisa melangkah tanpa takut. Ia melafalkan doa itu untuk pemuda itu.
Trauma itu telah menjadi bagian dari dirinya dengan kebiasaan barunya zikir dan doa, sehingga tidak lagi menjadi beban yang membelenggunya. Di balik zikir dan doa kini Aria lebih tegar.
Di dalam mobil, Aria tersenyum kecil, memandang tikungan itu sekali lagi dari kaca spion, sebelum akhirnya melaju ke depan, menuju awal yang baru sambil berzikir dan berdoa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H