Isu outsourcing atau alih daya menjadi perhatian UU Cipta Kerja, melalui perubahan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan, memperluas penggunaan outsourcing, sehingga tidak hanya terbatas pada pekerjaan tertentu.
Kutipan UU Cipta Kerja Pasal 66 ayat (1): "Pemberi kerja dapat menggunakan tenaga alih daya untuk semua jenis pekerjaan, sepanjang sesuai dengan kesepakatan kontrak kerja."
Dalam putusannya, MK mendesak pemerintah untuk membuat ketentuan tambahan agar pekerja outsourcing tidak kehilangan hak-hak dasar mereka. Masyarakat berharap putusan ini dapat mencegah praktik outsourcing yang merugikan pekerja di lapangan.
Regulasi Ketentuan Upah bagi Semua Pekerja
UU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan upah minimum di mana setiap perusahaan dapat menentukan kebijakan upah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi perusahaan. Hal ini tertuang dalam perubahan Pasal 88B ayat (2), yang menegaskan fleksibilitas dalam penentuan upah.
Kutipan UU Cipta Kerja Pasal 88B ayat (2): "Perusahaan dapat menentukan kebijakan pengupahan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja dengan memperhatikan kemampuan perusahaan."
Putusan MK menegaskan perlunya penjaminan hak upah minimum bagi seluruh pekerja, termasuk pekerja kontrak dan alih daya. Menurut masyarakat, ketentuan ini merupakan langkah penting untuk menghindari diskriminasi upah terhadap pekerja kontrak.
Hak atas upah minimum adalah hak dasar yang harus dijamin bagi seluruh pekerja tanpa pengecualian, agar mereka mendapatkan kesejahteraan yang layak.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan Pesangon
Pasal 151 UU Ketenagakerjaan yang diubah oleh UU Cipta Kerja memudahkan proses pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menentukan kompensasi pesangon dengan lebih fleksibel.
Kutipan UU Cipta Kerja Pasal 151 ayat (1): "Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja atau buruh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."