Pagi itu, Andi duduk diam di bangku paling belakang kelasnya. Ia menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajahnya di balik tumpukan buku. Tak ada yang tahu, tetapi hatinya sedang bergemuruh.
Kemarin, ia ditegur keras oleh Bu Ani, gurunya karena ia lupa mengerjakan tugas Sudut Pandang Penceritaan. Di mata teman-temannya, itu hanya teguran biasa. Namun bagi Andi, teguran itu seperti petir yang menggetarkan seluruh dunianya.
Sejak kelas 7, Andi terbiasa dengan pujian karena ia juara. Ayah dan ibunya pun di rumah selalu memujinya. Ayah Ibunya berkata bahwa Andi anak yang cerdas, berbeda dari yang lain.
Namun, satu teguran dari Bu Ani kini membuatnya mempertanyakan itu semua. Apakah benar dirinya seistimewa yang orang tuanya katakan? Ataukah dia hanya seorang anak biasa, yang bahkan tidak bisa mengerjakan tugas sederhana itu?
Di saat Andi tenggelam dalam pikirannya, Bu Ani menghampiri bangkunya. Ia meletakkan tangan lembutnya di pundak Andi, lalu berkata pelan, "Andi, besok kamu boleh mulai lagi dari awal. Kamu tahu, tidak ada manusia yang sempurna, termasuk Ibu. Tapi kita selalu punya kesempatan untuk belajar, kembali?"
Kata-kata Bu Ani membekas di hati Andi. Sesederhana itu, namun entah mengapa terasa seperti cahaya yang menembus kabut di hatinya. Iapun tersenyum sambil menangis. Ia menatap punggung Bu Ani yang sudah berlalu.
Bu Ani memang sosok guru yang ditakuti di kelas 9. Bukan karena beliau suka memberi hukuman fisik. Tapi beliau tegas soal nilai. Tugas telat 1 hari, nilai turun 95. Telat 2 hari, nilai turun 90, begitu terus hingga turun menjadi 80.
Andi cemas. Nilai 80 tak laku di sekolah favorit impiannya. Kata kakak kelasnya, minimal 92 bila ingin masuk sekolah itu. Tentu Andi cemas karena mata pelajaran Bu Ani Bahasa Indonesia pula.
Hukuman yang Sah dan Benar dalam Mendisiplinkan Siswa Berdasarkan Hukum yang Berlaku
Dulu Bu Ani dikenal sebagai guru yang suka memberi anak hukuman fisik menyehatkan seperti push up. Bila baju siswanya keluar, tak pakai dasi, kacu, tak pakai sepatu, buang sampah sembarangan, dan makan berdiri.
Namun, sejak kasus beberapa guru viral di medsos, Bu Ani juga mulai dirayapi rasa takut. Apalagi saat ini murid di sekolahnya kebanyakan berorangtua dari kalangan penegak hukum. Beliau ngeri bila harus berhadapan dengan hukum.
Bu Ani dan teman-teman guru sekarang lebih senang bermain mata. Bila guru melihat baju siswanya keluar, tak pakai dasi, kacu, tak pakai sepatu, buang sampah sembarangan, dan makan berdiri, mereka guru berkode-kodean memejamkan mata. Memejamkan mata artinya, diam saja. "Pura-pura tak tahu saja."
Meski sebetulnya pendidikan tidak hanya berfokus pada kemampuan akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter siswa, namun guru takut berurusan dengan orangtua siswa.
Meski guru memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai disiplin yang diperlukan dalam kehidupan, namun, dalam mendisiplinkan siswa sekarang ini, guru harus mempertimbangkan jenis hukuman yang sesuai agar tidak melanggar hak-hak siswa yang dilindungi oleh undang-undang.Â
Pemberian hukuman harus tetap memiliki tujuan mendidik, menjaga martabat siswa, serta tidak menimbulkan efek traumatis. Meski para wakil kepala tetap menghimbau siswa untuk mendisiplinkan diri mereka.
"Ananda. Sampah buang ke tempat sampah ya!"
Berdasarkan Undang-Undang dan peraturan terkait, jenis hukuman yang sah dan benar yang dapat diterapkan oleh guru dalam mendisiplinkan siswa adalah:
1. Teguran dan Peringatan Lisan
Teguran lisan merupakan bentuk hukuman paling sederhana dan sesuai untuk pelanggaran ringan. Dasar hukumnya dapat merujuk pada Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang mengamanatkan bahwa guru harus bertindak sesuai kode etik profesional.
Dalam kode etik tersebut, guru harus menghormati hak-hak siswa sehingga teguran lisan perlu dilakukan dengan bijak dan bertujuan untuk memberikan pembinaan. Bukan menghina. Misalnya ketika siswa di hadapan kita guru lewat tanpa memakai dasi. Kita beri teguran lisan.
Begitu juga dengan Andi pada cerita di atas. Ditegur secara lisan oleh Ibu Ani ketika ketahuan tak mengerjakan PR di rumah. Namun Andi kaget dengan teguran itu. Bu Ani faham, beliapun mendatangi Andi secara khusus.
2. Pembinaan Melalui Tugas Khusus
Pembinaan melalui tugas khusus, juga bisa menjadi pilihan. Seperti menggantikan piket kelas untuk membersihkan ruang kelas. Hukuman ini bisa diberikan saat guru mengajar di jam terakhir. Gurupun bisa mengawasi hukuman sepulang sekolah.Â
Membuat ringkasan pelajaran, juga sejalan dengan nilai-nilai pendidikan. Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan menegaskan bahwa hukuman yang diberikan harus berfungsi sebagai pembinaan.
Melalui tugas khusus, siswa dapat belajar tanggung jawab dan disiplin tanpa merasa dihukum secara berlebihan. Tugas ini bisa kita terapkan di saat mengajar pada jam 1 2 3 atau jelang istirahat pertama. Sambil temannya belajar, ia bisa meringkas.
3. Konseling dan Pendampingan
Ini hukuman yang diberikan jika tingkat kenakalan siswa sudah meresahkan sekolah. Misalnya, suka memeras uang adik kelas, mencuri, dan membullying. Kasus ini sedang marak di sekolah dasar dan menengah. Kakak kelas memeras, mencuri, dan membully.
Pendekatan konseling dilakukan bersama guru Bimbingan Konseling (BK) dan wali kelas. Bimbingan ini bertujuan untuk menemukan solusi dan akar masalah perilaku siswa. Ini sesuai dengan prinsip pendidikan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyebutkan bahwa pendidikan harus dilaksanakan secara demokratis dan tidak diskriminatif.
Konseling memungkinkan siswa merasakan dukungan dan pendampingan, bukan sekadar hukuman. Bila siswa berubah sejalan dengan konseling, siswa bisa terus sekolah. Namun, bila siswa tak berubah, apalah daya, siswa harus pindah belajar ke sekolah lain.
Baru-baru ini, memang siswa marak merokok, ngevape, dan sejenisnya. Siswa seperti ini butuh dukungan orangtua, psikiater, dan guru Bimbingan Konseling. Kita khawatir mereka kecanduan. Malah nanti terjerumus pada ganja dan narkoba.
Cuma sayang, kadang guru terlalu bersemangat membasmi tanpa memiirkan resiko untuk diri mereka sendiri. Seperti guru Zaharman, "Zaharman (58), seorang guru SMAN 7 di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, diketapel oleh Arpanjaya (45), ayah dari PD (16) pada Selasa (01/08) lalu.Â
Penyebabnya adalah Arpanjaya tidak terima atas laporan anaknya yang ditegur karena merokok di kantin sekolah. Akibatnya, Guru tersebut mengalami kebutaan.
Selain diketapel, Arpanjaya juga melaporkan Zaharman ke polisi pada Kamis (3/8). Saat diperiksa, PD membantah tuduhan merokok di kantin sekolah dan menyebut temannya yang melakukan perbuatan tersebut. Bukan dia."(Kumparan News)
Guru Zaharman pun sebetulnya memiliki hak untuk melaporkan balik Arpanjaya atas tindakan kekerasan yang dilakukan kepadanya.
Dalam kasus ini, apa yang dialami Pak Zaharman dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka serius. Berdasarkan hukum di Indonesia, tindakan seperti ini diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penganiayaan.
Jika penganiayaan tersebut menyebabkan kebutaan, maka ancaman hukuman bisa lebih berat. Korban dapat melaporkan Pelaku ke pihak berwajib (Polisi) dengan bukti-bukti seperti:
1. Hasil Visum: Hasil pemeriksaan medis yang menyatakan kebutaan dan cedera lainnya yang diakibatkan oleh tindakan Pak Arpanjaya.
2. Saksi Mata: Jika ada saksi yang melihat kejadian, mereka bisa mendukung laporan Pak Zaharman.
3. Rekaman CCTV atau Bukti Lainnya: Jika ada rekaman yang menunjukkan kejadian, ini bisa menjadi bukti tambahan.
Selain itu, karena tindakan guru Zaharman (menegur siswa yang merokok) merupakan bagian dari tugasnya sebagai pendidik untuk menegakkan disiplin di sekolah. Ia juga dapat mempertimbangkan perlindungan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.Â
Undang-undang ini menyebutkan bahwa guru berhak mendapatkan perlindungan hukum, terutama saat menjalankan tugas mereka.
4. Pembatasan Hak Istimewa
Hukuman dalam bentuk pembatasan hak istimewa, seperti larangan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler untuk sementara, juga sejalan dengan konsep pengembangan diri dan disiplin. Namun, Permendikbud No. 82 Tahun 2015 menekankan bahwa hukuman harus bersifat proporsional.
Guru harus memastikan bahwa hukuman ini tidak berdampak negatif terhadap perkembangan akademik atau sosial siswa. Tak merusak mental siswa. Hanya sekedar memberi efek jera sehingga siswa tak mengulangi lagi kesalahan yang sama.
Misalnya seorang siswa tertangkap merokok di lingkungan kantin sekolah. Guru harus memiliki barang bukti. Rokok dan saksi saat pihak sekolah mengadakan pertemuan dengan orang tua atau wali murid siswa itu.Â
Sekolah memutuskan untuk memberikan skorsing. Siswa yang ketahuan merokok itu diberi skorsing selama tiga hari. Selama masa skorsing, siswa ini tidak diperkenankan mengikuti kegiatan belajar di sekolah.
Untuk menutupi pelajaran yang tertinggal, siswa tersebut diminta membuat ringkasan materi yang diajarkan selama masa skorsing. Setelah kembali, ia diwajibkan melakukan sesi konseling dengan guru bimbingan konseling untuk membahas dan memahami kesalahannya.
5. Penulisan Surat, Refleksi, atau Esai Korektif
Penulisan surat, refleksi, atau esai merupakan metode hukuman yang memungkinkan siswa merenungkan perbuatannya secara mendalam. Hal ini sejalan juga dengan amanat Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang mengatur agar anak tidak mengalami tekanan berlebihan atau merendahkan martabat.Â
Metode ini memungkinkan siswa belajar dari kesalahan tanpa merasa dihukum secara fisik atau mental. Siswa disuruh membuat surat berisi perjalanan dan sebab-sebab tidak disiplin. Misalnya siswa Andi tak mengerjakan tugas.Â
Andi diberi tugas menceritan asal mula tak mengerjakan tugas. Menceritakan kronologi kegiatan Andi di rumah sehari semalam. Sehingga di surat itu nanti akan ditemukan sebab musabab ia tak mengerjakan tugasnya.
6. Kerja Sosial atau Gotong Royong di Lingkungan Sekolah
Kerja sosial atau gotong royong di lingkungan sekolah, seperti membersihkan halaman atau membantu menyusun perpustakaan, juga sejalan dengan asas pendidikan karakter. Permendikbud No. 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter mendorong kegiatan yang mengajarkan rasa tanggung jawab sosial dan gotong royong.
Hukuman ini tidak hanya menanamkan nilai disiplin, tetapi juga membantu siswa merasa lebih terhubung dengan lingkungan sekolah. Contoh penerapan hukuman kerja sosial atau gotong royong di sekolah yang sejalan dengan asas pendidikan karakter dalam Permendikbud No. 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter:
1. Membersihkan Lingkungan Sekolah
Seorang siswa tertangkap membuang sampah sembarangan di sekolah. Sebagai bentuk pembinaan, siswa tersebut diminta untuk membersihkan halaman sekolah atau taman selama satu minggu setiap pulang sekolah. Guru harus siap mengawasi.
2. Menyusun dan Merapikan Buku di Perpustakaan
Siswa yang sering terlambat datang ke kelas diberikan sanksi berupa membantu staf perpustakaan dalam menyusun dan merapikan buku. Setiap pagi selama dua minggu, sebelum bel sekolah berbunyi, siswa ini datang lebih awal untuk menata buku di rak dan memastikan perpustakaan rapi.
3. Membersihkan dan Merawat Toilet Sekolah
Siswa yang melakukan pelanggaran serius seperti perkelahian di sekolah diberikan sanksi berupa kerja sosial untuk membersihkan dan merawat toilet sekolah selama beberapa hari.
Siswa tersebut diminta membersihkan toilet pada jam istirahat di bawah pengawasan petugas kebersihan sekolah. Tugas ini dirancang untuk menanamkan nilai gotong royong dan penghargaan terhadap fasilitas umum serta menghargai pekerjaan petugas kebersihan.
4. Menghias Taman Sekolah
Untuk siswa yang memiliki masalah ketidakpatuhan ringan seperti sering berbicara saat guru menjelaskan, hukuman bisa berupa membantu menghias taman sekolah. Tugas ini melibatkan kegiatan seperti menanam bunga atau mengecat pot bersama-sama dengan siswa lain.
Kegiatan ini mengajarkan siswa tentang pentingnya kolaborasi dan gotong royong, serta memberi mereka rasa kepemilikan dan kebanggaan terhadap hasil yang dapat dilihat sehari-hari.
5. Membantu Menyiapkan Ruang Kelas untuk Acara Sekolah
Siswa yang sering mengganggu pelajaran di kelas lain, diberikan tanggung jawab membantu menyiapkan ruangan atau aula untuk acara sekolah.
Tugas ini bisa mencakup menyusun kursi, membersihkan area, atau menyiapkan dekorasi. Dengan cara ini, siswa belajar tentang pentingnya kontribusi dan kerja sama, sekaligus merasa lebih terhubung dengan sekolah dan memiliki rasa bangga bisa ikut berpartisipasi dalam persiapan acara.
Kesimpulan
Hukuman yang sah dan benar bukanlah hukuman yang bersifat merendahkan atau traumatis, melainkan hukuman yang mendidik dan bertujuan untuk memperbaiki sikap siswa.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Permendikbud No. 82 Tahun 2015, pemberian hukuman di sekolah harus mempertimbangkan hak-hak siswa serta berfungsi sebagai pembinaan.
Melalui teguran lisan, tugas khusus, konseling, pembatasan hak istimewa, penulisan surat, refleksi, dan kerja sosial, guru dapat memberikan pengalaman belajar yang mendidik dan memperbaiki tanpa melanggar hak-hak siswa.
Dengan mematuhi peraturan dan undang-undang yang berlaku, guru dapat mendisiplinkan siswa dengan bijak dan bertanggung jawab, sehingga proses pendisiplinan bukan hanya sekadar hukuman, tetapi menjadi bagian dari pendidikan karakter yang positif.
Larangan dalam Pemberian Hukuman kepada Siswa Berdasarkan Hukum yang Berlaku
Dalam proses pendisiplinan, guru bertanggung jawab untuk memastikan bahwa hukuman yang diberikan bersifat mendidik dan tidak melanggar hak-hak siswa. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan melarang berbagai bentuk hukuman yang dapat mengarah pada kekerasan fisik, psikologis, dan perilaku yang merendahkan martabat anak.
Berikut ini adalah beberapa jenis hukuman yang dilarang diterapkan dalam lingkungan pendidikan:
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik, seperti memukul, menampar, menjewer, atau menghukum dengan posisi tubuh yang menyakitkan, merupakan bentuk hukuman yang sangat dilarang.
Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 menegaskan bahwa anak harus dilindungi dari kekerasan fisik dan psikis di lingkungan sekolah.
Tindakan fisik yang menyakiti siswa tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga bisa menimbulkan trauma dan merusak kepercayaan siswa terhadap guru.
2. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis berupa ancaman, intimidasi, mempermalukan siswa di depan umum, atau menggunakan kata-kata kasar juga dilarang keras.
Permendikbud No. 82 Tahun 2015 dan Pasal 76C Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 mengatur bahwa siswa berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan yang dapat merendahkan martabat atau menyebabkan rasa takut dan trauma.
Hukuman psikis dapat berdampak buruk pada kesehatan mental siswa dan menurunkan motivasi belajar.
3. Hukuman yang Mempermalukan atau Merendahkan Martabat
Hukuman yang mempermalukan siswa, seperti memaksa siswa berdiri di depan kelas dengan tujuan membuat malu atau memberikan label negatif, dilarang keras.Â
Pasal 28G ayat (2) UUD 1945 menjamin hak semua orang untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan yang merendahkan martabat.
Sebaliknya, guru harus menghindari perilaku yang dapat membuat siswa kehilangan harga diri.
4. Diskriminasi dalam Pemberian Hukuman
Diskriminasi dalam bentuk hukuman berdasarkan latar belakang sosial, agama, atau kemampuan akademik siswa merupakan pelanggaran hukum.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional melarang tindakan diskriminatif dalam pendidikan.Â
Semua siswa memiliki hak untuk diperlakukan secara adil, dan hukuman harus didasarkan pada kesalahan yang dilakukan, bukan pada faktor pribadi siswa.
5. Mengeluarkan atau Memindahkan Siswa Secara Sepihak
Mengeluarkan atau memindahkan siswa tanpa proses yang sesuai prosedur adalah tindakan yang melanggar hak siswa untuk mendapatkan pendidikan.
Permendikbud No. 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru mengatur bahwa sanksi berupa pengeluaran atau pemindahan siswa harus melalui tahapan tertentu dan mendapatkan persetujuan dari orang tua atau wali siswa.
Keputusan itu tidak boleh dilakukan sepihak oleh pihak sekolah tanpa alasan yang kuat.
6. Hukuman Berlebihan yang Mengabaikan Hak untuk Belajar
Hukuman yang menghalangi siswa untuk belajar, seperti melarang siswa masuk kelas atau membuat siswa tidak mengikuti pelajaran, juga termasuk dalam larangan.Â
Pasal 31 UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan.Â
Hukuman yang menghambat siswa untuk belajar bertentangan dengan tujuan pendidikan itu sendiri dan tidak mendukung pembinaan yang konstruktif.
7. Penggunaan Pekerjaan Fisik yang Berat atau Membahayakan
Mengharuskan siswa melakukan pekerjaan fisik yang berat atau berbahaya, seperti mengangkat benda berat atau membersihkan area yang tidak aman, adalah tindakan yang dilarang.
Permendikbud No. 82 Tahun 2015 mengingatkan pentingnya menjaga keselamatan dan kesehatan siswa dalam aktivitas sekolah.
Hukuman fisik berlebihan dapat membahayakan keselamatan siswa dan bertentangan dengan prinsip pembinaan yang mendidik.
Kesimpulan
Dalam mendisiplinkan siswa, guru harus mematuhi batasan hukum dan menghindari segala bentuk kekerasan fisik dan psikis, tindakan yang mempermalukan, diskriminasi, dan tindakan yang membahayakan kesehatan siswa.
Pemberian hukuman yang mendidik harus selalu mempertimbangkan hak-hak siswa yang diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Permendikbud No. 82 Tahun 2015, serta peraturan-peraturan lain yang relevan.Â
Dengan demikian, pendisiplinan di sekolah dapat berjalan sesuai tujuan pendidikan yang positif dan menciptakan lingkungan belajar yang aman serta nyaman bagi seluruh siswa.
Cahaya di Balik Teguran
Andi menatap Bu Ani dengan mata berair. Teguran itu, yang awalnya terasa berat, kini menjadi pelajaran yang begitu berharga. Ia mulai memahami bahwa kesalahan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari kesempatan untuk belajar lebih baik.
Hari berikutnya, Andi datang ke kelas dengan semangat baru. Ia duduk di bangkunya dengan percaya diri. Ia siap dengan tugas yang dikerjakannya semalam. Ketika Bu Ani memeriksa, senyumnya hangat dan penuh kebanggaan. Bu Ani pun tersenyum manis sambil memperagakan jempol kanannya.
Andi tahu, gurunya tidak hanya melihat hasil, tetapi juga usaha dan keberaniannya untuk bangkit.
Di akhir tahun, Andi berdiri di depan kelas untuk menerima penghargaan sebagai siswa paling gigih. Dari sudut ruangan, Bu Ani tersenyum bangga, memberi anggukan kecil seolah berkata, "Lihatlah, Andi. Kamu sudah menemukan cahayamu."
Di balik teguran itu, Andi menemukan cahaya hidupnya. Rasa Percaya diri. Ia siap menuju sekolah favoritnya. Senyum bahagia terukir di bibirnya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H