Guru yang Berubah
Pagi itu, Bu Ria berdiri di depan papan tulis seperti biasa. Jam dinding di kelas 9B menunjukkan pukul delapan lewat lima menit. Sedikit terlambat dari jadwal pelajaran matematika yang harusnya sudah dimulai.Â
Namun, entah kenapa, Bu Ria merasa ada yang berbeda hari ini. Suasana kelas tampak sunyi padahal biasanya selalu ada satu dua siswa yang ribut atau sekadar berbisik-bisik. Biasanya ada juga yang jalan-jalan.
"Sebelum kita mulai, siapa yang mau bantu Bu Ria hari ini?" tanyanya, mencoba memecah keheningan.
Tak ada yang menjawab. Beberapa siswa hanya menundukkan kepala. Mereka asyik dengan pensil dan buku mereka. Bu Ria mengerutkan kening.
'Ada apa ini?' pikirnya. Teringat beberapa minggu lalu, kelas ini begitu aktif. Mereka bersemangat setiap kali ia memberikan soal latihan. Kini, mereka lebih banyak diam.
Bu Ria duduk di mejanya. Ia termenung sejenak. Ia tahu ada yang tidak beres. Mungkin pendekatan yang dia gunakan sudah tak lagi relevan dengan cara siswa-siswinya belajar saat ini.
Ia teringat nasihat dari seorang rekan guru yang ia temui di seminar pendidikan terakhir. "Kadang, kita perlu lebih banyak mendengarkan mereka, bukan sekadar mengajar."
Dengan tekad baru, ia berdiri lagi, kali ini dengan senyum kecil yang lebih tulus. "Baik, hari ini Bu Ria ingin tahu bagaimana kalian lebih suka belajar. Apa yang bisa kita ubah di kelas ini supaya kalian lebih semangat?"
Semua mata perlahan terangkat, ada kebingungan, tapi juga rasa ingin tahu. Fira, siswa yang biasanya pendiam, akhirnya angkat tangan. "Bu... kita mungkin bisa belajar sambil bermain? Biar nggak terlalu tegang."
Senyum Bu Ria melebar. "Baik, mari kita coba. Hari ini kita akan belajar matematika lewat permainan. Kalian yang akan menentukan langkah berikutnya."
Hari itupun, perubahan kecil dimulai di kelas 9B itu.