"Puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya.” Begitu kata Allah dalam sebuah hadist.
Diriwayatkan oleh Bukhari, 1761 dan Muslim, 1946
عن أَبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَالَ اللَّهُ : كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.”
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah Shallallahu’alai wa sallam bersabda, “Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya kecualiYa, saat semua amal kita untuk Allah dan Dia yang akan membalasnya, maka para ulama berbeda pendapat dalam firman-Nya, ( الصيام لي وأنا أجزي به = “Puasa untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya“). Mengapa puasa dikhususkan?
Padahal pada dasarnya semua amal perbuatan baik kita untuk Allah Azza wa Jalla dan memang hanya Dia-lah yang akan bisa atau kuasa membalasnya. Inilah alasan puasa diistimewakan oleh Allah Azza wa Jalla.
Pertama, puasa merupakan ibadah yang tidak ada unsur riya, sebagaimana yang terjadi pada ibadah lainnya.
Riya diartikan memamerkan atau flexing amal, ibadah, atau prestasi yang kita miliki atau lakukan kepada orang lain dengan tujuan mendapat pujian dan penghargaan dari orang lain.
Riya ini merupakan perbuatan hati yang tercela. Riya dianggap sebagai asy-syirk al-ashgar (syirik kecil) kepada Allah karena membuat orang sombong. Sedang kita dilarang sombong.
Kedua, puasa yang dimaksud dengan “dan Aku-lah yang akan membalasnya,” nya pada kata membalasnya adalah puasa. “Hanya Aku-lah (Allah) yang mengetahui besarnya balasan kepada orang berpuasa dan berapa banyak kebaikan yang dilipatgandakan untuk orang yang berpuasa.