Duh, hari ini sedang marak berita tentang penculikan anak. Bagaimanapun saya selaku Ibu dan Anda juga selaku orang tua, pasti cemas dong.
Benar. Cemas banget Bunda. Dari saya kecil, berita penculikan anak memang sudah bikin deg-degan. Gimana tak deg-degan, saat itu saya belum sekolah. Sudah diberi tugas oleh orang tua menjaga dua adik lelaki saya.
Jarak umur kami dua tahun. Mungkin saat itu usia saya 6 tahun, adik lelaki saya yang nomor dua 4 tahun, dan dibawahnya 2 tahun. Kemana saya pergi, mereka berdua saya bawa. Orangtua kami ke sawah.
Lalu saat kami asyik bermain di halaman belakang rumah, nenek sebelah rumah berpesan, "Yus, adikmu dijaga ya, jangan jauh-jauh mainnya. Sekarang lagi musim penculikan anak."
Sayapun mendengar itu tiba-tiba cemas. Apalagi kampung terasa mendadak sepi.. Di belakang rumah kami biasanya banyak anak bermain. Di sungai di belakang rumah itu juga biasanya ramai ibu-ibu mencuci. Namun, waktu itu mendadak kampung sepi. Sepi sekali.
Kami bertiga bertatapan. Meskipun mereka kecil-kecil, mungkin faham juga arti penculikan anak. Saat itu memang sedang ada pula pembangunan dua jembatan besar. Di Aek Pasir dan di Tingkarang. Konon, jika ada pembangunan jembatan, katanya agar jembatan kuat, sebaiknya ada tumbal.
Tumbal ini berupa kepala anak kecil. Mengingat itu, sayapun menangis, dan kedua adik sayapun ikut menangis. Kami menangis bertiga. Entah mengapa, tak ada kepikiran untuk membawa kedua adik saya berkurung di dalam rumah.
Rumah bukanlah tempat yang aman kala itu menurut saya. Hingga nenek yang berpesan tadi lewat. "Mengapa menangis, "tanyanya? "Takut? Ayo ke rumah nenek saja," ajaknya.
Kamipun bersembunyi di rumah nenek itu. Di dapur rumahnya. Yah, entah benar atau tidak penculikan anak saat itu, saya juga kurang tahu. Yang jelas, saya tak pernah mendengar ada anak di kampung itu yang hilang. Tak ada pula kelanjutan cerita penculikan itu hingga kami sekarang sudah dewasa dan sehat walafiat.
Nah, demikian pula hari ini. Berita penculikan anak marak lagi. Betapa banyak anak Indonesia yang cemas dan menangis seperti saya dan kedua adik saya dulu. Mereka terpaksa kakak adik di rumah atau menunggu jemputan di sekolah dengan jantung berdebar dan tentu dengan pertanyaan sama.Â