Pagi-pagi sekali Guruku menyapa pasar,
Menyapa sayur untuk dipertemukan dengan nasi dan ikan teri di piring plastik sebelum berangkat sekolah usai menegakkan shalat subuh berjamaah di langgar.
Di pasar Guruku melayangkan mata dan senyum kepada sayur yang merebah cantik di asoi besar penjual dan pandangannya kini bersirobok anak lelaki 13 tahun dengan sekarung bawang perai yang Oh Tuhan, bukankah itu anak muridnya, Bahar? Ini ternyata memang Bahar Andalan.
Seorang siswa pintar pagi-pagi buta memikul sekarung bawang perai "Bahar! Apa yang sedang kamu lakukan, nak?" Bisik hati Guruku.
"Ah Ibu, aku sedang mengangkat bekal sarapan kami."Â
"Ibuk tahu Bahar. Tapi kenapa pagi-pagi begini? Bukankah kamu akan sekolah pagi?"
Miris angan Bu Guruku menyaksikan kegetiran pilihan hidup Bahar Andalan.
" Tak ada pilihan. Ayah sakit beberapa hari ini, biasanya ayah yang mengerjakan ini. Juragan ayah sudah meminta ayah untuk bekerja lagi atau dia akan dipecat, maka aku menyelamatkan pekerjaan sampai ayah maju.
"Heh Bahar, cepat angkat karung kau, mendongeng pula kau! Kau seperti ayahmu yang penyakitan itu, jika saja kau tak menggantikannya, sudah kupecat dia." sorak Juragan ayah Bahar galak.
"Maafkan aku dan Guruku Juragan."
"Maaf ya, Buk, aku tak bisa...
"Pergilah, jangan sampai kamu terlambat ke sekolah." Senyum Guruku pilu membiarkan air mata menyapa pipinya yang tirus dan tak berdaya mencumbui kemiskinan yang juga setia menemani hidupnya dan muridnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H