Adakah di antara kamu yang memiliki pengalaman masuk universitas dari jalur mandiri?
Ada. Tentu jawabannya ada. Jalur ini sudah dianggap biasa di tengah masyarskat yang ingin anaknya kuliah di Perguruan Tinggi yang diidamkan atau favorit. Tak pernah terpikir di benak orang tua jika jalur pendidikan ini rawan korupsi karena orang tua dan calon mahasisws butuh jalur pendidikan ini.
Bagaimana tes masuknya?
Tes masuk jalur mandiri ini sama saja dengan tes SNMPTN/SBMPTN yang meliputi Tes Kemampuan Dasar, Tes Potensi Akademik, serta Tes Kelompok SAINTEK/SOSHUM. Hanya jadwal tes yang berbeda.Â
Jalur ini khusus bagi calon mahasiswa tidak lolos jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Mereka pun memilih tes susulan jalur mandiri ini.
Jika tidak lolos jalur SNMPTN alternatif terakhir yang bisa ditempuh agar tetap bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi negeri (PTN) idaman, yakni jalur Seleksi Mandiri . Saat ini, masih ada sejumlah PTN yang masih membuka pendaftaran Jalur Seleksi Mandiri.
Berapa biaya yang dikeluarkan?Â
Meskipun, jalur mandiri ini mahal dengan kuliah dua kali lipat bahkan bisa berkali-kali lipat dari jalur reguler. 12 juta hingga ratusan juta tergantung fakultas dan jurusan yang diambil.
Biasanya jalur mandiri IPA dan kedokteran yang paling mahal biaya kuliahnya. Bisa beratus juta. Misalnya ada alumni kemarin menjemput rapornya kuliah di kedokteran dengan uang pangkal 210 juta sekian.
Berapa besaran uang masuk dan iuran semesternya?
Besaran uang masuk hingga ratusan juta ini rasanya tak masalah asal ijab kabjlnya sesuai. Orang tua ikhlas demi mewujudkan subsidi silang. Take and give antara orang tua berduit dengan orang tua tak berduit.
Selama ini konon kabarnya, itulah yang diterapkan di Pedguruan Tinggi. Subsidi silang sehingga ada mahasiswa tak mampu dengan 0 UKT, 500 ribu UKT, 1 juta UKT. Justeru jalur mandiri dianggap pahlawan kampus.
Diluar nalar dan logika kami para orang tua jika kasus yang kini Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK) tengahi dan sedang mendalami kasus penerimaan suap dan gratifikasi senilai Rp 5 miliar yang melibatkan Rektor Universitas Lampung Prof. Dr. Karomani untuk menerima mahasiswa baru melalui jalur mandiri.
Prof. Dr. Karomani (KRM), sebagai tersangka kasus suap penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri Unila itu ditengarai menerima uang sekitar Rp5 miliar.
Adapun tiga tersangka lainnya dalam kasus tersebut, yaitu HY (Heryandi) selaku Wakil Rektor 1 Bidang Akademik Unila, MB (Muhammad Basri) selaku Ketua Senat Unila, dan AD (Andi Desfiandi) sebagai swasta. Sehingga kejadian ini untuk kesekian kalinya mencoreng wajah pendidikan Indonesia.
Memang kasus Unila ini bukan kasus suap universitas pertama yang KPK tangani. Sejak tahun 2006 hingga Agustus 2016, tercatat sekitar 37 kasus korupsi terjadi. Di lantaranya, Tafsir Nurchamid, sebagai tersangka pada tahun 2014.
Beliau menjabat Wakil Rektor UI saat itu. Beliau diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dalam proyek pengadaan TI Perpustakaan Pusat di UI. KPK menduga saat itu ada penggelembungan harga di dalam proyek bernilai Rp 21 miliar.
Masyarakat yang merasa diperas selama ini melalui KPK mengungkapkan bahwa seleksi penerimaan via jalur mandiri ini adalah prosedur yang memang rawan korupsi. Maka ke depan perlu pengawasan dan keterbukaan sistem rekrutmen dan laporan keterbukaan uang masuk mahasiswa jalur mandiri.
Demikian pula Indonesia Corruption Watch (ICW) mensinyalir, tindakan ini terjadi karena ada hak otonom Perguruan Tinggi dalam  pengelolaan keuangan yang diberikan ke kampus. Oknum-oknum itupu coba-coba awalnya memainkan penyelewengan.
Karena tak ada audit dan pengawasan maka korupsi dan penyalahgunaan jabatan ini pun terjadi. Nampaknya sudah saatnya reformasi keuangan di sektor ini untuk meminimalisir kejadian serupa. Tentu Undang-Undang tentang perubahan pola ini perlu pengkajian matang semua pihak.
Orang tua selama ini tak pernah berburuk sangka kepada pihak Perguruan Tinggi selama besaran permintaan uang pangkal tertulis dan tak senjang. Misalnya, si A membayar 200 juta. Si B juga 200 juta. Si C dan lainnya pun melihat dan membaca besaran sama.
Selama ini, memang disampaikan orang tua cendrung ada perbedaan. Baik perbedaan jumlah tagihan juga perbedaan pelayanan di kelas.
Mendikbud selaku pihak paling kompetitif perlu mengevaluasi prosedur seleksi pada universitas melalui jalur mandiri ini. Penghapusan jalur mandiri bukanlah pilihan bijak di tengah senjangnya tingkat perekonomian calon mahasiswa.
Masyarakat masih butuh subsidi silang yang strategis lewat jalur ini. Masyarakat ingin orang tua tak merasa dirugikan dengan kolusi terselubung atau masyarakat ingin diuntungkan dengan adanya jalur penerimaan mahasiswa lewat jalur mandiri ini. Masyarakat butuh jalur dan mampu bayar bisa bersedekah. Masyarakat kurang mampu terbantu. Take and give ini saling menguntungkan sesuai amanat UUD Â 1945.
Bagi orangtua dan calon mahasiswa ingin sekali memasukan anaknya ke perguruan tinggi favorit. Untuk ini mereka rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit lewat jalur mandiri.
Perbedaan dari segi biaya jalur Reguler dan Mandiri memang menyolok. Mulai dari uang pendaftaran, uang kuliah, dan uang pangkal serta pungutan lainnya sesuai kebijakan Perguruan Tinggi.
Jadi, solusi/perbaikan bagi masalah ini bukanlah pilihan dengan penghapusan seperti penulis sebut di atas. Namun, keterbukaan audit uang masuk dan uang keluarlah yang perlu dilakukan. Pada awalnya pencetusan jalur mandiri memang untuk take and give bukan untuk memperkaya seseorang yang berjabatan tinggi di Perguruan Tinggi.
Begitu sesak nafasnya kami guru dan pihak sekolah akibat tak boleh memungut biaya dari orang tua siswa meski atas nama ekstrakurikuler. Akibat Undang-Undang sekolah gratis dan dana bos yang tak memadai. Jika hal ini diterapkan pula di Perguruan Tinggi di tengah harga-harga yang melangit tentu kita khawatir akan kualitas Perguruan Tinggi.
Meskipun isu kualitas dan mutu berusaha dinafikan menteri pendidikan saat ini melalui sistem zonasi dan kurikulum merdekanya, namun pasar dan dunia kerja tetap menuntut kualitas dan mutu. Diam-diam pun sebagian masyarakat kita tetap mendukung sekolah unggul dan perguruan tinggi unggul atau favorit.
Lulusannya memang cepat mendapat kerja. Jadi janganlah karena satu oknum rektor Unila dan oknum lain kita gegabah menghapus jalur mandiri. Promosi pemerataan dan sekolah gratis butuh tangan-tangan dermawan untuk kualitas dan favorit perguruan tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H