Besaran uang masuk hingga ratusan juta ini rasanya tak masalah asal ijab kabjlnya sesuai. Orang tua ikhlas demi mewujudkan subsidi silang. Take and give antara orang tua berduit dengan orang tua tak berduit.
Selama ini konon kabarnya, itulah yang diterapkan di Pedguruan Tinggi. Subsidi silang sehingga ada mahasiswa tak mampu dengan 0 UKT, 500 ribu UKT, 1 juta UKT. Justeru jalur mandiri dianggap pahlawan kampus.
Diluar nalar dan logika kami para orang tua jika kasus yang kini Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK) tengahi dan sedang mendalami kasus penerimaan suap dan gratifikasi senilai Rp 5 miliar yang melibatkan Rektor Universitas Lampung Prof. Dr. Karomani untuk menerima mahasiswa baru melalui jalur mandiri.
Prof. Dr. Karomani (KRM), sebagai tersangka kasus suap penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri Unila itu ditengarai menerima uang sekitar Rp5 miliar.
Adapun tiga tersangka lainnya dalam kasus tersebut, yaitu HY (Heryandi) selaku Wakil Rektor 1 Bidang Akademik Unila, MB (Muhammad Basri) selaku Ketua Senat Unila, dan AD (Andi Desfiandi) sebagai swasta. Sehingga kejadian ini untuk kesekian kalinya mencoreng wajah pendidikan Indonesia.
Memang kasus Unila ini bukan kasus suap universitas pertama yang KPK tangani. Sejak tahun 2006 hingga Agustus 2016, tercatat sekitar 37 kasus korupsi terjadi. Di lantaranya, Tafsir Nurchamid, sebagai tersangka pada tahun 2014.
Beliau menjabat Wakil Rektor UI saat itu. Beliau diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dalam proyek pengadaan TI Perpustakaan Pusat di UI. KPK menduga saat itu ada penggelembungan harga di dalam proyek bernilai Rp 21 miliar.
Masyarakat yang merasa diperas selama ini melalui KPK mengungkapkan bahwa seleksi penerimaan via jalur mandiri ini adalah prosedur yang memang rawan korupsi. Maka ke depan perlu pengawasan dan keterbukaan sistem rekrutmen dan laporan keterbukaan uang masuk mahasiswa jalur mandiri.
Demikian pula Indonesia Corruption Watch (ICW) mensinyalir, tindakan ini terjadi karena ada hak otonom Perguruan Tinggi dalam  pengelolaan keuangan yang diberikan ke kampus. Oknum-oknum itupu coba-coba awalnya memainkan penyelewengan.
Karena tak ada audit dan pengawasan maka korupsi dan penyalahgunaan jabatan ini pun terjadi. Nampaknya sudah saatnya reformasi keuangan di sektor ini untuk meminimalisir kejadian serupa. Tentu Undang-Undang tentang perubahan pola ini perlu pengkajian matang semua pihak.
Orang tua selama ini tak pernah berburuk sangka kepada pihak Perguruan Tinggi selama besaran permintaan uang pangkal tertulis dan tak senjang. Misalnya, si A membayar 200 juta. Si B juga 200 juta. Si C dan lainnya pun melihat dan membaca besaran sama.