Pada suatu hari saya dan rekan-rekan pergi takziah ke rumah teman. Ibunya baru saja meninggal dunia dalam usia 62 tahun. Katanya ibunya mengalami dehidrasi karena sudah dua minggu tidak makan secara teratur. Beliau hanya tergeletak di atas kasur. Ketika dibawa ke rumah sakit ternyata ibunya memiliki Hb rendah 4.Â
Dokter pun menyarankan untuk transfusi darah. Maka dicarilah orang yang bisa membantu transfusi darah. Sudah 5 kantong darah habis si ibu pun segar kembali. Setelah dirawat selama 5 hari ibu beliau pun diperbolehkan pulang. Sesampai di rumah ibunya sangat senang.
Hanya saja sepulang dari rumah sakit, ibunya mengalami penurunan kemampuan berpikir. Bila ia melihat cucunya maka ibunya bertanya itu siapa. Begitu juga bercerita beliau selalu mengulang-ulang cerita kisah kami jelang kuliah dan jelang menikah. Jika mencari suami nanti syaratnya ini itu.
Dua minggu dalam penurunan kemampuan berpikir itu akhirnya ibunya meninggal dunia karena transfusi telah mempengaruhi cara kerja ginjal ibunya. Beliau sering kejang dan akhirnya menutup usia.
Tiba-tiba saja saya teringat pernyataan sepuh kita Ibu Megawati mengenang kembali anaknya Puan masa belum berjodoh dulu jangan dapat jodoh tukang bakso. Apakah ibu Megawati juga sudah mengalami kemunduran berpikirnya hingga menyampaikan pendahuluan seperti dilansir media itu dalam suasana seserius pertemuan PDIP.
Begitu ayom beliau kepada kadernya hingga pembukaan acara diawali pernyataan kekeluargaan seperti itu. Itu bukti ibu sangat mengayomi anak dan peduli akan masa depannya. Hanya saja ibu terlalu diplomatis menyebut salah satu karir anak bangsa yang sedikit bermaksud mengerdikal bahwa tukang bakso tanda kutip tak pantas.
Saya pun jadi penasaran apakah Puan masih gadis? Kalau tak salah Puan umurnya di atas saya. Penasaran. Saya pun buka wikepedia di google. Saya pun menemukan ini.
Puan menikah dengan pengusaha Hapsoro 'Happy' Sukmonohadi dan mereka memiliki dua anak.[35] Menurut laporan media, Puan dan Happy menikah satu bulan sebelum masa reformasi yang diawali dengan pengunduran diri Soeharto pada Mei 1998.[36]
Saat itu, ibunda Puan, Megawati, adalah tokoh oposisi terkemuka di negara itu dalam rezim yang tidak mentoleransi oposisi kritis.[37] Puan mengaku kesulitan menemukan tempat untuk pernikahan karena banyak pengelola gedung membatalkan pemesanannya.
Pernikahan itu akhirnya digelar di rumah Megawati di Kebagusan di Jakarta Selatan. Puan mengatakan tidak ada pejabat negara yang hadir.[38]