Wangi daun pisang terbakar merebak di depan hidung. Membuat perut semakin lapar pulang sekolah. Umak pun menghidangkan kepada kami hasil masakannya. Ada ikan bakar. Cabe halus giling tangan. Halus seperti lado giling masin.
Ada lagi sayur bening nasi-nasi (kata orang minang daun katu) dicampur daun cabe hijau(daun ya), pucuk lalat (daun singkong ya), diberi cabe rawit yang muda utuh, bawang perai, semua hasil sawah umak dan ayah. Enak sekali masakan itu apalagi makan di sawah dikipasi angin.
Tak perlu ke pasar kalau urusan dapur. Ke pasar pun umak dan ayah jarang karena tak ada uang. Semua yang dimakan hasil tanaman di sawah Sibodak Dokek itu.
Sawah itu milik orang tua ayah. Karena ayah sudah menikah, diberi sawah untuk digarap. Meskipun milik ibu ayah, sawah itu tetap bayar sewa kepada nenek karena nenek sudah tua dan kakek pun sudah meninggal di usia 53 tahun.
Itulah kesepakatan mereka. Selama nenek masih hidup tanah, baru sebatas hak pakai. Sebetulnya ayah tak kuat ke sawah karena dari kecil beliau anak manja. Anak laki-laki satu-satunya cukup lama. Hingga ketika berumur 15 tahun punya adik laki-laki. Manjanya tak bisa berubah lagi.
Mereka empat bersaudara. Dua perempuan dan dua laki-laki. Nenek termasuk orang kaya di kampung kami. Sawahnya banyak tumpuk dan kebun kopinya juga. Setiap anak diberi satu tumpuk sawah dan satu tumpuk kebun kopi.
Jika panen padi, Â opuk nenek dipenuhi padi. Opuk itu lebih besar ukurannya dari dapur rumah kami. Begitu juga opuk kopi nenek dari tahun ke tahun penuh dan opuk kopi itu lebih besar lagi dari opuk padi.
Nasib bertani nenek yang bagus tidak menurun kepada anak-anaknya. Maka ayah coba-coba menghonor jadi guru. Tapi setiap ada pengangkatan PNS beliau selalu gagal tes. Bersawah pun tak kuat. Honor gaji tak memadai. Tapi umak tetap sabar ke sawah.
Pompa racun pun dipikul beliau memberi racun pembasmi hama. Bila malam hari umak akan pergi ke tukang urut. Upah tukang urut 1 tekong beras.
Besok umak segar lagi dan sudah kuat ke sawah lagi. Begitu terus hingga ayah pun dari honor coba banting stir menjual buah. Kami senang ayah berjual buah dan umak tetap ke sawah. Biasanya snack kami jeruk nipis, putik sibodak/nangka, atau mumbang/putik kelapa yang jatuh.Â
Tapi sekarang bisa memakan langsat, manggis, dan mangga. Belum serasi,ternyata jualan ayah tak terlalu laku. Tetaplah andalan kami ke dapur dari hasil tani umak.Â