Agak bingung ketika mulai menulis ini, karena topik ini rasanya tidak penting-penting amat untuk dibahas. Saya mendengar istilah book shaming untuk pertama kali melalui aplikasi Instagram. Admin akun Ig tersebut mempertanyakan perihal adanya isu 'rasis' soal pengelompokan pembaca berdasarkan buku bacaannya.
Saya buat contoh mudahnya saja ini ya: fans Tere Liye berarti noob alias cupu alias tidak keren dan silakan duduk di pojokan. Sedangkan fans Pramoedya adalah pro alias kece banget alias silakan duduk di samping dosen. Seperti itulah kira-kira pengelompokkan 'rasis' ala kaum literasi yang beredar di media sosial.
Komentar dari postingan admin itu jelas beragam, walaupun tetap emak-emak yang mendominasi komentarnya karena emak-emak memang selalu ada di segala jenis isu.
Ada yang mengakui dosa karena pernah menghina Tere Liye, ada juga yang akhirnya berani mengaku sebagai fans komik Miiko, dan yang paling dominan tentu saja kalimat penyesalan pernah melakukan penghinaan sesama manusia cuman gegara buku.Â
Saya dulu semasa baru akil baligh pernah mendapat pinjaman bukunya Djenar Maesa Ayu. Efek buku itu cukup luar biasa pada diri saya yang waktu itu baru merasakan hormon puber.
Saya yang kala itu memang masih jauh dari kata dewasa menyimpulkan bahwa hubungan rumah tangga adalah bentuk eksploitasi seksual terhadap wanita yang disembunyikan dalam label halal.
Nah loh, tidak setiap buku ternyata bisa dimaknai dengan baik oleh semua segmentasi umur.
Efek jangka panjangnya ialah saya akhirnya jomblo berkepanjangan, bahkan sampai saya selesai kuliah.
Di tengah kebimbangan mau memaksa lelaki mana yang mau diajak jadi pendamping wisuda, saya akhirnya menyerah dan menelepon orang tua. Wisuda yang terasa seperti bagi rapot.
Walaupun penyebab kejombloan saya adalah bukunya Djenar juga masih berstatus asumsi (hihi, ini cuman bercanda ya), tapi kesalahpahaman atas unsur intrinsik sastra karena pembaca yang tak sesuai umur pastilah sering terjadi.
Karena itu, Tere Liye dan Wattpad hadir untuk mengisi celah itu. #eeeeaaa