Pernahkah teman-teman menonton tayangan Upin dan Ipin yang menceritakan tentang kedatangan sahabat pena Kak Ros dari Jepang? Â Saya mendadak ingat bahwa saya pun punya banyak sahabat pena sewaktu SD. Ada momen-momen kala menunggu Pak Pos itu lebih gereget ketimbang menunggu balasan chat dari si dia. #eeeaaÂ
Romansa Soal WaktuÂ
Jika dibandingkan dengan alat komunikasi jaman sekarang seperti WA, Line, dan email, jelas surat akan kalah dalam hal durasi yang tak efisien. Waktu tunggu yang berkisar seminggu (sekitar tahun 2000, jaman saya SD), membuat penantian menjadi momen paling berdebar. Memangnya kalau menggunakan fasilitas komunikasi modern, perasaan berdebar itu menjadi hilang?Â
Tetap ada sih, tanya saja dengan Rangga saat chat Line nya cuman di-read Cinta dan tak ada jawaban, itu sangat pedih my love. Tapi, momen berdebar itu jelas akan bertahan lebih lama saat mengirim surat. Generasi orang tua kita yang merasakan lamanya waktu tunggu surat-menyurat mungkin akan paham betapa berartinya sebuah penantian panjang.
Romansa Dua Zaman
Saya pernah memliki sahabat pena yang lumayan setia. Saat masih SD saya menemuan alamatnya di majalah Bobo dan kami saling berkirim surat bahkan sampai saya SMA.
Meski ia berumur lebih muda, tapi ia bertindak sebagai kakak dan lebih banyak mengayomi saya yang kala itu masih bersifat sangat bocah. Semoga teman saya itu sedang dalam kondisi sehat dan bahagia.
Romansa Lewat Hobi Filateli
Ini nih hobi yang identik banget dengan surat-menyurat: mengumpulkan perangko. Jangan anggap remeh hobi seperti ini loh. Kolektor filateli di Indonesia tetap berjaya meski surat tak lagi jadi budaya. Buktinya, tahun 2017 ada event World Stamp Exhibition yang diadakan di Bandung, dan 48 filatelis dari Indonesia menyabet medali penghargaan. Keren kan?Â
Saya pun sempat menekuni hobi ini saat masih memiliki sahabat pena. Tapi ya, hobi ala ala macam ini hanya bertahan sebentar karena memang tak didasari dengan niat yang kuat. Jadilah koleksi perangko saya hanya berujung dengan membusuk di sudut lemari.Â
Romansa Aksara
Mungkin inilah salah satu keuntungan yang pasti akan dirasakan jika sering surat menyurat: luwes dalam menulis. Saking luwesnya, saya pernah punya sahabat pena yang gaya tulisan surat-menyuratnya sangat sistematis, mirip jurnal ilmiah. Padahal konten suratnya adalah curhatan melow.
Di dalam konten curhatnya, ia susun dahulu pendahuluan peristiwa, kemudian reaksi yang ia lakukan terhadap peristiwa tersebut, dan terakhir ia tuliskan hikmah dan kesimpulan yang bisa diambil. Yah, dia memang spesies langka yang perlu masuk konservasi.