Kesenian batik, siapa yang tak mengenalnya? Apalagi saya, tinggal di kota Jogja bisa menjadi alasan mengapa saya harus mengenal budayanya, termasuk membatik.Â
Agak malu juga sih, sampai hari ini saya belum pernah membatik dengan serius hingga menghasilkan selembar kain yang bernilai. Padahal ya, perempuan Jawa zaman dulu kan sangat terampil membatik tulis, bahkan jadi mata pencaharian.Â
Tapi, saya salut loh dengan anak-anak di Kecamatan Gedangsari, Gunung Kidul, kelas 3 SD sudah piawai megang canting dan menghasilkan karya bernilai seni tinggi. Eh, beneran?Â
Siang yang cerah diiringi angin sepoi-sepoi, masuklah saya ke sebuah area desa yang masih khas dengan nuansa alamnya yang sejuk. Sebagian ada rumah yang sudah direnovasi, namun ada pula yang mempertahankan bangunan lawasnya. Beberapa warga tampak bersantai ria di lincak (kursi bambu memanjang yang biasa dipasang di depan rumah) sambil tertawa terbahak, tanda bahwa tema obrolan memang menarik.
Masyarakat di desa ini rata-rata bermata pencaharian sebagai pengrajin, pedagang maupun buruh pabrik. "Loh, bukan jadi petani to pak...?", tanya saya dengan mimik wajah heran. Nah, menurutnya yang sibuk sebagai petani ada juga, namun hanya sebagai sambilan karena pekerjaan ini sangat dipengaruhi cuaca. Jika musim kemarau berkepanjangan, tentu saja sawah susah diolah.
"Ada gak sih Pak kerajinan yang khas banget dan pernah membawa perubahan untuk masyarakat di sini?", tanya saya melanjutkan. Sugiyanto menjawab ada, ini sekaligus mata pencaharian yang sudah berkembang lama dan sempat mendapatkan penghargaan. Ya, kerajinan batik tulis.
Tak sekadar mencari keuntungan, kerajinan batik juga dibudidayakan untuk meningkatkan kualitas SDM di desa tersebut. Maksudnya? Ya, anak usia dini pun sudah dilatih untuk membatik tulis. "Anak kelas 3 SD sudah diajarin megang canting, mbak...", ungkapnya semangat.
Jangan salah paham ya. Kondisi ini bukan untuk mempekerjakan anak di bawah umur loh, namun membekali mereka agar memiliki skill membatik sejak kecil sehingga dapat mereka kembangkan di masa yang akan datang. Â
Pengembangan batik di Kecamatan Gedangsari dimulai semenjak ada bantuan, baik berupa dana maupun pelatihan pasca gempa Jogja tahun 2006 silam. Berbagai bantuan dari dalam maupun luar negeri berdatangan hingga mereka mendapatkan kesempatan untuk berkembang.
Tak hanya untuk orang tua, masa anak-anak pun diwarnai dengan pengembangan kerajinan batik dengan memasukkan pelatihan membatik di dalam kurikulum di sekolah-sekolah yang ada di kecamatan Gedangsari. Anak di bangku SD hingga SMP dibekali dengan prinsip dasar membatik serta pengembangannya, tak terkecuali SDN Tegalrejo. Jika ingin memperkuat skill-nya, mereka diarahkan untuk melanjutkan sekolah di SMK 2 Gedangsari, jurusan Tata Busana.
Oleh karenanya, dimasukanlah kurikulum membatik mulai kelas 3 SD lalu dibangunlah SMK 2 Tata Busana dengan tujuan untuk memaksimal potensi batik lokal. Harapannya, masyarakat kelak tak hanya menjual batik dalam wujud kain lembaran, namun bisa memasarkannya dalam rupa pakaian jadi sehingga meningkatkan nilai dari karya seni tersebut.
Batik Kalimosodho, Saksi Perjuangan Sang Buruh hingga menjadi Pengusaha Sukses
Pengembangan batik tulis di Kecamatan Gedangsari ini memang berprogres dari waktu ke waktu. Tujuan dari berbagai CSR yang masuk sebenarnya bagus, yaitu memanfaatkan potensi SDM masyarakatnya untuk mengubah mental 'buruh' menjadi mental 'pengusaha'. Diceritakan bahwa masyarakat desa ini kurang memiliki greget untuk membangun bisnis sendiri. Â
Tak dapat dipungkiri, masyarakat dengan kategori menengah ke bawah memang butuh uang. Jika menjadi buruh, gaji bisa diterima per hari atau per minggu, alias langsung dapat uang. Namun jika menjadi pengusaha, tentu di awal harus menginvestasikan segenap tenaga, waktu dan biaya untuk sebuah usaha dan hasilnya pun tak langsung dapat diterima dengan cepat. Namun, secara perekonomian, tentu seorang pengusaha memiliki masa depan yang lebih menjanjikan.
Sebuah lembaga yang dididirikan Jepang untuk membantu negara berkembang masuk ke area Tegalrejo pasca gempa Jogja 2006, rupanya telah memberi perubahan pada dirinya. Ia yang sebelumnya bekerja sebagai buruh batik, usai menerima bantuan alat-alat produksi membatik, akhirnya memberanikan diri untuk membuat usaha batik sendiri.
Surono mempercantik produk batiknya dengan polesan warna alam, warna yang kebanyakan berwarna kalem dengan bahan daun indigo, buah jelawe serta kulit kayu dari tingi, tegeran, jambal dan secang. Selain membatik, laki-laki yang juga piawai menjadi dalang hajatan ini juga memproduksi topeng lukis serta gamelan yang sering dipesan oleh pihak-pihak tertentu.
Prestasi Perkembangan Batik Masyarakat Kecamatan GedangsariÂ
Nah, saatnya berbagi kisah tentang hasil perjuangan masyarakat Gedangsari yang sejak dulu berusaha melestarikan budaya membatik secara turun temurun hingga berbuah manis. Apa saja itu?
1. Memiliki Motif Khas Batik Gedangsari: Pisang & SrikayaÂ
Ada yang pernah mendengar tentang Batik Walang? Nah, batik ini sempat dipatenkan sebagai batik khas Gunung Kidul yang digunakan oleh para petugas pemerintahan tingkat kabupaten serta anak-anak yang bersekolah di area Gunung Kidul.
Dalam hal ini, Kalimosodho dulunya merupakan produsen terbesar yang mengerjakan proyek ini dengan total produksi puluhan ribu meter kain batik. Beruntungnya saya karena sempat mendapatkan oleh-oleh batik bermotif walang (belalang) ini dari kegiatan bersama blogger di Gunung Kidul.
Nah, ceritanya, Batik Gedang sendiri mengambil sebagian nama dari 'gedangsari' yang berarti pisang. Sedangkan batik lainnya dinamakan Batik Srikaya lantaran beberapa area di Gedangsari sendiri menghasilkan buah srikaya secara rutin. Wih, menarik juga ya sejarah penamaannya. Doakan yuk biar makin populer :D
2. Memecahkan 2 Rekor Muri SekaligusÂ
Sebagai ajang memamerkan kekayaan batik di Desa Tegalrejo, Kecamatan Gedangsari ini, akhir Agustus 2017 lalu diadakan peragaan busana oleh para mdoel cantik dengan motif buah-buahan. Ya, motif pisang & srikaya membalut penampilan para model dengan sangat anggun di Wanajati. Pagelaran Busana di hutan jati ini membuat desa ini sabet Rekor Muri.
Tak hanya itu, Rekor Muri ke-2 juga diterima karena desa ini sukses mengadakan even membatik pertama lintas generasi. Jumlah total sekitar 123 orang pembatik, mulai dari anak-anak hingga lanjut usia turut memeriahkan acara ini. Wow, keren yaaa... Terbukti banget kan anak-anak di desa ini sudah lihai membatik tulis.
Even Jogja International Batik Biennalle (JIBB) sebagai ajang untuk mempertahankan predikat "Kota Batik Dunia" oleh World Craft Council (WCC) telah digelar pada 2-6 Oktober 2018 lalu. Selain untuk memamerkan batik kepada dunia, even ini juga bertujuan untuk mengangkat potensi para pengrajin batik daerah agar lebih berani berkiprah di kancah dunia.
Nah, apa hubungannya dengan Gedangsari? Ternyata, desa ini menjadi destinasi Heritage Tour (hari ke-4) untuk memberi pemahaman kepada peserta bahwa Jogja juga memiliki sentra batik tulis warna alam dengan motif Sekarjagad dan Wayang.
Tak hanya itu, SMK 2 Tegalrejo jurusan Tata Busana juga tak luput dari peninjauan mereka untuk menguak lebih jauh tentang karya batik bernilai seni tinggi ini. Nah, gimana, sudah percaya kalau desa ini berprestasi bukan?
***
Dengan bermodal yakin dan semangat untuk maju, tentu setiap desa bisa berkembang, terutama demi meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Anak kelas 3 SD sudah bisa pegang canting? Sekarang sih saya percaya :)
(foto dokumentasi anak-anak yang sedang membatik akan diposting menyusul dikarenakan sekolah libur pada saat saya berkunjung kesana).
Riana Dewie
Sumber referensi:
Observasi & wawancara langsung dengan Bapak Sugiyanto (Sekretaris Desa Tegalrejo), Bapak Surono (Owner Batik Kalimosodho) dan Bapak Tri Wahyudi (Guru Olahraga SDN Tegalrejo)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H