Suatu hari, ia bersama para sahabat difabel mengikuti sebuah acara yang diadakan sekolah. Seorang tenaga medis sempat berbicara kepada teman disebelahnya, “Kaki kamu ini bisa disembuhkan dengan operasi. Tapi kalau bapakmu cuma PNS, ya gakkan bisa....”. Mendengar kata-kata yang cenderung ‘merendahkan’ ini, sekalipun bukan ditujukan padanya, hatinya seakan tesayat sembilu berkali-kali. Rupanya ini menjadi pecutan baginya untuk terus berjuang hingga hari ini.
Seorang wanita tangguh tampak turun dari ojek online, menyapa saya dengan penuh kehangatan. Sekalipun langkahnya tak sesempurna yang lain, ia mencoba menunjukkan semangatnya dan sungguh ini membuat saya sangat kagum. Masuklah saya ke rumahnya, daerah Sleman, yang di-setting apik sebagai ruang display tempe raksasa (baca: tempe Banyumasan). Berjajar dan menyebarkan aroma khas daunnya, memaksa saya ingin segera mencicip.
Susi Harini namanya. Wanita yang akrab disapa dengan nama Susi ini rupanya punya semangat untuk mengembangkan diri dari waktu ke waktu. Kesukaannya untuk mengikuti berbagai seminar, baik yang gratis maupun yang berbayar membuatnya kaya ilmu. Misinya luar biasa, ‘Saya harus sukses. Jika belum, saya akan coba lagi’.
Berapi-api ia bercerita. Tanpa dipaksa, alam bawah sadar sayapun terlempar jauh ke masa lalunya. ‘Kripik Bayam Paru’, produk pertamanya yang ia kenalkan ke pasaran mulai tahun 2009 punya peruntungan hingga hari ini. Digemari masyarakat, saya pun bertanya, apa sih mbak rahasianya?
Baginya, orang-orang yang tertarik dengan kripiknya ini bermanfaat sebagai food tester, yang dapat memberikan penilaian awal, layak tidaknya kripik ini dijual. Akhirnya, dengan penuh perjuangan, ia memutar otak untuk menjual Kripik Bayam Paru ini di pasaran. Banyak yang menggemarinya, termasuk saya. Nah, ini adalah bagian manis dari perjalanannya. So, adakah yang menyedihkan? Ikuti cerita ini.
Jatuh Bangun Berbisnis, Susi Tak Kenal Menyerah
Ada pengalaman pahit yang pernah dirasakannya yang membuatnya bertahan menekuni usaha hingga hari ini. Menurutnya, menyandang gelar sebagai difabel, dimana ini tampak dari perbedaan ukuran kaki kiri dan kanannya, memang tak mudah. “Itu mah biasa mbak”, tegasnya saat bercerita tentang bully-an orang-orang di sekitarnya.
Dengan semangat mereka mengolahnya hingga menjadi kudapan siap makan. Ketika masih hangat-hangatnya, ia mencoba menawarkan bakpia itu kepada sang trainer. Namun ditolak dengan alasan sudah terbiasa makan bakpia.
Susi pun memahami bahwa sang trainer tak ‘tega’ icip makanan dari banyak tangan yang masuk ke loyang adonan. Lalu, dengan lembut ia berbicara, “Jika Bapak saja sebagai mentor tak mau icip buatan kami, bagaimana konsumen di luar sana percaya dengan produk kami dan mau membayarnya...”. Sang trainer terdiam. Tapi, ini bukan alasan untuk membuatnya menyerah.