Mohon tunggu...
Riana Dewie
Riana Dewie Mohon Tunggu... Freelancer - Content Creator

Simple, Faithful dan Candid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berbagai ‘Modus’ Pengemis yang Patut Diwaspadai

26 Februari 2015   18:24 Diperbarui: 17 Februari 2016   00:13 913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 [caption id="attachment_399574" align="aligncenter" width="500" caption="Pengemis Di Jalanan (sumber gambar : keepo.me)"][/caption]

Setiap orang pasti menginginkan kehidupan yang layak, sejahtera dan bahagia. Oleh karena itu, mereka harus berusaha untuk dapat mempertahankan hidup dengan mengais rezeki atau bekerjakeras setiap harinya.

Tak dapat dipungkiri, saat ini Indonesia dipenuhi oleh masyarakat yang mayoritas hidup di tingkat menengah ke bawah sehingga tak heran jika kita kita menyaksikan banyaknya masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan dan serba kekurangan.

Kemiskinan di Indonesia terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan mereka, kurangnya lapangan pekerjaan sehingga jadi pengangguran, kemalasan untuk melakukan usaha atau memperbaiki perekonomian keluarga serta rendahnya ‘mental kaya’ bagi mereka yang sudah terlanjur miskin.

Pada dasarnya, setiap orang bisa kaya asal dia memiliki mental kaya dan mau berusaha untuk memperbaiki hidup. Cara memperbaiki hidup yang ditempuh masyarakat saat ini memang beragam, ada yang mau cari kerja kesana kesini, ada yang berani memulai usaha, ada yang mau belajar dari nol dan ada pula yang menyerahkan hidupnya sepenuhnya dengan meminta belas kasihan orang lain dengan menjadi pengemis.

Ya, hal yang akan saya jadikan topik utama disini adalah pengemis. Sebuah profesi yang sangat memprihatinkan, dimana kita melihat ketidakberdayaan mereka dalam mencari nafkah hingga akhirnya dengan terpaksa mereka harus menjadi pengemis. Siapa diantara Anda yang bercita-cita jadi pengemis?

Tentunya kebanyakan orang lebih memilih profesi yang lebih baik dan lebih ‘tinggi’ di mata masyarakat daripada harus menjadi pengemis. Bagi yang sudah berkecukupan, Anda pasti lebih memilih memberi uang kepada pengemis daripada harus mengemis karena kondisi mereja selalu identik dengan kondisi manusia yang tidak punya rumah, untuk makan saja susah, tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya, tidak punya keluarga, tubuh cacat atau berbagai kondisi keterpurukan lain dalam hidupnya.

Kini, kita harus waspada terhadap pengemis karena profesi ini ternyata banyak disalahgunakan oleh beberapa oknum tak bertanggung jawab sebagai jalan cepat untuk ‘mendapat uang banyak dalam waktu singkat’. Ya, mereka memanfaatkan kebaikan orang lain untuk mencari rezeki dengan berpura-pura jadi pengemis, walaupun pada kenyataannya mereka ternyata memiliki kehidupan yang layak dan bisa mencari uang dengan keterampilan ‘lain’ yang mereka miliki.

Di bawah ini ada beberapa contoh kondisi yang saya bisa rangkum tentang kehidupan ‘pengemis yang dijadikan sebagai profesi utama’ yang ada di sekitar tempat tinggal saya sendiri :

 

1. Pengemis Cacat yang Hidup Layak

Di sekitar tempat tinggal saya di Yogyakarta, terutama di daerah Jokteng, ada seorang pengemis laki-laki yang (maaf), tubuhnya cacat, terutama di bagian kaki sehingga untuk berjalan pun terasa sulit. Dia menjadi pengemis dengan berhenti tepat di pinggiran Traffic Light dan berjalan meminta sedekah ketika lampu masih menyala merah.

Bertahun-tahun saya melewati jalan itu sejak bekerja dan saya selalu melihat pengemis yang kira-kira berumur 45 tahun ini menunggu belas kasihan pengguna jalan untuk memberi sedekah kepadanya. Saya sempat miris setelah mendengar pernyataan seorang teman yang rumahnya ada di daerah sana.

Pengemis itu kini telah hidup layak, memiliki rumah yang lumayan layak dihuni, mampu menyekolahkan anaknya, serta memiliki berbagai perabot rumah yang mewah, seperti TV LED 32 inc, motor dan berbagai barang berharga lainnya. Wow…. Saya langsung drop mendengarnya. Mungkin dulu dia benar-benar terpuruk dengan kondisi cacatnya. Namun ketika Tuhan sudah memberikan rezeki berlebih kepadanya, dia justru meneruskan ‘kenikmatannya’ tersebut dengan menipu orang lain karena berpura-pura masih miskin.

2. Pengemis yang pura-pura Cacat

Pengalaman ini juga sering saya saksikan sendiri di beberapa titik jalan di Yogyakarta. Di lampu merah daerah Sagan, ada ibu-ibu pengemis yang dengan kondisi duduk di aspal, meminta belas kasihan kepada pengguna jalan yang lewat disana.

Dengan kondisi yang hampir sama dengan posisi “ngesot” dan terlihat seperti cacat tangan dan kakinya, banyak orang merasa iba lantaran mengira bahwa ibu ini memang cacat dan seorang tuna wisma. Apalagi saat dia menggendong anaknya yang masih balita, sungguh terlihat memprihatinkan dan mengundang belas kasih banyak orang untuk memberikan sedekah sekedarnya.

Namun dibalik itu semua, terdengar informasi dari para Bapak pengayuh becak yang sering mangkal disana dan juga dari rekan-rekan saya yang lain, bahwa ibu ini pura-pura cacat dan sebenarnya dia terlahir dengan memiliki anggota tubuh yang utuh yang seharusnya dia syukuri. Ketika si ibu ini tidak mendapat uang sama sekali, saya pernah melihatnya bahwa dia menggerutu dan mengeluarkan ekspresi wajah cemberut/kecewa.

Kasus lain, saat ini mungkin banyak Anda jumpai juga di sekitar tempat tinggal Anda, bahwa banyak pengemis yang pura-pura cacat dengan menyembunyikan tangannya di tubuh bagian belakang. Jadi, ketika memakai baju/kaos seakan terlihat tidak memiliki sepasang tangan karena cacat atau kecelakaan.

Nah, ini juga sangat saya sayangkan karena mereka mencoba mencari rezeki dengan ketidakjujuran. Mungkin saja dua pengemis diatas melakukan ‘penipuan’ untuk meningkatkan rasa iba orang lain sehingga mereka berpikir bisa mendapatkan uang yang lebih berlimpah.

 

3. Eksploitasi Anak Kandung yang “Diseret” ke Jalanan

Kasus ini juga sangat memprihatinkan dan membuat saya pribadi berpikir buruk tentang orang tua mereka. Bagaimana tidak, mereka menyeret anak kandung mereka di jalanan untuk mengemis tanpa memperhatikan hak anak-anak yang seharusnya mereka lindungi.

Sering saya lihat anak- anak di bawah umur bahkan masih balita yang sudah diajari orang tuanya bermental sebagai pengemis di pinggir jalan, entah apapun bentuknya, misal dengan langsung mengemis, mengelap kendaraan, menyebar amplop agar diisi uang oleh orang yang iba dan modus lainnya.

Tentunya ini adalah tindakan kurang bijak bagi para orang tua, apapun alasannya. Sekalipun mereka miskin, sudah seharusnya mereka yang bertanggung jawab atas kehidupan anak-anaknya, bukannya memaksa anak-anaknya ke jalanan untuk mencari nafkah sendiri. Bukannya anak adalah titipan Tuhan yang harus dijaga dan dilindungi oleh orang tuanya?
[caption id="attachment_399575" align="aligncenter" width="455" caption="Anak Pengemis selalu Terlihat Tidur (sumber gambar : www.vemale.com)"]

142492435384138852
142492435384138852
[/caption]

4. Eksploitasi Anak: Mengapa Anak Pengemis selalu tertidur?

Ini juga kasus eksploitasi anak yang mencengangkan dan masih ‘panas’ dimana akhir-akhir ini menimbulkan banyak kontroversi di berbagai media dan masyarakat. Pertanyaan utamanya, mengapa anak pengemis yang digendong selalu dalam keadaan tertidur?

Kesimpulan yang saya rangkum dari web pekannews.com adalah bahwa anak-anak tersebut sebelum diterjunkan di jalanan dicekokin dahulu dengan heroin atau vodka yang membuat mereka tak sadarkan diri sepanjang hari.

Terbayang bagaimana rusaknya kesehatan & jiwa anak ini jika terus-terusan diberi obat keras seperti ini? Tentu tak jarang diantara mereka yang tewas di tangan pengemis. Lebih parahnya, pengemis-pengemis tersebut bukanlah orang tua kandung si anak karena anak tersebut adalah anak ‘sewaan’ dari keluarga terpuruk, seperti pecandu alkohol ataupun anak hasil penculikan. Dan kasus ini ternyata sudah lama terjadi di Indonesia.

5. Pengemis yang tergabung dalam ‘Sindikat

Kondisi ini juga patut kita waspadai, dimana pengemis-pengemis yang kita temui di jalanan bisa jadi bukan bekerja secara individual, namun dalam jaringan atau sindikat yang dikepalai oleh seorang oknum tertentu. Ada sebuah cerita yang saya dengar dari pengalmaan seorang teman saat mencari makan di malam hari, tepatnya di Yogyakarta.

Suatu malam saat di warung makan, dia didatangi oleh seorang ibu pengemis berbaju lusuh dengan kondisi memprihatinkan yang meminta belas kasihan. Teman saya akhirnya memberi uang kepada pengemis tersebut. Setelah dia keluar dari warung makan, dia berjalan ke daerah lain untuk bertemu dengan teman-temannya.

Tenyata, setelah beberapa waktu disana, dia melihat pengemis yang sama juga berada di daerah tersebut untuk meminta-minta. Si pengemis tidak menyadari jika teman saya tadi juga sudah memberinya uang di tempat sebelumnya, tempat yang menurut teman saya memiliki jarak yang lumayan jauh jika harus ditempuh hanya dengan berjalan kaki.

Curiga dengan aksi si pengemis, teman saya membuntuti ibu itu dari belakang dan terjawab sudah kecurigaannya karena sekitar pukul 2 malam, si pengemis dijemput oleh seorang laki-laki muda yang menunggangi motor gede dengan harga yang tidak murah. Teman saya menyimpulkan bahwa mereka adalah sindikat ibu dan anak yang memang menjalankan profesi ini sudah lama.

Kasus lain, sindikat yang lebih besar juga tampak di beberapa sudut di kota Yogyakarta. Beberapa sumber mengatakan bahwa di jam-jam tertentu, sebuah sindikat pengemis beroperasi dimana mereka terlebih dahulu diberi ‘briefing’ sebelum terjun ke lapangan.

Terlihat banyak pengemis berbaju lusuh yang turun dari sebuah truk besar dalam sindikat tersebut, dan disebar ke beberapa titik untuk mengemis. Mereka semacam dipekerjakan untuk menghasilkan uang dari mengemis dan pada akhirnya ada bagi hasil untuk si ‘pemimpin’  dan ‘pekerja’ (pengemis). Menurut kabar yang beredar, sindikat ini bukan hanya bergerak dalam profesi pengemis, namun pengamen pun ternyata banyak yang tergabung dalam sindikat yang memiliki pola kerja hampir sama.
[caption id="attachment_399576" align="aligncenter" width="380" caption="Iklan Layanan Masyarakat : Peduli Tidak Sama dengan Memberi Uang (sumber gambar : www.thedreamhouse.org)"]

1424924459518281713
1424924459518281713
[/caption]

PEDULI TIDAK SAMA DENGAN MEMBERI UANG

Inilah iklan layanan masyarakat yang sudah tersebar di beberapa titik kota Jogja : “Peduli Tidak Sama dengan Memberi Uang”. Pemerintah daerah Yogyakarta sudah mengiklankan ini sejak lama sebagai bentuk kampanye agar kita tidak memberi uang kepada para pengemis yang meminta-minta di jalanan untuk membasmi ‘mental pengemis’ di kota budaya ini.

Kampanye ini bertujuan untuk mengatasi masalah sosial yang sangat pelik yang dialami oleh Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana kota Yogyakarta sebagai kota wisata & budaya sudah tercoreng dengan banyaknya pengemis yang dapat ditemukan di mana saja.

Dengan reklame tersebut, dinas sosial mengajak seluruh masyarakat agar dapat memberikan sebagian uangnya kepada lembaga-lembaga pendidikan atau sosial dan keagamaan guna membantu pengemis jalanan. Cara ini dianggap lebih efektif karena dapat mengurangi pengemis jalanan, dimana situasinya seperti yang telah saya sebutkan di atas, penuh dengan modus yang melanggar hak kemanusiaan atau kurang sesuai dengan etika dalam masyarakat.

Tentu ini sangat baik jika seluruh kota di Indonesia juga dikampanyekan hal yang sama untuk mencetak bangsa Indonesia yang lebih maju dengan SDM yang berkualitas. Kembalikan citra Indonesia sebagai negara yang memiliki masyarakat cerdas, dengan kemampuan yang bisa bersaing dalam perekonomian global, bukan masyarakat yang hidupnya bermalas-malasan dan hanya mengandalkan belas kasih orang sebagai “pengemis”.

Semua kembali ke latar belakang setiap orang, orang terpaksa menjadi pengemis ketika memang dia sudah tidak bisa melakukan pekerjaan lain, cacat, tidak punya keluarga dan berbagai kondisi buruk lainnya sehingga sangat dimaklumi jika terpaksa harus mengemis.

Namun jika kita masih bisa berpikir positif, mampu mengembangkan ide, dianugerahi anggota tubuh yang lengkap dan merasa bisa melakukan pekerjaan yang lebih baik, sebaiknya hindari untuk berpura-pura ‘terpuruk’ dengan menjadi pengemis. Tuhan selalu ada untuk memberi jalan terbaik untuk umatnya dan percaya bahwa rezeki kita tidak akan tertukar dengan orang lain. Semua sudah dipersiapkan Tuhan untuk kehidupan kita, sesuai dengan usaha & doa kita.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mematikan rezeki orang lain yang kini sedang dalam kondisi “mengemis” namun hanya sebagai kampanye kewaspadaaan agar kita bisa semakin memahami betapa mengerikan modus para oknum ‘pengemis’ dalam menipu masyarakat.

Saya percaya, para pembaca pasti cerdas untuk mengambil keputusan saat bertemu pengemis, mana yang betul-betul membutuhkan uluran tangan kita ataupun mana yang hanya berpura-pura mengemis. Dan untuk pemerintah, semoga bisa semakin meningkatkan kesejahteraan hidup bangsa Indonesia agar semakin mendapatkan kehidupan yang layak, anak-anak bisa sekolah, lahan pekerjaan makin banyak bahkan dapat membasmi ‘mental mengemis’ yang kini semakin menjamur di seluruh kota di Indonesia.

Semoga bermanfaat, Riana Dewie

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun