Ada beberapa hal tak terduga yang terjadi di dunia ini; pertemuan, perasaan, dan perpisahan adalah beberapa di antaranya.
"Kenapa Tuhan mempertemukan kita dengan cara seperti ini?"
"Karena Tuhan tahu apa yang terbaik buat kita."
"Kalau alasan kita dipertemukan karena Tuhan tahu yang terbaik buat kita, kenapa Tuhan memisahkan aku dari dia dengan cara seperti ini?"
"Percaya pada takdir. Semua akan indah, tapi nanti, kalau sudah waktunya."
"Takdir sebercanda itukah?"
*
"Dev, temenin aku nonton, ya? Aku punya dua tiket, sayang kalau nggak kepakai."
Seorang gadis berambut pirang sepinggang, Anna, berusaha menghentikan seorang pria yang terus berjalan dengan langkah cepat, seolah tidak pernah melihat ke belakang.
"DEVANO, BERHENTI!!!" Suara Anna melengking, menembus kesunyian lorong. Semua orang menoleh, tetapi Devan, lelaki dengan rambut hitamnya, hanya mengeraskan wajahnya.
"Aku sibuk! Nggak ada waktu buat orang kayak kamu!" Suara dingin itu menusuk hati Anna. Devan melanjutkan langkahnya tanpa menoleh lagi.
Anna hanya bisa menatap tiket-tiket yang kini basah karena air mata dan hujan. Tiket-tiket itu berakhir di tempat sampah, lusuh dan terabaikan. Anna telah mencoba berulang kali untuk mendapatkan perhatian Devan, tetapi selalu berakhir dengan rasa sakit.
Namun, dua tahun kemudian, Anna adalah satu-satunya yang berarti bagi Devan.
*
"Bun..." Anna bergelayut manja pada ibunya, Rara, yang hangat disapa Bunda.
"Cih, manja banget," celetuk Yohan, kakaknya. "Orang sirik kuburannya hareudang."
"Mas, pakein AC lah," jawab Anna.
"Nggak ada yang mau bayarin tagihan listrik kuburan mamas," balas Yohan.
"Mamas deposit ke PLN sebelum meninggal," kata Anna dengan nada menggoda.
"Ya udah, deposit sekarang sono," balas Yohan.
"Diam atau keluar kalian dari kamar Bunda?!" Rara melontarkan perintah tegas.
Keduanya hanya saling cengiran, saling tuduh dengan tatapan mata, sebelum Rara menepuk tempat di sebelahnya. "Sini duduk di samping Bunda."
"Kenapa? Tumben banget anak Bunda manja begini?" Rara menatap Anna dengan mata penuh perhatian.
"Dev, Bun..." Anna memulai dengan nada cemas.
Rara mengernyitkan dahi. "Sepertinya Anna dan Devan akhir-akhir ini mulai renggang."
"Loh, kenapa kamu merasa begitu?" Rara bertanya, tampak khawatir.
"Entahlah, Bun. Anna merasa ada jarak aja sekarang. Kata Mila, Devan nggak pernah setia sama satu cewek. Ceweknya di mana-mana."
"Setia itu dibentuk, sayang. Setia bukan sifat bawaan. Begini, kalau kamu takut kehilangan Devan, itu artinya kamu siap untuk segala risiko ke depannya.
Anna terdiam sejenak, mencermati kata-kata bundanya.
"Makasih, Bun. Anna paham sekarang. Seseorang akan menjadi sosok yang setia kalau sudah bertemu orang yang tepat, kan?"
"Nah, anak Bunda pintar," Rara mengusap lembut rambut putrinya.
"Tapi, Bun..."
"Apa, hm?"
"Laper." Gadis itu menunjukkan deretan gigi rapinya.
*
Hari ini, seorang gadis ceria memasuki kawasan apartemen milik pujaan hatinya. Mengeluarkan kartu akses dari saku tasnya, ia memasuki lift dan menekan tombol 24.
Pagi ini, hatinya dipenuhi kebahagiaan. Ia berjalan dengan langkah ringan meninggalkan lift menuju tempat yang menjadi tujuannya. Namun, langkahnya terhenti di depan pintu apartemen yang sedikit terbuka, menampilkan sedikit adegan di dalamnya.
"Kalau dari awal saya bisa memilih, saya juga nggak mau punya seorang ayah seperti Anda!"
"Udah mulai berani sama orang tua?"
"Sikap saya ke Anda tergantung sikap Anda ke saya!"
"Anak haram! Anak nggak tahu diuntung."
Bugh.
Sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
"Belum cukup... Anda... membunuh mama saya?" Suara itu terdengar lemah.
"Bukan saya yang membunuh ibu kamu!"
Bugh.
Terdengar lagi.
"Bukan Anda? Cih, setiap hari tangan kotor Anda melukai mama saya, membuatnya tersiksa. Hingga sampai di hari mama saya ditemukan sudah tidak bernyawa, saat itu Anda baru saja mengunjunginya, bukan?" Senyum sinis muncul di wajah pria muda itu.
Anna terduduk di sudut depan, tubuhnya gemetar dan tangannya terkepal. Gadis itu menangis dalam ketakutannya.
Anna mencoba meredakan ketakutannya, namun suara-suara kekerasan yang terdengar dari balik pintu terus menggema di telinganya. Perasaannya campur aduk antara khawatir dan bingung. Di satu sisi, dia ingin masuk dan menghentikan apa pun yang terjadi, tetapi di sisi lain, rasa takut menahannya.
Pikiran Anna berputar liar. Selama ini, dia mengenal Devan sebagai sosok yang pendiam, dingin, tetapi tidak pernah dia bayangkan bahwa pria itu menyimpan luka yang begitu dalam dan kelam. Ternyata, di balik sikapnya yang keras, ada penderitaan yang tak pernah dia bagi dengan siapa pun.
"Dev, kamu kenapa gak pernah cerita?" bisik Anna pada dirinya sendiri, suaranya tertahan di tenggorokan.
Tiba-tiba, pintu apartemen terbuka lebih lebar. Devan berdiri di sana, wajahnya merah dan penuh amarah, sementara pria yang lebih tua, yang Anna duga sebagai ayah Devan, terengah-engah di belakangnya. Devan menoleh, terkejut melihat Anna yang terduduk di depan pintu, dengan mata bengkak dan wajah basah oleh air mata.
"Anna..." suaranya melemah, amarahnya perlahan mereda saat melihat gadis yang begitu berarti baginya dalam keadaan seperti itu.
Anna segera bangkit, tanpa berpikir panjang ia memeluk Devan erat-erat, seolah ingin melindunginya dari semua rasa sakit. Devan terkejut, tubuhnya kaku, tapi akhirnya dia membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan Anna. Ada kehangatan dan kenyamanan dalam pelukan itu yang membuatnya merasa sedikit lebih tenang, meski hatinya masih dipenuhi kepedihan.
"Ayo pergi dari sini, Dev," bisik Anna dengan suara gemetar, "Kamu gak perlu lagi berurusan dengan dia."
Devan terdiam sesaat, menatap Anna yang begitu tulus peduli padanya. Namun, bayangan masa lalu dan semua rasa sakit yang telah dia alami kembali menghantamnya. Dengan lembut, dia melepaskan pelukan Anna.
"Anna, ini urusan gue. Lo gak perlu terlibat. Lo gak akan paham betapa rusaknya hidup gue selama ini," katanya dengan nada yang lebih tenang, namun ada kegetiran yang tak bisa disembunyikan.
"Tapi gue peduli, Dev. Gue gak bisa ninggalin lo sendirian menghadapi semua ini," balas Anna tegas, matanya menunjukkan tekad yang tak goyah.
Devan menatap Anna dalam-dalam, ada sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya. Selama ini, dia selalu menolak bantuan dan simpati dari siapa pun, tetapi untuk pertama kalinya, dia merasakan keinginan untuk berbagi beban yang selama ini dia pikul sendirian.
"Kita akan hadapi ini bersama, Dev. Lo gak sendiri lagi," kata Anna, suaranya lembut tapi tegas.
Devan akhirnya mengangguk pelan, merasa sedikit lebih ringan meskipun masalahnya jauh dari selesai. Bersama Anna, dia tahu bahwa dia punya alasan untuk bertahan, untuk melawan kegelapan yang selama ini membelenggunya.
Anna meraih tangan Devan, menggenggamnya erat, dan mengajaknya keluar dari apartemen itu. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan melakukan apa pun untuk membuat Devan merasa berharga dan dicintai, meski perjalanan mereka ke depan mungkin tidak akan mudah.
Keduanya berjalan keluar dari apartemen dengan langkah yang perlahan namun pasti, meninggalkan semua kegelapan di belakang mereka. Di luar, matahari terbenam di kejauhan, menyinari mereka dengan lembut seolah memberi harapan baru di tengah keterpurukan yang mereka alami.
Anna tahu, perjalanan mereka masih panjang dan penuh tantangan, tetapi selama mereka bersama, tidak ada yang tidak mungkin.*
Hari-hari berlalu, dan meski ada bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui, Anna dan Devan mencoba melangkah bersama. Namun, tidak ada yang tahu kapan takdir akan memisahkan mereka untuk selamanya.
*
Suatu malam, saat hujan deras mengguyur kota, Anna menerima panggilan dari nomor tak dikenal. Dengan perasaan cemas, dia mengangkat telepon itu, dan seketika dunia Anna runtuh.
"Apakah ini keluarga atau teman dekat Devan?" suara di ujung telepon bertanya dengan nada serius.
"Iya, saya Anna, teman dekatnya. Ada apa ya?" tanya Anna dengan suara bergetar.
"Kami dari pihak rumah sakit. Devan mengalami kecelakaan parah dan saat ini berada dalam kondisi kritis. Kami memerlukan kehadiran keluarga atau orang terdekatnya segera."
Tubuh Anna terasa lemas seketika. Tanpa berpikir panjang, dia bergegas menuju rumah sakit, berharap semua ini hanya mimpi buruk. Sesampainya di rumah sakit, Anna berlari menuju ruang gawat darurat, tetapi saat dia tiba, dokter yang keluar dari ruang operasi hanya bisa menundukkan kepala.
"Kami sudah melakukan yang terbaik, tapi sayangnya, Devan tidak bisa diselamatkan."
Kata-kata itu menghantam Anna seperti badai. Dunianya terasa runtuh seketika. Tubuhnya gemetar, air mata mengalir deras dari matanya. Devan, orang yang selama ini dia cintai dan perjuangkan, telah pergi selamanya.
Anna terduduk di lantai rumah sakit, tidak mampu mengendalikan kesedihan yang meluap-luap. Kenangan mereka bersama terputar kembali di benaknya, mulai dari saat pertama kali mereka bertemu hingga saat-saat terakhir mereka bersama. Betapa dia berharap bisa mengulang waktu, untuk bisa menyelamatkan Devan, atau setidaknya, berada di sampingnya di saat-saat terakhir.
*
Hari pemakaman Devan datang. Langit mendung seakan turut berduka bersama Anna. Dengan langkah berat, Anna mendekati pusara Devan, memegang bunga yang sudah mulai layu di tangannya. Dia berlutut di samping makam, menaruh bunga di atas tanah yang masih basah.
"Dev, kenapa kamu harus pergi secepat ini?" suara Anna pecah di tengah isak tangisnya. "Aku masih butuh kamu, Dev. Kenapa Tuhan memisahkan kita dengan cara seperti ini? Apakah aku tidak cukup kuat untuk menahan semua ini sendirian?"
Hening. Hanya angin yang berbisik lembut, seakan memberi jawaban yang tidak pernah bisa didengar oleh Anna. Meski banyak orang mencoba menghiburnya, mengatakan bahwa semua ini adalah bagian dari takdir, Anna tahu bahwa kehilangan Devan adalah luka yang tidak akan pernah sembuh.
Hari-hari setelah kepergian Devan terasa hampa. Anna mencoba kembali ke rutinitasnya, namun segalanya terasa berbeda. Devan telah menjadi bagian dari hidupnya, dan kepergiannya meninggalkan lubang besar yang tidak bisa diisi oleh siapa pun.
Namun, di tengah kesedihannya, Anna tahu bahwa Devan tidak akan pernah benar-benar hilang. Meski tubuhnya tidak lagi ada di dunia ini, kenangan dan cinta mereka akan selalu hidup di hatinya. Anna memutuskan untuk terus melangkah, bukan untuk melupakan Devan, tetapi untuk menghormati semua kenangan indah yang telah mereka ciptakan bersama.
Setiap senja yang berwarna kemerahan, setiap bunga yang mekar, dan setiap detak jantung yang masih berdetak, Anna merasakan kehadiran Devan. Dan meski mereka telah terpisah oleh takdir, cinta mereka tetap abadi, tertulis dalam setiap langkah yang Anna ambil menuju masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H