*
Hari pemakaman Devan datang. Langit mendung seakan turut berduka bersama Anna. Dengan langkah berat, Anna mendekati pusara Devan, memegang bunga yang sudah mulai layu di tangannya. Dia berlutut di samping makam, menaruh bunga di atas tanah yang masih basah.
"Dev, kenapa kamu harus pergi secepat ini?" suara Anna pecah di tengah isak tangisnya. "Aku masih butuh kamu, Dev. Kenapa Tuhan memisahkan kita dengan cara seperti ini? Apakah aku tidak cukup kuat untuk menahan semua ini sendirian?"
Hening. Hanya angin yang berbisik lembut, seakan memberi jawaban yang tidak pernah bisa didengar oleh Anna. Meski banyak orang mencoba menghiburnya, mengatakan bahwa semua ini adalah bagian dari takdir, Anna tahu bahwa kehilangan Devan adalah luka yang tidak akan pernah sembuh.
Hari-hari setelah kepergian Devan terasa hampa. Anna mencoba kembali ke rutinitasnya, namun segalanya terasa berbeda. Devan telah menjadi bagian dari hidupnya, dan kepergiannya meninggalkan lubang besar yang tidak bisa diisi oleh siapa pun.
Namun, di tengah kesedihannya, Anna tahu bahwa Devan tidak akan pernah benar-benar hilang. Meski tubuhnya tidak lagi ada di dunia ini, kenangan dan cinta mereka akan selalu hidup di hatinya. Anna memutuskan untuk terus melangkah, bukan untuk melupakan Devan, tetapi untuk menghormati semua kenangan indah yang telah mereka ciptakan bersama.
Setiap senja yang berwarna kemerahan, setiap bunga yang mekar, dan setiap detak jantung yang masih berdetak, Anna merasakan kehadiran Devan. Dan meski mereka telah terpisah oleh takdir, cinta mereka tetap abadi, tertulis dalam setiap langkah yang Anna ambil menuju masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H