Tiga kali.
"Belum cukup... Anda... membunuh mama saya?" Suara itu terdengar lemah.
"Bukan saya yang membunuh ibu kamu!"
Bugh.
Terdengar lagi.
"Bukan Anda? Cih, setiap hari tangan kotor Anda melukai mama saya, membuatnya tersiksa. Hingga sampai di hari mama saya ditemukan sudah tidak bernyawa, saat itu Anda baru saja mengunjunginya, bukan?" Senyum sinis muncul di wajah pria muda itu.
Anna terduduk di sudut depan, tubuhnya gemetar dan tangannya terkepal. Gadis itu menangis dalam ketakutannya.
Anna mencoba meredakan ketakutannya, namun suara-suara kekerasan yang terdengar dari balik pintu terus menggema di telinganya. Perasaannya campur aduk antara khawatir dan bingung. Di satu sisi, dia ingin masuk dan menghentikan apa pun yang terjadi, tetapi di sisi lain, rasa takut menahannya.
Pikiran Anna berputar liar. Selama ini, dia mengenal Devan sebagai sosok yang pendiam, dingin, tetapi tidak pernah dia bayangkan bahwa pria itu menyimpan luka yang begitu dalam dan kelam. Ternyata, di balik sikapnya yang keras, ada penderitaan yang tak pernah dia bagi dengan siapa pun.
"Dev, kamu kenapa gak pernah cerita?" bisik Anna pada dirinya sendiri, suaranya tertahan di tenggorokan.
Tiba-tiba, pintu apartemen terbuka lebih lebar. Devan berdiri di sana, wajahnya merah dan penuh amarah, sementara pria yang lebih tua, yang Anna duga sebagai ayah Devan, terengah-engah di belakangnya. Devan menoleh, terkejut melihat Anna yang terduduk di depan pintu, dengan mata bengkak dan wajah basah oleh air mata.