Hai sahabat Pembaca!
Seandainya saja metode pendidikan holistik itu seperti pesantren merangkap akademi, atau sebaliknya. Tentunya dalam ranah Akademisi melatih nalar kritis (Potensi Thinking), melatih daya kalkulasi dan pengelompokan (Potensi Sensing), melatih daya kreasi dan inovasi (Potensi Intuiting). Sementara ranah Santrinya melatih kejernihan hati (Potensi Feeling), melatih keilmuan tingkat tinggi dari Allah (Potensi Intuiting) dan melatih naluri dan keberanian (Potensi Insting). Pasti generasi anak didik menjadi insan paripurna tanpa ada pincang potensi. Yah ini hanya sekadar idealisme saya perihal dunia pendidikan yang berimbang.
Apa kelebihan dan kekurangannya?
Memang proses cita-cita realisasi konsep pendidikan Santri sekaligus Akademisi itu dibutuhkan kesungguhan, tekad kuat, dan mentalitas yang tangguh, agar tidak goyah saat proses berpendidikan. Banyak kekurangan yang ditemukan, seperti beban bahan ajar yang diterima anak didik, waktu belajar, displin belajar, dan memang banyak membebankan peserta didik juga diperlukan tenaga pendidik yang sesuai dengan kualifikasi menjalani proses pendidikan Pesantren dan Akademi. Namun kelebihannya, jika anak didik adalah anak yang sudah disortir melalui seleksi ketat untuk dapat mengalami proses pendidikan jenis ini, tentu lebih efektif untuk menerima bahan ajar dan melaksanakan proses pendidikan jenis ini.
Apa contoh implementasinya?
Contoh familiar, bisa dilihat melalui bahan ajar dan implementasi proses pendidikannya. Bahan ajar yang mengajak anak didik aktif untuk kritis dan kreatif melalui kelompok diskusi, presentasi, membuat karya cipta dan analisis. Disisi lain mengalami proses dalam sifat-sifat kebaikan melalui rutinitas religius-spiritual seperti mengawali pagi dengan mendawamkan Asmaul Husna dan membaca Al-Qur'an, menjadwalkan Salat Duha dan Salat Wajib, membiasakan kewajiban melatih diri puasa sunah, serta rutinitas zikir dan selawatan bersama. Dengan demikian potensi anak didik yang kelak menjadi generasi penerus bangsa, dilengkapi dengan potensi yang berimbang.
Wasana kata
Mau tidak mau suka tidak suka, kalau pincang potensi dapat berakibat pada kualitas manusianya itu sendiri, kalau Potensi Thinking melejit namun Potensi Feeling mati, kemunafikan merajalela. Kalau Potensi Feeling melejit namun Potensi Thinking mati, fanatisme buta makin meraja. Yah seperti fenomena kehidupan nusantara yang sudah dan sedang kita saksikan seksama.
Bagaimana menurutmu sahabat?
Cimahi, 11 Maret 2023.
Aa Rian untuk Kompasiana dan warganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H